Stigmatisasi dan tindakan diskriminatif kerap kali terjadi terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru Andi Wijaya, katakan akibat adanya stigma membuat kelompok rentan tidak mau terbuka akan identitasnya.
Penganut Ahmadiyah dan kelompok keragaman gender misalnya. Hingga kini tak ingin mengakui identitasnya pada publik. Hal ini merupakan dampak dari adanya stigma dan tindakan diskriminatif pada kelompok rentan.
Siti Uripah bilang bahwa belum adanya aturan yang menjamin perlindungan semua kelompok rentan jadi sebab utama hal ini terjadi. Perwakilan dari Organisasi Perubahan Sosial Indonesia atau OPSI Riau tersebut katakan minoritas seksual, gender, dan kepercayaan serta warga negara dengan HIV merupakan sebagian besar kelompok rentan yang tidak diakui.
Lanjutnya, hal ini berpotensi menimbulkan adanya perlakuan yang sewenang-wenang dan diskriminatif pada kelompok rentan tersebut.
Wanita yang kerap disapa Iip itu pun jelaskan bahwa saat ini tengah disusun Peraturan Perundangan tentang diskriminasi terhadap kelompok rentan. Guna melengkapi undang-undang diskriminasi yang telah ada sebelumnya.
Yang membedakannya, Rancangan Undang-Undanga atau RUU kali ini tak hanya menekankan tindak pidana bagi pelaku. Tapi juga pemenuhan pada hak korban.
“RUU ini akan memperhatikan hak korban mulai dari proses pelaporan hingga pemulihan sampai sang korban dapat kembali beraktivitas sosial seperti sedia kala,” jelas Iip.
Tambahnya, RUU dibuat berlandaskan UUD 1945. Juga undang-undang diskriminasi sebelumnya yang telah ada.
Proses penyusunannya dilakukan sedemikian rupa. Mulai dari menelaah larangan, penyelesaian, penegakan, dan badan yang memastikan. Serta kewajiban untuk melaksanakannya.
Selain itu, juga mencakup tahap monitoring dan evaluasi. Tujuannya guna mengetahui pencapaian, kemajuan dan kendala dari diterapkannya peraturan tersebut nantinya.
Tidak adanya sanksi juga jadi sebab pendukung munculnya perilaku diskriminasi. Sehingga dalam RUU tersebut akan dipaparkan mengenai pemberian sanksi tegas pada pelaku.
Harap Iip, ketika disahkan nanti RUU ini dapat menjadi dasar dalam pembuatan peraturan di pemerintahan lainnya. Seperti Peraturan Gubernur serta Bupati dan Wali kota.
“Pemerintah daerah ketika ingin membuat peraturan tidak seenaknya tapi mengacu pada UU [Undang-Undang] ini,” ujar Iip.
Hingga kini naskah akademik peraturan tentang diskriminasi ini masih tahap revisi. Namun Iip ingin RUU ini dapat masuk dalam Program Legislasi Nasional secepatnya.
Oleh sebab itu, Opsi taja diskusi guna mendorong perluasan mobilisasi dukungan di Provinsi Riau untuk memperkuat pengembangan Naskah Akademik penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan di Cangkir Kopi Caffe N Resto pada Senin (11/9).
Penulis: Fanny Okataviona
Editor: Fitri Pilami