Sungai Kampar di Riau Tercemar: “Siapa Sebenarnya yang Lebih Banyak Menyumbang Kerusakan Lingkungan?”

Sudirman menyengir tatkala ditanya bagaimana kualitas Sungai Kampar kini. Jika dibandingkan dengan dulu, menurutnya, sangat jauh berbeda.

Nelayan berusia 50 tahun ini bukan orang baru dalam menjaring ikan. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, telah digelutinya profesi tersebut. Dari masanya hingga kini, perbandingan kualitas air selalu diamati.

Kalau dulu ia bisa langsung minum air sungai, tidak dengan sekarang. Sekarang masyarakat kebanyakan sudah membeli air mineral langsung. Walaupun begitu terdesak gunakan air sungai, maka harus dimasak terlebih dahulu.

“Kan banyak bakteri-nyo,” ungkapnya nelayan asli Rantau Baru ini.

Ia miliki pondokan yang dijadikannya tempat bermalam saat bekerja. Selain menjual hasil tangkapan, lelaki ini tawarkan ikan salai yang dibuat di samping pondoknya.

Agaknya hal yang paling memungkinkan perubahan kualitas air ini adalah limbah perusahaan. Sudirman sendiri tak percaya diri saat sebutkan hal ini. Namun, ia miliki keyakinan kalau limbah pabrik perusahaan menjadi salah satu alasan sungai tercemar.

Sayap kanan dan kiri sungai kebanyakan dipadati kebun kelapa sawit. Pupuk sawit kemungkinan turun ke sungai lantaran hujan, menjadi perkiraan tercemarnya air sungai. Dugaan antara pupuk sawit dan limbah perusahaan menjadi tanda tanya para masyarakat dan nelayan.

“Siapa sebenarnya yang lebih banyak menyumbang kerusakan lingkungan?,” katanya.

Hasil Tangkapan Ikan Berkurang

Zulki, operator perahu, mengengkol mesin perahu. Membiarkan perahu melaju dengan cepatnya. Perjalanan menuju Rantau Baru ini berbeda dengan sebelumnya. Pada perjalanan sebelumnya saya melihat sungai-sungai bercabang atau miliki anak sungai.

Namun, kini sungai hanya memiliki satu jalur dan tidak berbelok tajam.

Dua jam lebih waktu habis di sungai. Kami akhirnya memutuskan istirahat sejenak di desa. Mengisi perut, tenaga, dan meluruskan badan. Usainya, saya bersama Gio dan Fauza berjumpa dengan Musnani. Mereka adalah tim Mapala Humendala, di perahu yang berbeda denganku.

Berada di atas rumah panggungnya, kami perlahan tapaki anak tangga itu ke atas.

“Banyak ikan dapat, Bu?”

“Hah beginilah,” jawabnya dengan mata yang tetap terfokus ke pegangannya. Perempuan usia 46 itu tengah membolak-balik ikan. Lagi produksi ikan asin.

Musnani adalah salah satu nelayan perempuan. Hasil tangkapannya tak jarang habis terjual di pasar. Kadang ia juga menerima pembelian ikan dari orang lain yang ingin menjual padanya. Ikan Pantau jadi kebanyakan hasil tangkapan. Namun ada juga jenis ikan lainnya yang buat Musnani variasikan penjualannya. Dijadikan ikan asin, salai, atau jual mentah begitu saja.

Penghasilan tak begitu pasti. Ia pun tak jadikan nelayan sebagai satu-satunya mata pencaharian. Kebanyakan masyarakat ini juga memiliki pekerjaan lainnya. Misalnya berdagang, buruh, atau menjadi pegawai.

“Kalau hanya jadi nelayan ga cukup, perlu kerja lain juga,” terangnya.

Dari Musnani juga saya tahu, pembangunan rumah di desa ini secara panggung bukan tanpa alasan. Air sungai yang pasang bisa memasuki rumah-rumah hingga satu meter lebih tingginya. Lantaran itu, susunan rumah di sini lebih tinggi daripada rumah umumnya.

Berkurangnya ikan, berkurang juga pada hasil tangkapan nelayan. Musnani bercerita kisahnya dulu. Jika menyebarkan jala kemudian ditinggal memasak nasi, ikan sudah dapat banyak. Namun, kini sudah ditinggalkan satu malam, hanya beberapa ikan yang masuk jebakan.

“Apa karena air sungainya Bu?,” tanya saya.

“Iya mungkin. Berapa tahun lalu itu kan sempat ikan mengambang di sungai, seminggu lamanya. Banyak kali ikan pada mati, orang-orang di sini banyak ambil ikan tu.”

“Dimakan juga?”

“Iya. Sayang kalau enggak.”

“Ikan pada mati kenapa tu Bu?”

“Kemungkinan lantaran limbah dari pabrik perusahaan lah. Tapi tidak tahu juga,” kata Musnaini. Perempuan dengan kerudung biru langit itu masih giat menimbang dan membersihkan ikan-ikannya.

Cukup terkejut dengan perkataan Musnaini barusan. Seminggu adalah waktu yang sangat lama jika ikan-ikan terus menerus mati.

‘Dulu Bisa Minum, Sekarang Tak Bisa’

Terkontaminasinya air sungai buat masyarakat mendapatkan imbasnya. Khususnya kesehatan kulit. Tak jarang, kata Musnaini, masyarakat terkena penyakit kulit gatal-gatal.

