“Tren korupsi di Riau memang menurun, tetapi angkanya masih cukup tinggi. Bisa dikatakan Riau masih darurat korupsi,” ujar Jeffri Sianturi Koordinator Umum Senarai.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Senarai, tahun ini ada 27 perkara tindak pidana korupsi yang masuk ke Pengadilan Tinggi Negeri Pekanbaru. Sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) menjadi yang paling banyak dipermainkan, sebanyak 8 perkara. Sektor ini paling banyak ditemukan dalam proyek-proyek pemerintah. Mirisnya lagi, pelakunya dominan berasal dari instansi pemerintah seperti Aparatur Sipil Negara atau ASN.

“Kami [Senarai] ingin di Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI), Gubernur Riau memecat ASN yang terbukti korupsi dan mengeluarkan kebijakan kuat untuk melawan korupsi.”

“Korupsi hampir pasti menjerat para elit, karena mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan kebijakan,” sambung Rafzamzali dari Green Radio Line.

Made Ali Koordinator Jikalahari katakan ada 378 perusahaan tanpa izin, dari total 513 perusahaan kelapa sawit di Riau. Lahan-lahan ilegal tanpa izin usaha ini direbut dari masyarakat setempat dengan cara menyuap, mengusir, hingga membakar hutan.

Pembakaran hutan dan lahan tentu berdampak pada ekosistem. Tak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga membahayakan alam sekitar. Makhluk hidup yang tinggal di alam dapat terusir dari tempat tinggalnya. Belum lagi pencemaran udara yang menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Lebih lanjut, juga dapat berujung kematian.

Kata Jeffri, dari 27 kasus korupsi yang masuk ke Pengadilan Tinggi Negeri Pekanbaru, empat di antaranya dibebaskan dari hukuman. Kasus korupsi di Riau paling banyak ditemukan di Kabupaten Indragiri Hilir. Sebanyak tujuh perkara.

“Rata-rata vonis yang didapat pun hanya tiga sampai lima tahun penjara. Ditambah denda paling rendah 50 juta dan paling tinggi 800 juta.”

Terkait hukuman bagi koruptor, Almas Sjafrina Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai hukuman mati belum tentu dapat berjalan efektif. Banyak negara yang sudah menerapkannya untuk para koruptor, tetapi angka kasusnya tetap tinggi. Efektivitasnya lantas dipertanyakan.

“Mungkin akan lebih efektif apabila koruptor-koruptor tersebut didenda dan dibuat miskin agar menimbulkan efek jera,” ujarnya.

Baik Sekolah Anti Korupsi yang diadakan ICW, sosialisasi serta edukasi dari sekolah dirasa belum efektif. Sehingga, pemerintah diminta mengeluarkan tindakan hukum dengan efek jera agar tidak ada lagi bibit koruptor.

Masih kata Almas, selama ini kita hanya diajarkan tentang apa itu korupsi dari pelajaran sekolah. Namun, implementasinya belum dilakukan secara maksimal. Akibatnya, orang-orang masih belum memiliki kesadaran tinggi terhadap tindak pidana korupsi.

Noval Setiawan dari Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru tekankan pentingnya peran keluarga dalam mengarahkan anak-anaknya melawan korupsi. Sayangnya, hingga saat ini banyak ditemukan orang tua yang melakukan cara apapun agar anaknya dapat diterima oleh suatu instansi.

“Kebanyakan kasusnya menggunakan cara suap-menyuap.”

Almas menyayangkan bahwa pelaku koruptor yang berdatangan dari instansi pemerintahan sebenarnya adalah hasil pilihan masyarakat sendiri. Ditambah lagi, masyarakat dibatasi dalam memilih kandidat.

Untuk itu, diperlukan gerakan anti korupsi guna menekan partai politik agar mengeluarkan kandidat dengan rekam jejak yang tak baik. Ia membuat perumpamaan bahwa saat ini, isi tas lebih dipentingkan daripada kualitasnya.

Banyaknya korupsi juga terjadi karena sistem yang tidak terbuka, sehingga publik tidak mengetahui ada apa di balik kebijakan pemerintah.

“Jangan takut untuk meminta keterbukaan, karena kita punya hak untuk mengetahui itu,” lanjut Almas.

Senarai gelar diskusi virtual memperingati HAKI dengan tema Pemuda Lawan Korupsi Senin, (7/12). Diskusi ini bekerja sama dengan Jikalahari, ICW, Green Radio Line, Lembaga Pers Mahasiswa Bahana, Media Mahasiswa Aklamasi, serta Badan Eksekutif Mahasiswa Politeknik Caltex Riau dan Universitas Islam Riau. Harapannya, pemuda dapat lebih sadar dan menolak tindak pidana korupsi.

Reporter : Qonitah Balqis

Editor      : Annisa Febiola