Underpass, Lalu Lintas Kawanan Gajah Codet

Di tengah terik matahari, lalu lintas Jalan Tol Pekanbaru-Dumai (Permai) terpantau lancar. Tak lama kemudian, seekor gajah berjalan pelan menuju pembatas beton jalan tol. Namanya Codet, gajah jantan yang berusia hampir 60 tahun. Usianya yang sudah cukup renta, tidak membuat ia malas menyelusuri habitat satu ke habitat lainnya hingga menuju lintas Underpass Tol Permai.

Langkah kaki Codet terhenti, kala menyadari jalur terowongan Underpass yang biasa dilewati, tergenang air akibat derasnya hujan melanda di lokasi tersebut. Meski jalur tersebut digenangi air, gajah itu terus mencari cara menyebrang menuju tempat kawanannya.  Matanya melirik ke kanan dan kiri, lirikan mata Codet terhenti pada tembok pagar beton pembatas jalan tol. Tanpa basa-basi dengan langkah kaki pertama, ia putuskan menerobos pembatas pagar tembok beton tersebut.

Langkah demi langkah terus diayunkannya hingga pagar beton pembatas setinggi 2,4 meter pun roboh. Kendaraan yang melintas segera menghentikan laju jalannya. Syukurnya, kala itu jalan tol tidak terlalu ramai. Hanya ada sebuah mobil yang tampak sabar menunggu hingga Codet selesai melintas.

Ruas Jalan Tol Permai kilometer 73, Desa Pinggir jadi tempat lintasan Codet kala itu, tepatnya pada Senin (14/2) tahun lalu. Kendaraan yang melaju dari arah berlawanan sempat mengambil rekaman video kejadian tersebut, hingga akhirnya menggegerkan dunia maya.

Saat kejadian, Gajah Codet memang sedang melakukan kegiatan rutinnya bermigrasi setiap tiga bulan sekali dari satu tempat ke tempat lain. Yakni melintas dari Kantong Populasi Giam Siak Kecil (GSK) menuju Balai Raja atau sebaliknya.

Solfa Rina selaku pendiri Rimba Satwa Foundation (RSF) katakan, Gajah Codet merupakan gajah liar yang tidak bisa diperintahkan harus lewat terowongan yang dibuat di bawah jalan tol. Gajah pada dasarnya akan mencari tempat nyaman untuk dilewati.

“Gajah liar itu tidak menyukai hal hal baru yang dibuat manusia, walau sudah menyesuaikan mitigasi dan menyediakan underpass,” tutur Solfa.

Upaya Mitigasi

Selepas menerima kabar Codet yang melintasi tol Permai, Rimba Satwa Foundation (RSF) segera memberi masukan kepada PT Hutama Karya selaku pemegang proyek Jalan Tol Permai. RSF minta agar dibangun pagar yang tinggi di beberapa ruas jalan tol, agar gajah tidak bisa lagi melintas melalui jalur tersebut, terkhusus di KM 60 hingga 75.

Gajah Codet pun kini telah dipasangkan Global Positioning System Collar atau kalung GPS. Ini berguna untuk mempermudah pemantauan lokasi pergerakan gajah. Nantinya kalung GPS akan memberi sinyal setiap dua jam sekali dan sistem patroli akan mengikuti. Hingga saat ini telah ada 5 gajah yang dipasang GPS collar.

Arisman selaku Analisis Smart RSF sampaikan bahwa data dari kalung GPS yang dipasang pada beberapa gajah liar dipantau dalam jangka waktu 10 hari berturut-turut. Terdata ada 10 aktivitas gajah yang melintasi tol sejak tahun 2020. Sembilan diantaranya merupakan aktivitas Codet. Sisanya berasal dari gajah betina bernama Seruni.

Kantong Populasi Gajah

Codet adalah gajah satu-satunya di Balai Raja saat ini.  Mulanya, kantong populasi gajah hanya berada di Balai Raja. Munculnya pemukiman dan perkebunan masyarakat jadi alasan utama gajah-gajah tersebut akhirnya memilih migrasi menuju kantong populasi di Giam Siak Kecil. Perpindahan itu pun menempuh jarak yang cukup jauh melewati Jalan Tol Pekanbaru – Dumai dan Jalan Lintas Sumatera.

Saat memutuskan melintas melalui jalan tol, Gajah Codet saat itu ingin bermain dengan kawanannya dan membutuhkan perkawinan dengan betina. Setelah fase tersebut selesai, maka Codet akan memisahkan diri kembali menuju Balai Raja.

