Lima belas mahasiswa dari tiga universitas berbeda ikuti pembentukan dan peningkatan keterampilan kader konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Kegiatan ditaja oleh Balai TNTN Pangkalan Kerinci. Bertempat di Pelalawan di Camp Flying Squad selama dua hari pada 2-3 September.
“Kurang lebih ada 40 ribu hektare yang ditanami sawit di zona rehabilitasi TNTN (Taman Nasional Tesso Nilo),” kata Kepala Seksi Wilayah 1 Lubuk Kembang Bunga, Ahmad Rifai.
Ahmad jabarkan sejarah dan pengelolaan dari TNTN. Yang terdiri dari empat kronologis sejarah. Pertama mengenai perubahan fungsi pertama TNTN pada 2004. Lalu perubahan fungsi kawasan kedua tahun 2009.
Ada pula perubahan tata batas definitif, mengenai pemetaan batas di lapangan dengan hasil batas sementara. Hal itu berlangsung pada 2011. Terakhir ada penetapan kawasan TNTN tahun 2014. Dikabarkannya juga luas TNTN kini 81.793 Ha.
Lanjut Ahmad, ada enam zonasi pengelolaan TNTN. Ada zona kawasan perkuburan, lalu zona tradisional untuk masyarakat setempat. Kemudian zona kawasan inti TNTN, yang masih asli dan belum pula terjamah tangan manusia.
Berikutnya ialah zona rimba sebagai pemanfaatan dari zona inti. Dan terakhir zona rehabilitasi. Ialah zona yang kawasannya paling luar. Ada banyak kerusakan pada zona ini hingga perlu adanya upaya perbaikan.
Guna menjaga kelestarian hutan, Ahmad bilang berbagai kegiatan dilakukan untuk menjaga habitat dan populasi satwa. Sebab muasalnya TNTN adalah tempat untuk flora fauna.
Usai penjelasan mengenai TNTN, ada juga tentang dasar kepenulisan dan fotografi. Dibawakan oleh Harla Nur Syahra selaku penyuluh TNTN. Harla tutur ada tiga hambatan seseorang dalam menulis. Yakni kalah sebelum berperang, tidak memiliki ide, dan stuck.
“Seperti tulisan saya jelek, saya minder, saya malu, saya nggak bisa nulis dan lain sebagainya,” ujar Harla memeragakan tipe penulis yang kalah sebelum berperang.
Solusinya berani maju, kata Harla. Pun untuk mudah mendapati ide, katanya jangan pernah menyimpan ide.
“Tulis di notes HP. Tidak ada tulisan sekali jadi. Jadi tulis saja apa yanga da di kepala,” pungkasnya.
Imbuhnya lagi saat kesulian menulis pun jangan terpenjara deengan Ejaan yang Disempurnakan atau EYD. Baginya menulis adalah bagian proses menjadi diri sendiri dan tidak mengambil pusing soal panjang dan pendeknya tulisan.
Harla juga jelaskan tentang fotografi. Tujuan dari fotografi ujarnya adalah merekam sejarah alam dan momen yang tak terulang lagi. Ia pun sebutkan tiga dasar fotografi. Ialah membagi bidang, tegak, dan datar.
Untuk pengambilan foto pun terbagi menjadi berbagai macam gaya. Ada long shot, yang menampakkan seluruh tubuh objek tanpa terkecuali. Lalu medium shot, mengambil gambar dari pinggang sampai kepala.
“Waktu terbaik untuk memotret ialah jam 5 sampai 9 pagi atau jam 3 atau 6 sore,” imbuhnya.
Ada pula penjelasan tentang kader konservasi. Dibicarakan oleh Katika Listiyandari.
Kader konservasi adalah seorang atau sekelompok yang dididik oleh instansi tertentu secara sukarela. Berperan untuk meneruskan upaya konservasi sumber daya alam dan menyampaikan pesan konservasi pada masyarakat.
Tika paparkan fungsi dari kader konservasi. Ialah inisiator yang menyumbangkan ide, dan fasilitator kegiatan konservasi. Kemudian menjadi motivator yang memberi dorongan pada kelompok dan khalayak ramai.
Tak hanya penjelasan secara teoritis. Peserta pun ikuti kegiatan tanam pohon, pengenalan gajah jinak, dan praktik konten sosial media. Diakhiri dengan pengukuhan kader konservasi.
“Seluruh kader konservasi secara sukarela berperan sebagai penerus upaya konservasi, bersedia dan mampu menyampaikan pesan-pesan konservasi kepada masyarakat,” tutup Ahmad.
Penulis: Shahfa Rizkya Ananda, Kristina Natalia, dan Arthania Sinurat
Editor: Fitri Pilami