Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) , Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan Indonesia Judicial Research Society menemukan praktik penyensoran, kriminalisasi, serta kekerasan terhadap pers. Dalih tindakan tersebut adalah adanya Covid-19.

Secara luas, terdapat 421 pelanggaran kebebasan pers yang terjadi di berbagai negara. Di antaranya upaya penangkapan atau kriminalisasi, juga pembatasan akses informasi. Ada pula praktik sensorship dan serangan verbal penggunaan regulasi yang terlalu eksesif. Pun praktik serangan verbal dan fisik.

Nick Faulkner selaku Duta Besar Inggris untuk Indonesia katakan, kebebasan pers merupakan suatu hal yang esensial bagi masyarakat demokratis. Terkhusus pada saat pandemi. Media berperan besar untuk melihat respon pemerintah terhadap pandemi.

Mulki Shader, Tim Peneliti dari ICJR lakukan penelitian sejak 13 Maret hingga 31 Oktober 2020 kepada 125 responden. Mereka mewakili 84 media. Baik itu media cetak, siber, televisi, dan radio.

Sedikitnya, 35 dari 125 orang mengungkapkan pernah mengalami penyensoran atas berita yang dibuatnya dalam masa pandemi. Sebanyak 21 di antaranya, bahkan pernah mengalami penyensoran terkait pemberitaan Covid-19. Parahnya, 34,3 persen penyensoran justru dilakukan oleh pihak redaksi media itu sendiri. Lebih jauh, 23 persen mengatakan, perusahaan pers tempat mereka bekerja pernah mendapat serangan siber selama pandemi.

Tak hanya itu, 28,8 persen responden pernah alami kasus mengenai akses terhadap informasi. Misalnya saja penghalangan kegiatan jurnalistik. Wartawan dilarang melakukan liputan atau pengambilan hasil liputan.

“Jadi, apakah hal itu merupakan wujud dari pelaksanaan fungsi dari redaksi itu sendiri atau bentuk swasensor?. Sedang yang kita tau bahwa fungsinya adalah untuk menyaring, serta menyempurnakan pemberitaan dari Jurnalis,” tukas Mulki.

Dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik, kata Mulki, terdapat pasal-pasal karet. Seperti ketentuan penghinaan dan ujaran kebencian. Hal ini membuat takut pekerja media, karena dianggap terlalu luas.

Jika dikaitkan dengan laporan dari LBH Pers, sudah ada 14 kasus pelanggaran terhadap jurnalis sepanjang 2020. Dengan rincian 38,4 persen pernah mengalami penolakan atas akses informasi atau dokumen. Menariknya, 85,4 persen dari penolakan akses informasi itu justru terkait pemberitaan Covid-19. Ditambah lagi, mayoritas pelaku berasal dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan kepolisian.

Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, turut paparkan data kondisi keselamatan jurnalis. 24 persen dari 125 responden pernah mendapat serangan saat melakukan kerja jurnalistik pada masa pandemi.

“11,2 persen di antaranya bahkan menerima lebih dari satu macam serangan atau kekerasan,” jelasnya.

Peningkatan angka kekerasan mencapai angka 32 persen. Tahun lalu saja, angka yang tercatat sebanyak 117 kasus. Sementara, pada 2019 hanya 79 kasus. Liputan demonstrasi menjadi penyumbang kekerasan paling banyak. Pun sejalan dengan pelonjakan penangkapan jurnalis.

Singkat Ade, serangan non fisik dan digital menjadi yang paling banyak dialami jurnalis. Wartawan mendapat ancaman verbal dan kata-kata kasar. Selain itu ada doxing, peretasan, intimidasi digital, dan pesan spam.

Eni Mulia selaku Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara menilai, perlu menjadi perhatian bersama betapa minimnya kesadaran jurnalis terhadap haknya. Terlebih ketika keamanannya sudah terancam.

“Ini adalah tantangan yang sangat besar karena menurut saya tidak ada kepercayaan antara publik, pemerintah dan aparat terhadap media saat ini,” ungkap Eni.

“Saya kira paling menghantui para jurnalis adalah tentang proses hukum pidana yang dijalankan terhadap jurnalis,” timpal Arsul Sani salah satu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menurut Arsul, dari tabulasi di setiap masa persidangan jarang ada pengaduan pelanggaran hukum. Baik dari jurnalis atau secara organisasi. Padahal, DPR sendiri memiliki komisi III yang menangani bidang penegakan hukum, keamanan nasional, dan Hak Asasi Manusia.

Ia menekankan perlunya meningkatkan perlindungan terhadap jurnalis. kata Arsul, ada standar jurnalistik yang sangat longgar. Akibatnya, membuat masyarakat mengeluh terhadap produk-produk jurnalistik. Apalagi yang isinya dianggap mencemarkan, fitnah, penistaan, dan sebagainya.

Namun, Arsul tetap mengamini jika perlindungan hukum kepada jurnalis harus ditingkatkan. “Pasal-pasal karet memang perlu direvisi untuk memberikan pagar agar tafsirnya itu tidak seperti kita memberikan cek kosong kepada penegak hukum untuk kemudian diisi dan ditafsirkan sendiri oleh penegak hukum.”

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya melihat, banyak pelanggaran dilakukan oleh pers ketika membuat berita. Mereka dianggap merugikan dan melanggar kode etik jurnalistik. Terhitung selama kurun waktu kebebasan pers tahun 1999 sampai saat ini, kecenderungan pelanggaran yang diadukan jumlahnya meningkat.

“Kebebasan pers adalah milik rakyat, artinya bahwa pers tidak boleh membuat berita secara membabi buta karena menganggap kebebasan itu adalah absolut,” tegasnya.

Masih Agung, pada 2018 hingga 2020 muncul berbagai isu. Mulai dari UU Cipta Kerja. Topik ini menjadi persoalan serius karena Dewan Pers sebagai pemangku kepentingan justru tidak dilibatkan di dalamnya.

Terkait ketenagakerjaan, Ida Fauziah selaku Menteri Ketenagakerjaan telah mengupayakan dengan mengeluarkan beberapa produk hukum kebijakan. Langkah tersebut disinyalir dapat menekan penyebaran Covid-19 dan meningkatkan perlindungan bagi pekerja atau buruh di lingkungan kerja.

Pertama, memastikan perusahaan menata ulang kondisi, situasi, dan lingkungan kerja. Gunanya menjaga pekerja dan manajemen agar terhindar dari covid-19. Lalu membuat kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja. Terakhir, membentuk regulasi yang memastikan agar perangkat Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3 bisa tersedia.

“Saya kira pekerja atau buruh berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja termasuk dalam perlindungan terhadap faktor risiko pandemi Covid-19 di tempat kerja,” ujar Ida.

Pungkas Ida, jika K3 sudah terpenuhi, maka jurnalis akan mampu mengeluarkan produk jurnalistik dengan kualitas yang baik.

Diskusi bertajuk Pandemi Covid-19: Kebebasan Pers dan Keselamatan Jurnalis dalam Krisis diselenggarakan pada, Kamis (21/1). Lewat kanal Youtube resmi ICJRID, dipaparkan ringkasan hasil penelitian oleh Mulki Shader dan Ade Wahyudin.

Penulis: Dewi Nur Aini Zulfa

Editor: Firlia Nouratama