“Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan ikhtiar untuk mencegah kekerasan seksual yang terjadi,” tegas Tini Rahayu selaku Juru Bicara Sidang Rakyat Regional Sumatera.
Menurutnya, hal ini perlu agar kedaruratan kekerasan seksual yang terjadi bisa tertanggulangi dengan baik.
RUU PKS adalah RUU di Indonesia mengenai kekerasan seksual yang diusulkan pada 26 Januari 2016. Di dalamnya mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur penanganan selama proses hukum.
Menghadirkan 44 organisasi yang tergabung dalam jaringan masyarakat sipil Sumatera, sidang rakyat digelar, Sabtu (03/9). Hal ini guna mendesak DPR dan Pemerintah mengesahkan RUU PKS.
Dalam prosesnya, sidang ini dipimpin oleh tiga orang. diantaranya Rahmi Meri Yenti, Women Crisis Center Nurani Perempuan Sumbar. Lalu Ratumas Dewi dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Jambi, dan Wilton Amos Panggabean dari LBH Pekanbaru.
Turut hadir pula peserta, penyintas, akademisi, pendamping, tokoh adat, Perempuan Akar Rumput, seniman, dan lainnya.
RUU PKS, kata Tini lahir dari kasus YY di Bengkulu. Seorang siswi Sekolah Menengah Pertama yang diperkosa oleh 11 laki-laki hingga membuat dirinya meregang nyawa. Dalam persidangan, pelaku telah mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya.
“YY tetap tidak akan pernah kembali dan pergi membawa kisah tragis yang tidak akan lekang oleh sekadar kata maaf dan vonis mati,” jelasnya.
Lanjutnya, Negara harus sadar bahwa perundang-undangan di Indonesia masih terbatas pada beberapa hal. Mulai dari formulasi bentuk, definisi, ruang lingkup perlindungan dan pemulihan korban.
Keterbatasan hukum demikian menyebabkan korban tidak mendapat rasa aman, adil, dan pulih secara psikis dari bayang-bayang peristiwa yang telah menimpanya.
“Namun, apa dikata, saat ini DPR dan pemerintah agaknya lupa dengan YY yang tersebar di bumi Indonesia,” pungkasnya.
Rahmi menambahkan, darurat kekerasan seksual di Sumatera ditandai meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual dengan berbagai modus.
Dari data yang terhimpun di beberapa organisasi, pada 2016 terdapat sekitar 264 kasus kekerasan seksual di Sumatera. Disusul 2017 di 378 kasus, lalu 2018 di 308 kasus. Kembali naik menjadi 367 kasus pada 2019. Hingga Agustus 2020 tercatat 254 kasus kekerasan seksual dengan pendampingan organisasi pengada layanan.
Hematnya, tujuan sidang ini untuk mendesak agar memasukkan RUU PKS ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Ketika ada korban kekerasan seksual perempuan disabilitas maka kemungkinan bunuh diri dan depresi akan dialami oleh korban.
Dilansir dari laman ANTARA BENGKULU, permasalahan kekerasan seksual menjadi rumit di beberapa situasi, seperti di Aceh.
Rahmi menjelaskan bahwa kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak beserta tindak pidana diatur dalam qanun jinayat. Hukum jinayat berdasarkan pembetukan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 adalah bagian dari pelaksanaan syariat islam sebagai amanat UU Pemerintahan Aceh.
Dalam menangani kasus ini, penerapan qanun jinayat justru menimbulkan tiga permasalahan utama. Pertama, tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Kedua, tindak pidana yang tidak adil. Ketiga, teknis pengaturan hak restitusi yang dinilai tidak jelas untuk memenuhi keadilan terhadap korban.
Tak hanya itu, permasalahan kekerasan seksual di masyarakat adat juga dikemukakan di regional Sumatera. Dalam masyarakat adat, kasus ini dianggap aib yang harus ditutupi oleh keluarga besar. Seperti yang terjadi di Mentawai, korban kekerasan seksual meminum racun untuk mengakhiri hidupnya.
Tokoh adat Desa Binaga Boang Medan, Jondri Betutu dan Eka Anwar Arif salah satu tokoh adat Merangin ikut mendukung pengesahan RUU PKS.
“RUU PKS harus segera disahkan demi perlindungan, pemulihan, dan ketidak terulangan kekerasan seksual pada korban,” tutup Rahmi.
Penulis : Ahmad Lutfi Harun
Editor  : Firlia Nouratama