Kemendikbud Ristek Batal Naikkan UKT, Hanya Sementara?

“Kemendikbud membatalkan kenaikan UKT, namun ada kemungkinan tahun depan tetap dinaikkan,” ujar Mahasiswa Agroteknologi Khariq Anhar lewat Google Meet perihal Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dalam pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Senin (27/05).

Diskusi yang berlangsung pukul 5 sore itu dihadiri 41 peserta. Tergabung dari beberapa calon mahasiswa baru 2024, alumni mahasiswa Universitas Riau (UNRI), anggota Lembaga Berbadan Hukum (LBH) Pekanbaru, dan jaringan Aliansi Pendidikan Gratis (Apatis).

Khariq bilang, diskusi ini dilakukan atas inisiatifnya sendiri. “Saya merasa harus segera membuat forum untuk membahas dan menyikapi kasus isu ini. Karena saya lihat anak 2024 juga kurang update terhadap isu tersebut,” ujarnya.

Mulanya, Mahasiswa dari Fakultas Pertanian itu tampilkan berita dari Kompas berjudul Kemendikbud Ristek Batalkan Kenaikan UKT 2024-2025. Ia menanggapi perihal Kementerian Pendidikan dak Kebudayaan (kemendikbud) yang menyatakan mahasiswa lama mempermasalahakan kebijakan UKT, yang padahal kebijakan UKT naik diperuntukkan mahasiswa baru.

“Pihak Kemendikbud justru bukan mempermasalahkan permennya (peraturan menteri) yang bermasalah. Tapi rektornya dan mahasiswanya. Itu sangat mengadu domba, sehingga malah menimbulkan gejolak lagi di internal,” ujar Khariq.

Khariq katakan pembatalan UKT yang baru diumumkan hanyalah meredam isu saja. Mengingat rencana pemerintah yang akan menaikkan UKT di tahun depan. “Harapan abang sih tidak ada peningkatan UKT. Justru kalau bisa penurunan UKT atau yang seperti saya cita-citakan sama kawan-kawan di aliansi pendidikan gratis, ya penghapusan terhadap sistem UKT. Karena kita kuliah di negeri, harusnya negara yang membiayainya,” harapnya.

Ia kemudian mengganti tampilan layar dengan pemberitaan dari Tribun Pekanbaru, berjudul Menteri Nadiem Makarim Batalkan Kenaikan UKT, UNRI Tunggu Petunjuk Teknis dari Kemendikbudristek. 

“Petunjuk teknis itu maksudnya langkah-langkah yang akan ditempuh Unri terkait keputusan,” jelas Khariq terkait judul berita.

Salah satu anggota Aliansi Pendidikan Gratis, M. Dirga Rizkiansyah memberikan pendapatnya. “Yah, memang seharusnya ini adalah hal yang dilakukan Kemendikbudristek sejak lama, bukannya baru sekarang saat seluruh mahasiswa dan masyarakat ramai berbicara soal pendidikan yang mahal,” ujarnya perihal pembatalan kenaikan UKT tersebut.

Dirga sampaikan negara mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat. Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 adalah salah satu penyebab masalahnya. Tak hanya kenaikan UKT, tapi IPI juga didongkrak penerapannya lewat peraturan menteri ini. Maka tuntutan soal cabut Peraturan Menteri Nomor 2 ini harus tetap digaungkan, tambahnya.

Menyatakan hal yang sama, Khariq juga bilang bahwa yang menjadi problematika permasalahan ini adalah Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024. Memuat aturan kenaikan UKT bagi mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), mengutamakan keadilan dan inklusivitas.

Muhammad, nama yang tercantum di bawah profil dengan abjad M itu bertanya, “Apakah ada universitas yang sudah menurunkan atau membatalkan UKT?”

Menanggapi pertanyaan tersebut, Khariq bilang ia belum mendapatkan informasi. Pun pembatalan Kenaikan UKT baru saja diberi tepatnya pada 27 Mei 2024. Sehingga kemungkinannya cukup kecil jika pihak Universitas bertindak sekarang.

Berlanjut ke pertanyaan yang lain, terkait mahasiswa baru yang sudah membayar UKT. Ia jawab uang tersebut akan di refund atau dikembalikan oleh UNRI. Untuk pengembalian uang, Khariq bilang harus ada bukti pembayaran. Lanjutnya bisa dicek melalui website revisiukt.unri.ac.id.

Begitu pula dengan golongan UKT, akan ada perubahan. Misal yang awalnya mendapatkan UKT 7 sebagai golongan tertinggi, kemungkinan golongannya akan diturunkan ke tingkat 6. Lanjutnya, Khariq katakan bahwa mahasiswa baru yang belum membayar UKT hingga saat ini masih diberi kesempatan untuk membayar.

Salah satu peserta turut memberikan pendapat, Ayyamul, ia sarankan seharusnya mahasiswa bisa mendesak rektor. Tak hanya itu, ia usul Rektor seharusnya bersikap transparansi terhadap golongan UKT tiap angkatan. Untuk pendataan tersebut, Ayyamul bilang bisa dilakukan melalui g-form dan disebar kepada mahasiswa tiap angkatan.

Menanggapi hal tersebut, Khariq bilang sebenarnya sudah pernah melakukan langkah-langkah tersebut bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Faperta, namun ternyata memang sulit untuk mendata UKT.

“Itu berguna ketika kita melihat, dengan UKT segini kita bisa tahu, seharusnya kita mendapatkan fasilitas yang segini,” jelasnya.

Salah satu anggota Lembaga Berbadan Hukum (LBH) yang hadir, Wilton, ikut memberikan tanggapan. Ia bilang perlu ruang diskusi terkait keputusan Kemendikbud tersebut.

“Kita perlu semacam diskusi terkait Kemendikbud terhadap kenaikan UKT. Perlu dipantau, diriset, dianalisis terhadap kebijakan yang gak jelas itu,” ujarnya.

Untuk saat ini, Wilton bilang belum ada petisi revisi Permendikbud No. 2 Tahun 2024. Ia bilang, lebih baik jika mahasiswa yang mengadakan petisi tersebut ketimbang LBH.

“Kalau dari LBH kurang dapat feel-nya,” ujar Wilton.

Konfirmasi lebih lanjut, Khariq katakan sudah ada koordinasi dengan Apatis. Untuk waktu penyebaran petisi belum dapat dipastikan, tambahnya.

Menanggapi ini, Presiden Mahasiswa UNRI Muhammad Ravi bilang keputusan Nadiem Makarim tidak menyelesaikan masalah. Sebelum Permendikbud Ristek yang menyoal UKT dan IPI dikoreksi lebih dahulu. “Yang dicabut kan hanya kenaikan UKT, bukan Permendikbud Ristek yang menjadi landasan penetapan UKT dan IPI,” terangnya.

Sebelum itu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim sampaikan pembatalan kenaikan UKT, di Istana Merdeka pada Senin (27/5). Melansir Tempo, untuk tahun ini tidak akan ada mahasiswa yang terdampak dari adanya  kebijakan kenaikan UKT. Tambahnya pemerintah akan mengevaluasi satu per satu permintaan dari perguruan tinggi untuk peningkatan UKT di tahun depan.

Penulis: Fitriana Anggraini

Editor: Ellya Syafriani