Buntut perjuangan kasus kekerasan seksual oleh Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau berbuah masam. Ketua Hakim Estiono katakan terdakwa Syafri Harto dinyatakan bebas dan terbukti tidak bersalah. Hal tersebut ia sampaikan saat sidang putusan di ruang sidang Oemar Seno Adji Pengadilan Negeri Pekanbaru, Rabu (30/03).
Sejatinya, sidang dilangsungkan kemarin siang. Namun, harus diundur sebab majelis hakim masih perlu waktu untuk siapkan bahan pertimbangan. Tepat hari Rabu pukul 09.23 pagi, sidang putusan pun dimulai.
“Sidang dibuka untuk umum,†ujar Estiono dengan suara menggema dalam ruang sidang. Beberapa awak media turut memenuhi tempat itu. Ada pula dua mahasiswa beralmamater biru langit.
Sayangnya, pada sidang ini Jaksa Penuntut Umum atau JPU, Syafri Harto, serta kuasa hukumnya ikuti sidang secara daring. Terpampang pada sudut kiri ruangan selembar layar yang tampilkan wajah mereka di Zoom Meeting.
Sidang dimulai dengan pembacaan kronologis perkara kekerasan seksual oleh hakim anggota. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan pertimbangan yang telah disusun oleh majelis hakim.
Pada salah satu pertimbangan, majelis hakim berpendapat bahwa hanya korban saja yang menerangkan. Sedangkan, kata hakim, saksi lain yang didatangkan JPU hanya mendengar cerita dari penyintas saja.
Majelis hakim menyampaikan hal itu dengan bertumpu pada undang-undang yang berlaku. Adalah Pasal 185 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menegaskan bahwasannya keterangan satu orang saksi saja tidak cukup.
“Tidak ada kemungkinan bahwa hal tersebut dilakukan oleh pelaku karena menimbang saksi yang dihadirkan tidak cukup kuat. Begitu pula dengan alat bukti,†kata hakim anggota.
Hakim menilai bahwa terdakwa tidak dapat begitu saja dinyatakan bersalah dan dijatuhi sanksi pidana. Paling tidak, katanya, harus didukung dengan dua atau tiga alat bukti yang sah. “Alat bukti tersebut harus dapat meyakini hakim,†lanjutnya.
Usai membacakan pertimbangan, sidang diambil alih oleh hakim ketua. Ia simpulkan seluruh isi pertimbangan. Agenda berlanjut dengan menyatakan keputusan. Estiono bilang unsur pokok melanggar kesusilaan tidak terpenuhi.
Hematnya, SH tidak terbukti secara sah melakukan kekerasan seksual. Serta dengan menimbang dakwaan primer-subsider. Dengan kata lain, terdakwa dapat dibebaskan dan  dikeluarkan dari tahanan.
Patah hati para peserta sidang tergambar jelas dari raut wajah mereka. Bisik-bisik kekecewaan sempat riuh terdengar, seperti saling menimpali. Tak berhenti disitu, hakim ketua lanjut ke pembacaan keputusan.
Pertama, ia menyatakan bahwa terdakwa SH tidak terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer-subsider. Selanjutnya, membebaskan terdakwa. Kemudian, memerintahkan penuntut umum untuk mengeluarkan terdakwa dari tahanan. Keempat, memberikan hak terdakwa dalam kemampuan untuk mengembalikan hak dan martabatnya.
Terakhir, hakim memerintahkan badan hukum untuk kembalikan bukti-bukti fisik yang ditahan. Ada proposal penelitian penyintas untuk memenuhi syarat selesainya skripsi, smartphone Iphone 6 silver dan Samsung hitam. Tak lupa, surat pengangkatan sebagai Dekan FISIP milik Syafri Harto.
Tak lama, Estiono mengunci putusan dengan mengetuk palu sekali. Lalu, ia mempersilahkan terdakwa dan JPU untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebelum sidang ditutup. Syafri Harto memilih untuk tidak berpendapat. Sementara JPU menyatakan akan pikir-pikir dahulu untuk menentukan langkah selanjutnya.
Voppy Rosea Bulki selaku Vice Mayor Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) memilih untuk langsung keluar dari ruang sidang dan menangis. Sedangkan Rian Sibarani yang menjadi kuasa hukum penyintas juga utarakan kekecewaannya.
“Pertama, tentunya kita menghormati keputusan hakim yang dibacakan hari ini. Namun, kita juga sangat kecewa pada keputusan  hakim. Kami tentu berharap kepada jaksa penuntut untuk melakukan upaya hukum kasasi,†imbuhnya.
Menurutnya, pertimbangan majelis hakim tidak berpedoman pada  Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penangganan Perkara Perempuan di Pengadilan.
“Pengadilan bukan lagi tempat untuk mecari keadilan bagi para penyintas kepada para mahasiswa,†lanjut Rian.
Selaras dengan Rian, Agil Fadlan Mabruri yang merupakan Ketua Divisi Advokasi KOMAHI juga punya kekecewaan yang sama. Ia sampaikan, langkah selanjutnya adalah mendesak jaksa untuk secepatnya melakukan upaya hukum kasasi.
“Hari ini kita tau bahwa pengadilan bukanlah tempat bagi penyintas kekerasan seksual untuk mencari keadilan. Kami mendesak Jaksa agar segera melakukan upaya hukum banding atau kasasi, agar keadilan bisa dijunjung tinggi,â€Â katanya berharap.
Penulis : Karunia Putri dan Sakinah Aidah
Editor  : Andi Yulia Rahma