Berkali-kali seseorang pengirim—tidak tahu asal usulnya mengirim berkas berisi dugaan plagiat karya tulis yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Syafri Harto.
Syafri Harto pada 2013 menulis Kajian Wisata Budaya Terpadu dalam Rangka Mengoptimalkan Potensi Lokal dalam Meningkatkan Daya Saing Bangsa (Optimalisasi Wisata Kawasan Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Karya ini diunggah pada Repository.unri.ac.id juga masuk dalam Prosiding sebuah seminar nasional.
Jauh hari sebelum Syafri menulis itu, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta sudah lebih dulu menulis tentang hal tersebut. Meylina Astri, Reza Taofik dan Tengku Andyka pada 2008 menulis karya tulis dengan judul Model Kampung Wisata Budaya Terpadu (Mokatabu) Sebagai Upaya Mengoptimalkan Potensi Identitas Lokal dalam Meningkatkan Daya Saing Bangsa. (Studi Kasus Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Keluarahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan).
Bukti-bukti berupa dua karya tulis ia kirimkan ke berbagai pihak. Ada tiga surat yang berhasil dihimpun dengan isi hampir sama kurun 2017. Pertama kali dengan tujuan Meylina Astri pada awal Februari. Sebulan kemudian ke Kantor Redaksi Bahana. Terakhir ke Dosen Pembimbing ketiga penulis sekitar September. Semuanya dengan identitas berbeda. Tak hanya itu, ia juga melaporkan kasus ini ke Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Tinggi kemudian menyurati UNRI meminta tanggapan atau klarifikasi terhadap laporan masyarakat tersebut.
Rektor pun bereaksi dengan menerbitkan surat tugas kepada Usman Tang, Ikhsan dan Hasnah Faizah. Bekerja selama 11 hari, tim akhirnya merumuskan hasilnya. Pencantuman pengutipan ada di karya tulis asli Syafri Harto bukan di repository. Kedua, kemiripan karya tulis sebesar 24 persen. Hasil ini pun sudah dikirim ke Kementerian terkait tetapi sampai berita ini diterbitkan belum ada balasan.
Perbuatan ini sangat memilukan ditengah UNRI membangun citra baik untuk akreditasi universitas. Apalagi tindakan yang dilakukan seorang dekan tersebut menjiplak karya tulis milik mahasiswa.
Ada yang mesti diperhatikan dalam kasus ini.
Pertama, Syafri Harto mengetahui penulis bernama Meylina Astri saat adanya kompetisi karya tulis tingkat mahasiswa pada 2008 lalu  UNRI sebagai tuan rumah. Kalaupun benar ia meminta izin memakai karya tulisnya tetapi harus dengan aturan yang berlaku. Pencantuman sumber kutipan merupakan bentuk apresiasi kepada penulis terdahulu dan sumber tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal ini tidak ada satu pun sumber pengutipan atau referensi yang mengambil dari karya tulis milik mahasiswa UNJ di karya tulis Syafri baik di repository maupun prosiding. Mengaku lupa tidak mencantumkan sumber pengutipan pada karya tulis tentu menjadi pertanyaan. Siapakah yang mengerjakan karya tulis ini ?
Kedua, UNRI cenderung main ‘aman’ dalam menyelesaikan kasus ini. Peraturan Menteri No. 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi mengatur secara teknis bagaimana menangani dugaan tindakan plagiat.
Pimpinan perguran tinggi diberi kewenangan untuk selesaikan kasus ini lebih dulu di ‘dalam’. Artinya tanpa melibatkan Kementerian, pimpinan sudah bisa menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindakan plagiat. Tetapi, dalam penanganan kasus ini, Rektor Aras Mulyadi mengikuti prosedur berupa mengirim surat hasil pemeriksaan ke Kementerian. Seakan-akan menyerahkan pekerjaan rumah ini kepada orang lain.  Padahal, Menteri dan Dirjen sendiri sampaikan harus diselesaikan dulu di UNRI lebih dahulu.
Belajar dari penanganan kasus plagiat Guru Besar FKIP Isjoni, UNRI secara cepat menangani hingga jatuhkan sanksi. Mengapa hal ini tidak berlaku bagi Syafri Harto ?
Sesuai dengan pasal 13 ayat 5 dan 6 di peraturan yang sama, Pimpinan perguruan tinggi atau Rektor UNRI dapat dikenakan sanksi oleh Menteri jika tidak menjatuhkan sanksi kepada plagiator atau tindakan pembiaran terhadap pelaku plagiat. Sanksi yang dikenakan oleh Menteri berupa teguran, peringatan tertulis dan pernyataan pemerintah bahwa yang bersangkutan tidak berwenang melakukan tindakan hukum di bidang akademik.
Ketiga, hasil pemeriksaan tim sekarang berada di Kementerian. Walaupun begitu, Kementerian sangat lamban dalam tangani kasus ini. UNRI sudah kirimkan hasil pemeriksaan sejak 1 November 2017 namun hingga jalan bulan ke tujuh, tidak ada tanda-tanda balasan.
Pada awalnya diproses oleh Dirjen Kelembagaan, Iptek Dikti. Namun, dioper ke Dirjen Sumberdaya Iptek Dikti. Kementerian juga tidak adil dalam penanganan perkara. Misalnya saat kasus plagiat oleh Rektor UNJ, Prof. Djaali, Kementerian sampai membentuk Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA). Sanksinya juga bukan main, pecat Rektor dan Direktur Pascasarjana UNJ. Sementara dalam kasus ini, tidak transparan dalam penanganannya.
Harapannya, insan Civitas Akademika UNRI dapat belajar dari kasus yang menjerat Syafri Harto yang juga baru saja meraih gelar doktor. Mengutip secara memadai dalam membuat karya tulis. Lalu, Rektor perlu mengeluarkan aturan batas maksimal kemiripan karya tulis yang dapat ditolerir sebesar 20 persen. Seluruh karya tulis apapun seperti Skripsi, Tesis dan Disertasi harus melalui uji aplikasi Turn it in. Agar kualitas penelitian meningkat dan tidak melanggar etika dalam dunia ilmiah.#
Baca laporan lainnya :
Rektor dan Kementerian Lakukan Pembiaran Plagiat di UNRI
Dugaan Plagiat Karya Tulis Sang Doktor Baru
Dua Karya Tulis : Sama di Bab Pendahuluan, Beda di Pembahasan