Situasi mencekam terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam. Bentrokan aparat gabungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia atau Polri dengan warga terjadi pada Kamis (6/8).
Peristiwa berlangsung lantaran adanya pematokan oleh Badan Pengusahaan atau BP Batam sebagai batas lahan Rempang Eco City. Hal ini diprotes oleh masyarakat hingga timbulkan korban.
Boy Jerry Even selaku Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, atau Walhi Riau sayangkan peristiwa ini. Ia katakan satu-satunya orang yang bisa selesaikan masalah ini hanyalah Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia.
“Yang terpilih jadi presiden dua periode. 2014 dan 2019,” pungkasnya.
Ujar Boy, hal yang mestinya dilakukan orang pertama di Indonesia itu ialah mengeluarkan Rempang sebagai pulau kecil dari bagian Program Strategis Nasional atau PSN.
Di samping itu, Joko Widodo pun harusnya perintahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartoto dan juga Bahlil untuk membatalkan Permen PMP No 7 Tahun 2023. Sudah semestinya juga, presiden patutnya perintahkan panglima dan Kapolri untuk copot Kapolres.
“Copot Kapolresnya, copot Kapoldanya.”
BP Batam pun hendaknya tak lepas dari pengawasan. Ujar Boy, mestinya ada pemeriksaan pada laporan keuangan dan perencanaan.
“Apakah dia menghargai prinsip kemanusiaan atau tidak?”
Fikerman dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau Kiara katakan kejadian ini melanggar undang-undang dan putusan MK Nomor 3 Tahun 2010. Dikatakan bahwasannya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil pun miliki hak. Ialah hak untuk tinggal, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya pesisir.
“Relokasi dan penggusuran di sana sudah jelas melanggar hak-hak mereka,” terangnya.
Fikerman minta pada Joko Widodo supaya mencabut Pulau Rempang sebagai PSN. Ia juga inginkan Polri menarik mundur pasukannya dari Pulau Rempang.
Tindakan dari aparat pun berakibat timbulkan korban. Mulai dari warga hingga anak-anak yang tengah belajar di sekolah. Ucap Imam Zannatul selaku Perhimpunan Pendidikan Guru atau P2G, tentunya tindakan ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM.
“Gas air mata masuk ke sekolah, anak-anak jelas tidak akan bisa belajar. Mereka berteriak menangis, guru-gurunya pun panik,” jelas Imam.
Tak hanya kekerasan fisik, Imam bilang kekerasan yang diterima juga kekerasan nonfisik. Akibatkan trauma yang membekas.
Tak seharusnya sekolah menjadi korban dari relokasi, kata Imam. Sebab tinggalkan rasa takut yang menimpa guru dan para murid.
Pernyataan Imam dibenarkan oleh Annisa Azzahra. Ialah perwakilan dari Himpunan Bantuan Hukum Indonesia atau PBHI. Annisa katakan aparat masuk ke lingkungan sekolah. Anak-anak pun jadi imbas gas air mata. Tegasnya, pembangunan PSN ini sangat jauh dari perspektif HAM.
“Ini tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi alat pertahanan dan keamanan seperti TNI dan Polri.”
Ujarnya lagi, aparat keamanan negara tak semestinya menggunakan pendekatan intimidasi yang disertai ancaman. Apalagi jika mengkriminalisasi. Dengan demikian Annisa mewakili PBHI, desak Joko Widodo hentikan pembangunan PSN di Kepulauan Rempang. Serta evaluasi pendekatan HAM yang telah dilanggar.
Tindakan intimidasi pun tak terlepas dari pemuka. Ujar Tomy Yandra, dari Aliansi Pemuda Melayu Kepulauan Riau, bilang kalau Ketua Kerukunan Masyarakat Adat atau Keramat pun juga kena imbas intimidasi. Hal ini dikarenakan adanya tuduhan pengrusakan barang oleh Ketua Keramat. Tomy pun bantah hal tersebut karena tidak sesuai dengan fakta.
Akmaluddin mewakili Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga ulaskan sebab warga menolak adanya relokasi. Ialah masyarakat tak dilibatkan dalam hal pengkajian. Lagi pula Muhammad Rudi sebagai Walikota Batam ingkari janji yang akan memberikan jalan pada masyarakat Pulau Rempang.
“Tak sesuai dengan pernyataan Walikota Batam,” katanya.
Peristiwa ini membuat Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional kecam tindakan aparat yang menyerbu di Pulau Rempang. Sebab selain pelanggaran HAM, juga melukai fisik dan psikis para perempuan, anak, dan orang dewasa.
“Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian pada hari ini tidak ada bedanya dengan tindakan militer di masa orde baru,” ujar Zenzi mengakhiri.
Diskusi ini digelar langsung oleh Walhi Nasional melalui siaran YouTube dan Zoom. Bertajuk Respon Penggusuran di Pulau Rempang pada 7 September kemarin.
Penulis: Rehan Oktra Halim
Editor: Arthania Sinurat