AWAL April lalu Balai Serindit Gedung Daerah Riau dipenuhi orang berkaos biru muda. I Love Someone with Autism tertulis di bagian depan kaos. Mereka hendak tonton pemutaran film dalam rangka Hari Autis Sedunia yang diperingati setiap tanggal 2 April. Usai pemutaran film, acara dimulai. Seorang wanita berjilbab berjalan tergesa mendekati Ketua Umum Forum Pengembangan Anak Penyandang Autis (F-PAPA), Dra Hj Septina Primawati MM. Wanita itu adalah Rovanita Rama SE, MH, Pendiri Klinik Terapi dan Sekolah Anak Mandiri.

Klinik Terapi dan Sekolah Anak Mandiri didirikan Rovanita Rama untuk anak berkebutuhan khusus. Kepeduliannya pada anak-anak berkebutuhan khusus diawali ketika anaknya, Zaky Kairi Bagawan menderita autis.

Zaky anak kedua Rovanita. Awalnya tak ada yang aneh pada kelahiran anaknya. Zaky lahir dengan berat 3,94 kilogram dan panjang 51 sentimeter. Normal.

Kejanggalan mulai dirasakan Rovanita saat Zaky tak pernah melakukan kontak mata pada usia 6 bulan. Ia juga alami gangguan pencernaan tiap selesai makan. Gerak motoriknya terbatas. Di usia 1 tahun, ia belum mampu minum sendiri serta sulit mengunyah maupun menelan makanan. “Zaky mampu berjalan pada usia 18 bulan tanpa melalui fase merangkak,” kata Rovanita.

Sejak Zaky berusia 2 tahun, Rovanita mulai mengumpulkan informasi terkait permasalahan Zaky. Setahun penuh konsultasi rutin dengan dua psikolog, tiga dokter anak, satu dokter spesialis syaraf anak, satu dokter THT dan dua psikiater. Dokter syaraf menduga ada masalah dengan motorik Zaky. Ia merekomendasikan agar Zaky diperiksa di Singapura.

Setelah diperiksa, hasilnya Zaky divonis menderita autis PPD-NOS.

 

AUTIS dari kata auto berarti sendiri.  Istilah autisme diperkenalkan pada 1943 oleh Leo Kanner seorang psikolog. Dari sisilain.net dinyatakan autis merupakan gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Gejalanya telah timbul sebelum anak berusia tiga tahun. Penyebab autis adalah gangguan pada sistem syaraf yang mempengaruhi otak. Hal ini menyebabkan anak tidak mampu berkomunikasi atau berinteraksi efektif dengan dunia luar.

Gejala penyandang autis terlihat dari sikap anak yang tidak peduli lingkungan, menolak berinteraksi atau berkomunikasi serta asik dengan dunianya sendiri. Penyandang autis juga sulit memahami bahasa dan berkomunikasi verbal.

Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS) merupakan salah satu jenis gangguan autis. Dari klinikautisindonesia.wordpress.com dinyatakan istilah ini  digunakan di Amerika Serikat. PDD-NOS merujuk pada gangguan autis yang berakibat rendahnya interaksi sosial dan komunikasi. Ia bisa memberikan respon tak wajar pada rangsangan sensorik.

Sejak divonis menderita autis PPD-NOS, Zaky intens mengikuti terapi hingga usia 3,5 tahun. Rovanita mulai mempelajari soal autis saat suaminya pindah kerja ke California, Amerika Serikat.

Di Amerika, Zaky sekolah di TK inklusi, sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Di sekolah itu Rovanita belajar cara menangani anak berkebutuhan khusus dengan seorang terapis. Ia juga ikut pelatihan bersertifikat dari asosiasi profesi terapis.

Tahun 2000 Rovanita dan keluarga kembali ke Pekanbaru. Terapi Zaky terus berlanjut berbekal ilmu dari California. Saat itu pula Rovanita mulai berkeinginan menolong anak-anak lain seperti Zaky dengan membuka klinik terapi untuk anak autis.

Tahun 2003 Rovanita memperdalam ilmu tentang autis dengan mengikuti pelatihan Texas Association for Behavior Analysis Autism Special Interest Group di University of Houston selama 2 tahun. Saat itu suaminya mendapat tugas kerja di Houston, Amerika Serikat.

Tahun 2005 Rovanita bersama keluarga kembali ke Indonesia, namun tinggal di Jakarta. “Saat itu susah sekali mendapat sekolah bagus untuk Zaky, tidak seperti di Amerika,” katanya.

 

ROVANITA Rama asal Jakarta. Saat orang tuanya pindah ke Pekanbaru untuk membuka usaha, seluruh keluarga turut ke Pekanbaru. Saat itu Rovanita berusia 5 tahun. Ia pun menyelesaikan jenjang pendidikannya di Pekanbaru.

Berkat kecerdasannya, Rovanita tidak pernah merasakan duduk di bangku kelas 6 SD. Usai kelas 5, ia direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 3 Pekanbaru. Ia dikenal sebagai anak pintar, selalu juara kelas. “Waktu kecil saya juga suka baca koran,” ujarnya.

Tahun 1987, Rovanita mendaftar ke Universitas Riau Fakultas Ekonomi. Ia masuk melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sepenmaru). Ia diwisuda tahun 1992. Selama kuliah, ia juga pernah menjadi mahasiswa teladan tiga se-Universitas Riau. “Alhamdulillah semasa kuliah semua baik-baik saja. Semua harus disyukuri dalam keadaan apapun,” ucapnya.

 

Foto bersama saat peresmian Klinik Terapi dan Sekolah Anak Mandiri
Foto bersama saat peresmian Klinik Terapi dan Sekolah Anak Mandiri

KESULITAN Rovanita menemukan sekolah untuk Zaky membuatnya tergerak menolong anak-anak berkebutuhan khusus lainnya. Ia pun mendirikan Klinik Terapi dan Sekolah Anak Mandiri. Klinik sekaligus sekolah ini berlokasi di Jalan Kutilang Kecamatan Sukajadi Pekanbaru. Hingga kini sudah ada 150 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di klinik tersebut.

Rovanita menjelaskan Klinik Terapi didirikan untuk memperkuat motorik atau gerak syaraf tubuh anak. Sedangkan Sekolah Anak Mandiri menjadi wadah mendidik anak agar lebih mandiri dalam mengurus dirinya sendiri. “Paling tidak mengurus kebutuhan mereka sendiri, seperti makan, minum, menulis, berbicara, dan lainnya,” katanya.

Klinik Terapi dan Sekolah Anak Mandiri didirikan tahun 2010. Tenaga dokter dan para terapis direkrut dari berbagai daerah, termasuk Jakarta. Semuanya memiliki izin praktik dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. “Ilmu itu harus disebarkan karena tak ada ilmu yang tak bermanfaat.” #