Hal demikian juga disampaikan oleh Nani. Wanita yang merupakan pengajar ini bilang masyarakat yang sensitif lebih rentan terjangkit penyakit kulit. Tak jarang anak-anak sering kerap terkena dampaknya.

Penyusuran sungai saya dan tim lanjutkan. Malam itu saya putuskan bermalam di Istana Sayap Pelalawan. Bangunan yang menjadi ikonik Pelalawan. Istana ini dialiri dengan sungai. Warnanya hitam, lantaran jenis sungai itu ialah sungai dengan tanah gambut.

Pagi harinya, seperti hari sebelumnya pukul 9 pagi kami segera kenakan pelampung

masing-masing dan menaiki perahu. Mesin berderu dan berjalan dengan laju. Lokasi yang kami tuju hari ini adalah Teluk Meranti. Kecamatan yang terletak di Kabupaten Pelalawan ini merupakan lokasi desa wisata.

Menuju Teluk Meranti, saya melihat perbedaan beberapa hal. Ialah rambu-rambu lalu

lintas perairan yang tak jauh berbeda dengan di darat. Ada tanda belok kanan dan tanda gelombang. Arus hari itu pun cukup kuat dibandingkan sebelumnya, gelombang sempat menerjang perahu yang. Tali saya pegang dengan kencang, Zulki pun mengerahkan perahu ke arah yang lebih aman.

Lokasi kali ini adalah Desa Bono. Desa wisata yang miliki keistimewaan lantaran ombak bononya. Lokasi berselancar yang diganderungi banyak peselancar dunia.

Namun sangat disayangkan. Lagi-lagi permasalahan di perairan pun rupanya sama dengan di desa sebelumnya. Ikon desa wisata tak menegaskan untuk menjaga sungai dengan baik.

Ali Ashar, Andi, Samsur tutur keadaan sungai. Mendengar tuturan mereka ini sama dengan keluhan-keluhan para masyarakat sebelumnya.

“Dulu saya waktu kecil habis main bola biasa langsung minum air sungai tu. Sekarang tak bisa, dah tercemar,” kata Ali Ashar.

“Kemungkinan pupuk-pupuk sawit yang kebawa air hujan ke sungai. Atau bisa jadi dari limbah RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper).”

“Hum, limbah RAPP tuh kadang baunya sampai ke sini juga, mengganggu.”

Perusahaan Perusak Lingkungan

Telunjuk Azrianto mengarah ke Sungai Kampar yang berwarna cokelat gelap dan keruh. Kepala Desa Buluh Cina itu asik bercerita soal kondisi sungai kini. Saya mendengar dengan seksama. Kepentingan sungai, menurutnya, merupakan hal paling krusial. Penurunan kualitas air sangat mempengaruhi aktivitas warga. Terutama di bidang perekonomian.

“Jumlah nelayan sekarang itu menurun,” katanya.

Masyarakat Buluh Cina, desa yang tinggal dekat Sungai Kampar, dulunya kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Namun, kata Azrianto, sekarang jumlahnya tak sampai 20 persen. Kebanyakan pada peluk profesi pedagang dan berkebun.

Menurutnya nelayan tak lagi menjanjikan. Mencari ikan di Sungai Kampar kini seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Bukan sia-sia, namun sukar lantaran pencemaran sungai yang terjadi.

Sungai ini mengaliri tiga kabupaten di Riau. Mulai dari Kampar itu sendiri. Lalu Pelalawan hingga Kuantan Singingi. Membentang sepanjang 4.135 km. Sayangnya, sumber air masyarakat yang dialiri Sungai Kampar tak layak lagi dimanfaatkan.

Merujuk data pada Evaluasi Dinas Lingkungan Hidup Riau soal kualitas Sungai Kampar 2014 sampai 2018, hasil mayoritas titik pantau sungai tersebut tercemar berat.

Muara Sungai Kampar merupakan gabungan dari beberapa aliran sungai besar dan anak sungai yang terdapat di Provinsi Riau. Aliran air yang masuk ke muara Sungai Kampar mengindikasikan banyak mengandung bahan pencemar.

Hal ini terjadi karena di sepanjang sungai yang mengalir ke muara Sungai Kampar terdapat banyak pabrik-pabrik atau kegiatan industri yang beroperasi dan membuang limbahnya ke sungai. Pernyataan ini dikutip dari hasil riset Erlangga bertajuk Efek Pencemaran Sungai Kampar di Riau terhadap Ikan Baung.

Ribuan ikan mati massal juga menjadi persoalan serius yang harus diprioritaskan. Dari hasil penelusuran, 2015, 2019, dan 2021 adalah tahun dimana bangkai ikan mengambang di Sungai Kampar.

Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pelalawan pernah berkunjung ke lokasi pengolahan limbah PT RAPP. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi bubur kertas dan kertas.

Dalam laporan mediumpos tahun 2021 itu, mereka meminta untuk menjala ikan yang ada disana. Hasilnya, ditemukan beberapa ekor ikan yang masih segar.

Namun, Dosen Fisika Lingkungan Universitas Riau sebutkan tidak sesederhana itu. Meskipun kondisi tersebut dapat dilihat secara kasat mata, namun tetap harus diukur baku mutu-nya.

Selain PT RAPP, pabrik pengolahan kepala sawit turut menyumbang limbah ke sungai-sungai yang ada di Riau. Diketahui, ada 237 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terdata oleh Badan Pusat Statistik Riau tahun 2021.

Penulis: Ellya Syafriani

Editor: Andi Yulia Rahma