Indonesia Agraria Watch, atau IAW gelar diskusi nasional. Bertajuk Rempang Mencekam: Bisakah Negara Ambil Alih Tanah Tanpa Persetujuan Rakyat Setempat?. Diskusi berlangsung secara daring melalui patform Zoom pada Sabtu (7/10).

Hasyim Purba, akademisi dari Universitas Harapan Medan awali diskusi. Ia katakan bahwa tanah merupakan esensial hidup dan kehidupan umat manusia.

Paparnya, kondisi hukum bidang pertanahan di Indonesia tidak sejalan dengan konstitusi Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. Yang tertulis tegas kalau bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara. Dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

“Tanah digunakan bukan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu,” pungkasnya.

Tambah Hasyim, peraturan pemerintah bisa menghahuskan kehidupan masyarakat, jika tidak tegas dalam mengatur tanah adat. “Rakyat sebagai subjek yang diutamakan, bukan objek yang hidupnya dihanguskan,” paparnya.

Ia pun berharap supaya pemerintah bekerja dengan praktikkan nilai-nilai UUD 1945.

Fandi Rahman, dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau ujarkan, hak atas tanah kerap kali tidak dianggap bagian dari Hak Asasi Manusia atau HAM.

Ia sebutkan proyek Rempang Eco City. Walhi Riau nilai bahwasannya proyek ini adalah kerusakan ekosistem. Yang tidak hanya berdampak di Rempang saja, namun juga berakibat buruk bagi kehidupan yang ada di pulau tersebut. Mulai dari matinya flora dan fauna, serta turunnya kualitas air juga tanah. Belum lagi adanya gangguan pada biota perairan.

“Tanpa AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), Bahlil berambisi menggusur warga Rempang demi investasi Tiongkok,” tegas Fandi.

Ujar Fandi lagi, undangan konsultasi publik AMDAL pun baru dikeluarkan Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 27 September 2023. Ia pun mengatakan, pemerintah berhasil mengindentifikasi masalah namun gagal dalam menerjemahkan kehidupan masyarakat.

Lalu ada Noval Setiawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru. Kuasa Hukum Masyarakat Rempang ini bilang kalau Yayasan Lembaga Hukum telah menyediakan posko bantuan. Tersebar di beberapa kampung.

Noval menandakan tanggal 7 Oktober ini sebagai peringatan satu bulan kasus Rempang berlalu. Katanya, penggusuran paksa pada masyarakat sama dengan pemindahan ruang hidup.

“Butuh banyak orang yang berteriak kencang atas apa yang terjadi di Rempang,” tutupnya.

Penulis: Mutiara

Editor: Ellya Syafriani