Temukan Hangatnya Persahabatan dalam Jumbo

Film animasi Jumbo menjadi salah satu tontonan yang meramaikan libur lebaran tahun ini. Kisah yang dihadirkan berhasil membawa saya bernostalgia ke masa kecil. Seperti ketika tokoh utama film mendengar dongeng sebelum tidur dari kedua orang tuanya, atau ketika dia berbincang dengan sang nenek.

Hasil karya lebih dari 400 animator Indonesia ini berhasil membangun suasana yang hangat dan menyentuh dari awal hingga akhir. Suasana yang dibangun lewat visual dengan suguhan warna yang memukau dapat memanjakan mata saya. Meskipun proses produksinya memakan waktu hingga lima tahun, hasil akhir dari film ini sama sekali tidak mengecewakan.

Saya mungkin akan mengira Jumbo merupakan karya dari studio animasi Pixar jika bukan karena kehadiran logo Visinema Studios sebagai rumah produksi. Melihat bagaimana kualitas grafis animasinya yang sudah sekelas dengan gaya khas studio animasi ternama tersebut, tidak mengherankan bila saya ikut terkecoh.

Disutradarai oleh Ryan Adriandhy, Jumbo mengisahkan tentang Don (disuarakan oleh Prince Poetiray dan Den Bagus Sasono). Seorang anak kecil dengan buku dongeng pemberian kedua orang tua yang sangat ia sayangi.

Dongeng dengan judul Kisah Kesatria Pemberani di Pulau Gelembung Ajaib itu ditulis langsung oleh kedua orang tua Don sebelum mereka meninggal dunia dalam kecelakaan. Dia sering dipanggil Jumbo, bahan ejekan teman-temannya karena Don memiliki tubuh yang cukup besar.

Setelah ditinggal oleh orang tuanya (disuarakan oleh Ariel dan Bunga Citra Lestari), Don diasuh oleh Oma (disuarakan oleh Ratna Riantiarno). Anak berjubah merah itu menjalani hari-hari bersama dua sahabatnya, Nurman (disuarakan oleh Yusuf Ozkan) dan Mae (disuarakan oleh Graciella Abigail). 

Masalah mulai muncul ketika teman-temannya acap kali memanggil Don dengan julukan Jumbo. Tak urung, mereka turut mengucilkan bocah itu karena Don dinilai hanya mengganggu permainan karena kemampuannya yang tidak seberapa.

Tindakan mereka membuatnya tergerak untuk mengikuti ajang bakat di Kampung Seruni, tempat tinggal mereka. Dibantu Nurman dan Mae, Don menampilkan cerita dongeng dari buku kesayangannya. Dia berharap semua teman-teman yang pernah mengejeknya akan berhenti dan ingin bermain bersama setelah pentas itu berakhir.

Namun, rencana Don terancam gagal ketika buku dongeng kesayangannya dicuri oleh Atta (disuarakan oleh M. Adhiyat), bocah yang kerap kali mengganggunya. Atta mencuri buku tersebut karena tidak bisa mendaftar dalam kompetisi. Dia diam-diam juga merasa iri terhadap kehangatan persahabatan Don, Nurman, dan Mae.

Don bersama sahabat-sahabatnya pun berusaha mendapatkan kembali buku tersebut. Dalam proses pencarian, mereka bertemu dengan Meri (disuarakan oleh Quinn Salman), sosok arwah gadis kecil yang tengah mencari kedua orang tuanya (disuarakan oleh Ariyo Wahab dan Cinta Laura Kiehl).

Meri meminta pertolongan kepada Don untuk mencari orang tuanya yang ditangkap oleh seseorang yang tidak dikenal. Mereka sepakat akan membantu Meri jika hantu kecil itu ikut membantu mereka untuk mengambil kembali buku dongeng yang dicuri Atta. Melalui kekuatan magisnya, Meri berhasil mengembalikan buku dongeng itu kepada Don. Pertemuan ini membawa dimensi baru dalam cerita yang sarat akan kehangatan dan keajaiban.

Dengan durasi 102 menit, karakter-karakter dalam film digambarkan dengan sifat dan latar belakang yang berbeda. Salah satu tokoh yang menimbulkan kesan mendalam bagi saya adalah Atta. Sempat timbul kekesalan di awal film berlangsung.

Namun seiring berjalannya cerita, saya justru diajak untuk bersimpati kepadanya. Sikapnya selama film berlangsung ternyata didasari pada keinginan untuk mengikuti lomba dan memenangkan hadiah sebesar Rp500.000 demi membantu biaya pengobatan kaki abangnya yang cedera (disuarakan oleh Angga Yunanda).

Nilai-nilai seperti persahabatan, humor, bullying, dan trauma masa lalu berhasil disajikan dengan apik dalam Jumbo. Isu-isu yang diangkat pun terasa begitu dekat dan relevan, terutama bagi penonton yang pernah mengalami masa kecil serupa. Selain itu, permainan-permainan tradisional yang ditampilkan seperti kasti, panjat pinang, hingga mengambil koin dari semangka, juga tak kalah menambah unsur nostalgia yang kuat.

Salah satu momen paling mengharukan dalam film ini adalah ketika Don dan Meri menampilkan lagu original soundtrack berjudul Selalu Ada di Nadimu. Lagu yang ditulis oleh Laleimanino itu sukses menyentuh emosi. Bahkan membuat air mata saya menetes karena begitu kuatnya pesan yang disampaikan.

Sebagai penutup, Jumbo bukan hanya sebuah tontonan hiburan. Tetapi juga karya yang sarat akan makna. Film ini membuktikan bahwa animator-animator Indonesia memiliki potensi besar dalam menciptakan karya berkualitas tinggi untuk bersaing dengan animasi lainnya.

Harapan saya, keberhasilan Jumbo bisa menjadi gerbang yang lebih luas bagi para talenta lokal. Mereka dapat menyalurkan kreativitas dan menjangkau lebih banyak penonton, baik di dalam maupun luar negeri. 

Penulis: Sandriana Dewi
Editor: M. Rizki Fadilah