Anak-anak ke sekolah tidak berseragam, tidak memakai alas kaki, ingusnya meleleh, kaki tangannya berlumpur. Mereka harus melewati turunan dan tanjakan untuk menuju sekolah dengan jarak tempuh beberapa kilometer berjalan kaki. Atap sekolah mereka bocor dan sering guru-guru tidak hadir mengajar.

Anak-anak ini masih buta huruf, lemah dalam berhitung apalagi menulis. Ini terjadi karena jarangnya mereka mendapatkan pengajaran serius dari guru-guru. Selain itu, fasilitas penunjang, sarana pendidikan yang mendorong murid untuk menimba ilmu juga tidak terpenuhi. Tidak salah, ketika sudah duduk di bangku menengah pertama bahkan menengah atas mereka masih ada yang canggung dalam membaca, menulis dan berhitung.

Soal ke Indonesiaan, anak-anak ini juga tidak mengenal betul pahlawan-pahlawan di Indonesia, bahkan Soekarno pun terasa asing di telinga anak-anak ini. Mereka tidak mengenal sejarah kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya itu, anak-anak ini juga tidak mengenal wilayah-wilayah Indonesia yang tersebar luas dengan pulau-pulanya.

Tempat tinggal mereka masih tradisional. Beratapkan jerami dan berlantai rumput kering.  Rumah tradisonal ini disebut Honai. Listrik hanya mengalir di malam hari, karena pembangkit listrik dengan tenaga surya. Air bersih terbatas dan tidak ada jaringan komunikasi lewat telpon.

Ini lah kondisi pendidikan di Propinsi Papua tepatnya di Wamena Kabupaten Jayawijaya. Wilayah ini jadi pilihan sebagai tempat pelaksanaan program pengabdian bagi sarjana untuk memberi pendidikan. Program ini disebut, Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal, disingkat SM3T. Ini sudah angkatan ke empat. Tiga alumni Universitas Riau tergabung dalam kelompok angkatan ke empat ini. Alindonesia, Reby Oktarianda dan Reri Saputra. Mereka mengajar di sekolah dasar dan menengah pertama di Kabupaten Jayawijaya.

Satu pagi, Alindonesia memberi mata pelajaran Geografi. Alindonesia mencoba memperkenalkan Indonesia dengan membuat peta Asia di papan tulis. Di kelas tidak ada gambar peta yang tersedia. Anak-anak diminta satu persatu maju ke depan dan menunjukkan peta Indonesia. Ada yang menunjuk Malaysia dan ada yang mengatakan keseluruhan dari peta yang dibuat adalah Indonesia.

Reri Saputra buat metode tersendiri ketika memberi pelajaran di kelas. Saputra mencoba menciptakan beraneka macam kelas, mulai dari seni, olahraga, menggambar, alam dan bahasa. Tujuannya agar semua bakat anak-anak di kelas lahir sesuai dengan kemampuan masing-masing. Saat peringatan hari pahlawan 10 November tahun lalu, pengajar SM3T gelar lomba untuk anak-anak sekolah di Jayawijaya. Perlombaan mirip dengan perayaan tujuh belasan yang sering dilakukan.

Ada perlombaan yang butuh strategi, balap karung, makan kerupuk, paku botol dan sendok kelereng. Perlombaan ini memberi hadiah pada sekolah yang ikut lomba sebagai pemenang.

Rebi Oktarianda juga harus memberikan pengabdian pada anak-anak agar mampu membaca, menulis dan berhitung. Oktarianda menyaksikan, ketika siswa itu sudah menduduki jenjang sekolah menengah atas juga masih ccanggung dalam baca tulis dan menghitung. Ketertinggalan ilmu seperti ini lah yang jadi tugas Kementrian Pendidikan dalam mengentaskannya, berupa program pengabdian bagi sarjana pendidikan di daerah yang masih dianggap tertinggal.

Program ini muncul karena tidak tersalurnya tenaga pendidik di daerah yang juga disebut sebagai Lembah Baliem. Kondisi geografisnya berupa pegunangan. Masyarakatnya bertani ubi, sayur dan lain-lain. Tugas seorang suami di tempat ini hanya membuka lahan dan istri yang menanam serta merawat tanaman. Anak-anak biasanya ikut ibu menanam.

Dengan kondisi seperti ini, pendidikan tidak menjadi hal penting bagi masyarakat Jayawijaya, karena banyak waktu yang dihabiskan untuk berkebun. Di samping persoalan tenaga pendidik tadi.

Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi atau Dirjen Dikti akan membuka kembali program SM3T untuk angkatan ke lima. Mereka yang ikut harus sarjana dan punya semangat mendidik. Dikti mempersilakan untuk mendaftarkan diri melalui on line. Lalu akan melewati tiga tahapan tes, tahap administrasi, tahap tes tertulis dan wawancara. Setelah dinyatakan lulus melewati tahapan ini, selanjutnya akan dilakukan tahapan pra kondisi sebelum diturunkan ke lapangan.

Selama dua minggu pra kondisi, peserta diajarkan soal kemerdekaan, NKRI, baris berbaris, Pramuka dan segenap pengetahuan tentang ke Indonesiaan.

Cerita ini merupakan pengalaman tiga orang Sarjana FKIP Universitas Riau. Alindonesia Sarjana dibidang Penjaskesrek, Reby Oktarianda Sarjana dibidang Pendidikan Biologi dan Reri Saputra Sarjana dibidang Bimbingan Konseling. Mereka ikut program Sarjana Mengajar Di Daerah Terdepan, Terluar dan Teritnggal atau SM3T. Tulisan ini telah diedit oleh redaksi Bahana Mahasiswa Universitas Riau.