“Kami yakin, kedepannya tidak akan ada kasus kekerasan seksual di lingkungan FISIP [Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik],” yakin Dekan FISIP Universitas Riau (UNRI) Meyzi Hariyanto di pembukaan sosialisasi kekerasan seksual yang ditaja Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UNRI, Rabu (31/5).
Menyembulnya peristiwa kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadi latar dibentuknya Satgas PPKS UNRI. Separen sebagai ketua rincikan bentuk kekerasan seksual. Ialah secara verbal, nonfisik, dan pelecehan seksual ruang digital.
Dosen Ilmu Hukum itu pun ujarkan ada beberapa alasan terbentuknya Satgas PPKS di UNRI. Pertama, bentuk implementasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ialah perlindungan pada setiap warga negara.
Selanjutnya merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Permendikbudristek ini miliki lima objek sasaran. Mulai dari mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan.
Warga kampus seperti satpam, penjaga kantin dan petugas kebersihan turut jadi objek sasaran. Serta masyarakat umum yang berhubungan dengan mahasiswa.
Satgas PPKS miliki tugas untuk mengedukasi pencegahan kekerasan seksual. Juga melanjuti aduan dengan berikan perlindungan dan konsultasi pada korban. Di samping itu, Satgas berikan sanksi pada pelaku secara bertahap. Mulai sanksi tertulis ringan, pemberhentian sementara, sampai pemberhentian tetap. Hal ini pun langsung dikatakan Separen.
Kegiatan ini juga menghadirkan Hesti Aswirandari dari Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender. Ia menyayangkan pemakluman masyarakat dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Dosen Sosiologi ini bedakan kekerasan seksual dengan kekerasan fisik.
“Kekerasan seksual itu lebih berbahaya daripada kekerasan fisik,” katanya. Hal inipun disepakati oleh Separen.
Separen pun menambahkan bahwa kekerasan seksual menyerang kondisi mental. Pun luka korban yang tidak dapat dilihat secara langsung.
Hesti contohkan kekerasan seksual yang masih diwajarkan kalangan masyarakat. Seperti perempuan yang dipaksa untuk menikah dini. Ia bilang masyarakat masih menempatkan pemaksaan nikah dini sebagai hal lumrah.
“Biar aja, ngapain dia sekolah. Ngabisin duit, bagus dia kawin,” kata Hesti meniru alasan pemaksaan nikah dini.
Mengutip pernyataan dari Bapak Perdamaian Johan Galtung, kekerasan dibagi menjadi tiga. Yakni kekerasan struktural, kultural, dan secara langsung. Kekerasan struktural disebabkan adanya wewenang. Tak lain hal ini pun berkemungkinan bertempat di instansi pendidikan.
“Kemendikbudristek apabila tidak menerapkan peraturan kekerasan seksual, termasuk kekerasan struktural karena tidak memperdulikan mahasiswa,” tegas Hesti.
Penanganan kekerasan seksual sangat diperlukan. Hesti bilang harus adanya aspek kesadaran sebagai bentuk rasa peduli pada penyintas kekerasan seksual. Kesadaran menunjukkan bahwasannya kekerasan seksual adalah hal nyata dan diketahui orang-orang.
Di samping aspek kesadaran, ada juga aspek respon. Merupakan layanan untuk korban kekerasan seksual semacam konseling, ataupun dukungan dari aspek hukum.
Lalu terakhir, pencegahan. Berarti strategi yang disiapkan tiap instansi guna mencegah adanya kekerasan seksual.
Penulis: Afrila Yobi
Editor: Elya Syafriani