Kalau ada banyak kebenaran, kebenaran negara itu yang seperti apa? tanya Geger Riyanto, mahasiswa Doktoral di Insitut Antropologi, Universitas Heidelberg ketika membuka Gelar Wicara diskusi publik.

Bicara birokrasi kepenegakan kebenaran, kata Geger negara harus memiliki aparatur, salah satunya polisi. Ia yakin di tiap kementerian ada anggaran untuk buzzer dan pencitraan kementerian. Keduanya merupakan alat mengeksekusi dan mereproduksi kebenaran yang mereka yakini.

Kebenaran negara adalah sesuatu yang terus bergerak. Kebenaran tersebut tidak bersubtansi. “Yang diinginkan negara dipercaya orang-orang banyak agar mereka mau diatur, didisiplinkan, dan pengatur negara tetap bertahan sebagai yang berdaulat,” terangnya.

Lebih jauh, Geger menjelaskan studi dasar-dasar negara. Menurutnya kebenaran dasar negara dirancang oleh bayangan perancangnya. Hal ini guna mengatur apa yang ingin diaturnya. Selain itu, nasionalisme menjadi sesembahan yang tidak boleh dilanggar. Singkatnya, orang-orang menggunakan nasionalisme untuk menyerang negara.

Menanggapai pernyataan Geger, Fatimah Fildzah Izzati selaku Editor IndoProgress menjelaskan neoliberalisme ekonomi politik dengan kebebasan entrepreneurial individu.
Dalam neoliberalisme, individu adalah fitur utamanya. Sedangkan negara merupakan masalah. Bukan berarti negara harus disingkirkan. Negara harus bisa meminimalkan perannya.

Pada 1980-an, Indonesia termasuk negara neoliberal-otoritarian. kemudian pasca 1998 beralih menjadi negara neoliberal non-otoritarian.

“Untuk menciptakan iklim yang ramah bagi investasi, harus bisa memfasilitasi akumulasi kapital,” jelas Fatimah.

Pada kondisi ini, Indonesia masih negara neoliberalisme. Buktinya, pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. UU ini diyakini melemahkan aktivitas serikat buruh atau pekerja.

Bilven dari Sandalista turut menjelaskan bagaimana komunikasi yang dilakukan negara dalam menyampaikan kebenaran versi mereka. Juga praktik-praktik komunikasi negara berkaitan dengan warganya.

Kata Bilven, banyaknya protes dari rakyat, terkadang dianggap negara bukan sebagai suara rakyat. Pemerintah tidak membawa kepentingan orang banyak, melainkan membawa kepentingan koalisi oligarki mereka.

Kebijakan yang dilakukan negara tidak membawa kepentingan rakyat. Dasar ini bertentangan dengan kebenaran versi rakyat. Pemerintah berusaha memberikan semacam justifikasi atas kebijakan-kebijakan itu. Terakhir, menyampaikan kebijakan dengan berbagai cara guna meyakinkan rakyat.

Media sosial bisa menjadi komunikasi penyampai aspirasi. Belakangan, media tidak lagi bisa diandalkan karena terhalang buzzer. “Komunikasi yang mau dibikin secanggih apapun tidak akan mampu memperindah kebijakan yang sudah busuk itu.”

Diskusi publik digelar 30 Oktober via Zoom dengan tema Mempersoalkan Negara sebagai Otoritas Kebenaran. Diselenggarakan oleh komunitas Filsebat, kegiatan ini menghadirkan Geger, Bilven, dan Fatimah sebagai pembicara.

Bilven meyakini buzzer tidak memiliki kontribusinya dalam demokrasi. Artinya tidak menjadikan apa-apa terhadap kehidupan bernegara. Justru menganggu dan mendengungkan saja.

“Ironisnya buzzer-buzzer ini dipelihara oleh negara dan dibiayai negara yang jelas-jelas menggunakan uang dari rakyat juga,” tutup Bilven.

Penulis : Dwinanda Salsabilla

Editor   : Firlia Nouratama