Masih ingatkah kejadian 14 April lalu, kasus kekerasan seksual dialami siswa Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta Internasional School (JIS). Begitu banyak media memberitakan tentang kejadian ini. Setiap perkembangan disampaikan kepada masyarakat, baik secara cetak maupun elektonik. Mulai dari tuntutan wali murid, turunnya perwakilan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia hingga konfirmasi yang diberikan pihak sekolah.
Banyak masyarakat kaget men-dengar kejadian ini. Pasalnya hal tersebut terjadi di lingkungan sekolah selaku wadah untuk mendidik generasi penerus bangsa jadi lebih baik. Anak-anak datang kesekolah untuk belajar tentang hal baru, namun harus menelan pil pahit berupa rasa takut dan trauma. Orang tua yang harusnya melepas anaknya untuk belajar juga dihantui rasa khawatir akankah anaknya baik-baik saja disekolah.
Dari kejadian ini, satu hal yang dapat dipahami adalah pelaku dari kekerasan ini bukanlah orang jauh. Ia masih berada dalam lingkungan pendidikan juga. Dalam kasus JIS, pelakunya merupakan petugas kebersihan sekolah tersebut. Mari kita melihat kasus lainnya. Karena kasus di JIS diberitakan oleh media secara besar-besaran, maka masyarakat banyak tahu. Namun sebelum ke-jadian ini, juga terjadi kasus yang sama didunia pendidikan.
Kasus sebelumnya terjadi di Surabaya, guru agama dari Sekolah Dasar Simor-kerto VIII melakukan pencabulan kepada sis-wanya. Bertolak ke Riau, kasus keke-rasan seksual juga terjadi di Kabupaten Siak dan Rokan Hilir. Ke-kerasan seksual ini dilakukan oleh siswa Sekolah M e n e n g a h Pertama dengan korbannya siswa Sekolah Dasar.
Entah itu pelakunya petugas kebersihan, guru dan siswa se-kalipun, yang jelas ranah pendidikan telah tercoreng dengan kejadian ini. Dunia pendidikan yang harusnya menjadi wadah mendidik siswa juga pelindung siswa dari hal-hal yang tak baik, kini ditakutkan jadi ‘sarang’ tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Kepala Bagian Penerangan Umum Polisi Republik Indonesia Komandan Besar Polisi Agus Rianto mengatakan kasus yang menimpa anak diranah pendidikan bukan hanya kekerasan, tapi pelecehan seksual dan pencabulan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat kalau kekerasan seksual terbanyak terjadi di Jakarta, Medan dan Jawa barat.
Setelah kejadian ini media cetak dan elektronik banyak memberitakan kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti di JIS, Surabaya, Medan, Riau, Jakarta dan tempat lain. Juga KPAI bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini melakukan evaluasi terhadap guru, murid dan izin sekolah. Ini tak lepas dari usaha pemantauan dan pencegahan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Pelaku harus ditindak tegas, dan ranah pendidikan harus dibersihkan dari orang-orang tak terdidik tersebut.
Dan juga seharusnya dengan kejadian ini membuat semua masyarakat sadar bahwa hal yang dapat mengakibatkan trauma dan ketakutan kepada anak harus segera ditindak. Terutama bagi para korban, dimana rasa takut untuk memberitahukan hal yang mereka alami kepada orangtua akan jadi penghalang utama. Belum lagi ditambah ancaman dari si pelaku.
Tentunya peran orang-tua sangat penting. Terutama membangun suasana keakraban antara orangtua dan anak yang membuat anak tak merasa takut ataupun canggung. Sikap terbuka dari keduanya dapat jadi solusi untuk mengetahui bagaimana perkembangan anak selama disekolah. Juga orangtua harus peka dengan kebiasaan dari sang anak, jika anak berkelakuan lain dari kebiasaan sehari-harinya, orangtua harus cepat tanggap menyikapi hal ini. Selain itu sesekali untuk berkonsultasi kepada guru dan wali kelas tentunya juga menjadi jalan lain yang bagus.
Dari kasus ini, masyarakat harus lebih cerdas dan bijak. Bagi orangtua, jangan hanya melepaskan anak belajar di sekolah, namun juga harus melakukan pendekatan dan menanyakan keadaan sang anak disekolah. Bagi pendidik seharusnya lebih selektif dalam memilih tenaga pengajar ataupun staff yang bekerja di lembaga terdidik tersebut. Dan bagi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan harusnya terus melakukan evaluasi agar ranah pendidikan tak lagi tercoreng dengan hal  seperti  ini.
Kembalikan lagi keadaan dimana sekolah menjadi tempat menyebarkan ilmu, bukan menyebar rasa takut dan trauma kepada siswa.#
*Penulis, Ahlul Fadli Pemimpin Umum Bahana Mahasiswa.