Gajah Codet hidup sendiri, menjauh dari kawanan gajah lainnya. Secara alamiah gajah jantan dewasa memang seperti itu, demikianlah yang dijelaskan oleh Solfa. Pendiri RSF yang saat ini sebagai Manajer Keuangan di RSF itu paparkan bahwa berbeda dengan Gajah Codet di Balai Raja, populasi gajah di Giam Siak Kecil relatif berkelompok.

“Terdapat sekitar 50 gajah di sana [GSK], terdiri dari para gajah betina, anak gajah, dan gajah remaja. Anak gajah jantan umumnya akan memisahkan diri saat mencapai usia 7 hingga 10 tahun,” ujar Solfa pada Sabtu (18/3) lalu.

Underpass Gajah

Di bawah jalan tol Pekanbaru-Dumai, terdapat lima underpass sebagai jalur perlintasan para gajah. Tersebar di KM 61, KM 69, KM 71, KM 73 dan KM 76. Gajah Codet biasanya melintas di Underpass KM 73. Luasnya sekitar 40 meter.

Secara keseluruhan  pagar pembatas underpass dibangun setinggi bahu manusia. Namun, di satu sisi terdapat pembatas sepanjang satu meter yang hanya setinggi pinggang manusia. Beberapa pula ada yang condong seperti hendak roboh.

Jarak satu hingga dua meter terdapat tanaman pisang yang belum tinggi. Semuanya punya ukuran yang relatif sama. Ridho selaku Tim Monitoring dari RSF katakan tanaman pisang sengaja ditanam untuk menarik gajah agar melintas di underpass itu. Sebab, pisang adalah pakan gajah. Awalnya tidak hanya pisang, namun juga ditanam bambu, tapi yang berhasil tumbuh hanya tanaman pisang. Tanaman ini ditanam pihak Hutama Karya.

Gajah dan Masyarakat

Pemukiman masyarakat juga dapat dijumpai sepanjang kawasan Balai Raja. Bahkan di seberang underpass dapat ditemui rumah penduduk beserta tanaman kebun mereka. Masyarakat yang tinggal di kawasan Balai Raja pada awalnya menganggap gajah sebagai hama.

“Kalau dulu gajah itu hama, sekarang enggak,” kata Parto Sekretaris Kelompok Tani Pusaka Jaya, Sabtu (18/3).

Barangkali karena Codet hanya sendiri di kawasan tersebut, masyarakat tidak lagi menganggapnya hama. Tak seperti dulu saat Balai Raja masih dilalui sekawanan gajah.

Ia juga katakan, Codet melintas di sekitar kawasan mereka setiap tiga bulan sekali. Untuk menjaga tanaman tani mereka dari kawanan gajah, kelompok tani masyarakat menanam tanaman yang tidak disukai gajah di antara tanaman tani mereka. Program ini diberi nama agroforesti.

“Ada jengkol, petai, kopi, gaharu, rambutan, durian, hingga matoa, tanaman-tanaman tersebut tidak disukai gajah,” sebut Parto.

Interaksi negatif antara gajah dan manusia pun masih sering terjadi. Pada beberapa kasus, gajah memasuki pemukiman masyarakat. Untuk pengusirannya, Ridho jelaskan bahwa ketika memasuki pemukiman, gajah akan digiring dengan gajah jinak. Namun, apabila hanya memasuki perkebunan masyarakat, gajah akan di usir dengan bunyi-bunyian.

Penggunaan bunyi-bunyian pun ada anjurannya. Sebab, tak baik bagi gajah jika menggunakan bunyi-bunyian seperti petasan atau mercon. Pengusiran gajah yang baik dapat dilakukan dengan penggiringan menggunakaan peralatan yang lebih ramah, misalnya meriam yang hanya menghasilkan bunyi tanpa tembakan.

Di sisi lain, jerat dan racun juga masih jadi ancaman bagi gajah. Masyarakat umumnya memasang jerat untuk babi, namun ternyata juga dapat berdampak pada gajah yang melintas.

Aris bilang tidak bisa diperdebatkan antara kesalahan gajah atau pun masyarakat. Namun, nyatanya pemukiman dan perkebunan masyarakatlah yang berada di lintasan gajah.

“Kita tidak bisa menyalahkan manusia yang punya hak untuk hidup dan membangun pemukiman,” pungkas Aris.

 

Penulis: Fitri Pilami (Bahana UNRI), Fani Oktafiona (Bahana UNRI) dan Widi Anggraini (Gagasan UIN Suska)

Editor: Denisa Nur Aulia