Eko Rusdianto, seorang jurnalis lepas dan penulis tetap di kolom majalah Historia bercerita bahwa jika wawancara buruk, maka juga akan buruk. Eko jadi pemateri pada Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional atau PJTLN pada rabu, 12 Oktober 2016. Ia jelaskan materi wawancara. Eko sampaikan bahwa hal yang dipersiapkan sebelum melakukan wawancara yakni menentukan narasumber yang tepat kemudian kenali ia. Ia beralasan bahwa setiap narasumber memiliki karakter dan tipe yang berbeda, “Usahakan jangan berdebat dengan narasumber,” imbuhnya.

Usai menetukan karakter yang kredibel, susun daftar pertanyaan. Kemudian buat janji. Ia sampaikan bahwa ketika melakukan wawancara ada pertanyaan yang harus dihindari. Diantaranya ialah pertanyaan yang tidak sesuai dengan porsi narasumber, pertanyaan yang bertubi-tubi, dan bertanya tentang perasaan narasumber yang sudah jelas.

Eko sampaikan materi dengan selingan pengalamannya.

Pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, Eko akhiri materinya. Peserta PJTLN beranjak mengambil kopi dan makanan ringan yang disediakan panitia. Enam belas menit kemudian pemateri kedua maju dan memperkenalkan diri. Namanya Irmawati Puan Mawar, sepuluh tahun lebih mengabdi di media Tempo lalu memutuskan keluar. “Saya ingin mandiri dan keluar dari ketergesaan,” ujarnya.

Irma awali materi dengan berikan pertanyaan alasan menulis kepada semua peserta. Ada yang jawab ingin menulis untuk berkarya, memberikan informasi, menyampaikan pesan dan lainnya. Irma kemudian tersenyum, “Untuk mewujudkan semua keinginan dalam menulis ada tindakan yang harus dilakukan yaitu melawan rasa malas,” pesannya.

Setelah berhasil melawan penyakit malas, buatlah perencanaan untuk liputan dengan memilih topik yang menarik. Selanjutnya mulailah bekerja dengan data dan informasi yang didapat, meskipun kecil. Kemudian identifikasi masalah dan peta persoalan, lalu tetapkan angel yang tajam.

Setelah membuat perencanaan yang baik kemudian tulis. Irma menganalogikan bahwa menulis itu ibarat belanja ke pasar. Saat pergi ke pasar dan tahu hendak memasak apa, maka kita akan membeli bahan masakan sesuai dengan kebutuhan. Begitu juga menulis, kita harus memahami dengan baik persoalan apa yang akan dijadikan tulisan.

Trik untuk melakukan pendekatan sejarah ialah menulis secara mendalam dan menghidupkan data. Saat menulis sejarah wartawan akan dihadapkan dengan data sangat banyak. Wartawan tidak bisa menulis dengan baik jika datanya sedikit, kemudian data yang banyak akan membuat wartawan bingung. Wartawan dituntut sabar dan mau bekerja, jika timbunan data diperiksa maka akan dapat hal baru.

“Kebenaran bisa jadi ada di tempat yang tidak kita sukai,” ujar Irma. Irma sarankan untuk lupakan semua teori saat liputan. Lalu buat data yang ditemukan agar dekat dengan pembaca. Kemudian tulis data tersebut dengan memperhatikan tiga hal. Yakni narasi, deskripsi, dan kutipan.

Membuat sebuah informasi menjadi sebuah peristiwa yang menarik adalah kuncinya. “Bayangkan jika kabah tidak memiliki cerita atau kisah, ia akan sama dengan berhala,” ujar Irma. Ia juga cerita tentang bagaimana ia mengorbankan waktu, tenaga, materi dan fikirannya Untuk menjadikan anoa sebagai tulisan. “Hal-hal baru sangat mungkin terjadi di lapangan,” Imbuhnya.

Alwy Rahman adalah pemateri terakhir. Budayawan Makassar ini jelaskan tentang lima filter media yaitu media ownership, advertising, sources, flak, dan ideology.

“Menulis bisa menjadi monument dalam ingatan,” ujar pria berkumis ini. Alwi sampaikan dua cara berfikir seorang wartawan yaitu Taxonomy of Questionin sebagai cara berfikir yang membahas satu persatu bagian tulisan secara tuntas. Selanjutnya Systemic Thinking adalah cara berfikir yang menganggap setiap elemen-elemen tulisan dapat saling dikaitkan. *Nirma