Polemik RKUHP Matikan Demokrasi di Indonesia

“Negara melahirkan hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan untuk menindas,” ujar Alfikri pada Kuliah Umum Nasional yang ditaja oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Riau. Kegiatan bertajuk Polemik RKUHP: Benarkah Mematikan Demokrasi di Indonesia?, dilaksanakan secara langsung di Gedung PKM UNRI Gobah, Sabtu (10/9).

Awalnya, Alfikri jabarkan sejarah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda, sebagai tameng bagi penguasa saat itu dan untuk orang yang tak senang dengan pemerintah saat itu pula. 

Alumni Hukum itu katakan, ada produk hukum yang bersifat menindas dan ada pula produk hukum yang bersifat peduli terhadap masyarakat.

Hal untuk menyenangkan rakyat Indonesia, tentu menjadi perjalanan panjang. Sebab, tidak semua masyarakat memandang Hukum Pidana dengan cara yang sama. Tidak heran, sekiranya ada kontroversi di antara masyarakat. 

“Wajar jikalau ada polemik di dalam masyarakat,” ucap Alfikri.

Selalu ada konsekuensi dalam perbuatan, mahasiswa kerap melayangkan kritikan pada pemerintah disaat tak mampu memberi kebutuhan masyarakatnya. 

“Bekerja dengan baik mendapat apresiasi. Sementara orang yang bekerja tidak baik, ya rasakan (konsekuensinya),” tegas Alfikri. 

Lulusan magister Universitas Gadjah Mada tersebut kembali bertanya. Ia tanyakan apakah RKUHP telah memenuhi aspirasi masyarakat. Dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Agar RKUHP tak salah sasaran dengan praktek dan implementasi, perlu dilakukan peninjauan kembali atas pasal yang harus disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan masyarakat. RKUHP berpotensi dapat mematikan demokrasi di Indonesia. 

“Semua tergantung kepada respon dan penerimaan masyarakat,” ujar Alfikri. 

Dilanjutkan oleh Erdianto Effendi, dosen Fakultas Hukum (FH). Ia mulai dengan memaparkan awal muncul RKUHP di Indonesia. Mulanya KUHP meniru Code Penal Perancis dengan prinsip barat individual. KUHP ialah warisan Hindia Belanda, 149 tahun yang lalu. 

Awalnya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) datang ke Indonesia untuk berdagang. Tak lama, berbalik niat. VOC ingin kuasai Indonesia. Tapi hanya di pulau Jawa saja. Tidak sampai Sumatera, sebab masih banyak kerajaan yang mempertahankan kekuasaannya dan kerajaannya di sana. 

Lanjutnya, banyak kontroversi KUHP yang bersebrangan dan menyimpan ketidaksesuaian dengan KUHP itu sendiri. Misalnya, hubungan kelamin diluar pernikahan atas dasar suka sama suka, serta pasal yang jaga dan lindungi martabat perempuan secara rinci. 

Effendi tambahkan pula kontroversi lain RKUHP, yang abaikan dan matikan nilai hukum serta agama. Sistem KUHP sudah ketinggalan zaman, tak dapat mengakomodasi kejahatan global. 

Dosen FH itu paparkan pengertian pembinaan hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja. Yakni mengganti yang tidak baik, memperbaiki yang kurang baik serta membuat yang baru. 

Pendapat Muladi dan Barda pun diujar Effendi, kebijakan kriminalisasi hukum pidana digunakan untuk tujuan pembangunan. Perbuatan yang dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yang mendatangkan kerugian materil dan spiritual atas masyarakat. 

Hukum pidana harus perhitungkan asas biaya dan hasil yang diharapkan. Selain itu, penggunaan pidana harus mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan daya kerja badan penegak hukum. Hukum berperan sebagai alat pengatur, sarana pembangunan kegiatan manusia. Bersama ketertiban masyarakat. 

Proses penyusunan RKUHP telah ditempuh hingga memakan 60 tahun, tentu bukan pekerjaan mudah. RKUHP adalah karya besar terbaik ahli hukum pidana terbaik di Indonesia. 

“Jadi tidak perlu diragukan lagi kualitas ahli-ahli hukum yang merancang RKUHP dan output yang mereka hasilkan,” ujar Effendi di akhir kuliah umum. 

 

Penulis : Amanda Wulandari

Editor : Najha Nabilla