UU Minerba : Lingkungan, Masyarakat Adat atau Investor?

“Perubahan Undang-Undang (UU) Pertambangan, Mineral dan Batu Bara (Minerba) menciptakan pertanyaan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat adat, lingkungan hidup, dan cara reklamasinya,” tutur Zainul Akmal. Ia adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau.

Zainul menyayangkan pengesahan UU Minerba yang cepat dan instan. Hal ini justru terjadi saat masyarakat sedang menghadapi Covid-19. Menurutnya, pengesahan UU hanya menjadi kepastian hukum bagi pengusaha tambang.

“Kalau eksploitasi tambang untuk kebutuhan daerah dan dikelola secara bijaksana tidak akan menjadi masalah.”

Boy Jerry Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) turut jelaskan bahwa UU Minerba menguntungkan perusahaan yang tidak patuh. Selain itu, juga mengabaikan lingkungan dan manusia.

“Peran manusia hanya dilihat sebagai alat untuk melanggengkan produksi,” ujarnya.

Boy menilai Perubahan UU minerba memiliki banyak kecacatan. Baik secara formal, maupun substansi. Di antaranya tidak memenuhi syarat pembahasan suatu peraturan atau carry over. Kemudian, tidak melibatkan dewan perwakilan daerah dalam proses pembahasan aturan. Pun yang berkaitan dengan kewenangan daerah dan perpanjangan izin otomatis. Terakhir, menghapus kewajiban reklamansi ke rona awal, dan beberapa kecacatan lainnya.

Boy juga menambahkan gambaran krisis dari perubahan UU. Seperti penurunan kualitas lingkungan. Ada pula ketimpangan struktur penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya. Hal ini disebabkan oleh dominasi pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam serta tumpang tindih. Juga pertentangan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 1 poin 28a UU No. 3 Tahun 2020 tentang perubahan UU 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba yang menyatakan bahwa wilayah hukum pertambangan adalah seluruh wilayah Negara Republik Indonesia yang konsekuensinya, masyarakat adat dapat digusur kapan pun atas nama tambang.

Dalam pasal 162 pada perubahan UU minerba berpotensi untuk mengkriminalisasi masyarakat adat yang menentang atau melawan perusahaan yang sudah mendapatkan izin pertambangan dari pemerintah.

Dalam konteks masyarakat Provinsi Riau, kata Boy salah satu komunitas adat yang berkonflik paling besar dengan investasi industri ekstraktif karena sebagian besar wilayah Riau sudah terbebani izin perusahaan. Contohnya suku talang mamak melawan PT Riau Bara Harum. Ada pula Kenegerian Pangkalan Kapas melawan PT Buana Tambang Jaya.

“Kesimpulannya, UU minerba baru ini bener-bener untuk keuntungan pribadi, dan alasan untuk kepentingan negara tidak sebanding dengan kerusakan alam yang dihasilkan,” pungkas Zainul pada kajian tersebut.

Pasca disahkan pada 12 Mei oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI, RUU ini berisi tentang pertambangan, mineral dan batu bara. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia adakan kajian perubahan UU Minerba pada Sabtu siang (28/11). Diskusi ini bertujuan untuk menilai apakah UU ini memperkuat posisi masyarakat adat atau malah hanya merusak lingkungan.

Reporter : Aditia Anhar

Editor     : Firlia Nouratama