“Jadi nanti insyaallah kita akan mendapatkan pencerahan terkait dengan organisasi Satgas, sehingga kita bisa mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan Fakultas Teknik,” ucap Dekan Fakultas Teknik Universitas Riau (FT UNRI) Azridjal Aziz.
Ia katakan dalam pembukaan sosialisasi kekerasan seksual di Ruang Siak Sri Indrapura pada Rabu (18/10). Ditaja Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS UNRI.
Kegiatan ini selaras dengan tagline dari kementerian agar kampus Indonesia menjadi kampus Sehat, Aman, dan Nyaman (SAN).
Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Agus Sutikno katakan ada tiga dosa besar kampus yang harus dihilangkan. Yaitu politik, intoleransi, dan kekerasan seksual. Tegasnya, tidak ada ampun bagi pelaku dosa tersebut
“Saat ini sudah ada empat dosen UNRI yang menunggu keluarnya SK sanksi disiplin PNS akibat kasus kekerasan seksual. Dan sudah ada satu mahasiswa yang di DO akibat kekerasan seksual,” ujar Agus.
Tambah Agus, akan dibuatakan syarat untuk mahasiswa baru saat registrasi ulang ke depannya. Ialah mengisi fakta integritas terhadap anti kekerasan seksual. Pengisian fakta integritas ini dilakukan sebelum memuat Kartu Rancangan Studi atau KRS.
Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Agus katakan Permendikbudristek ini miliki lima objek sasaran.
Mulai dari mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Lalu, warga kampus seperti satpam. penjaga kantin dan petugas kebersihan. Terakhir masyarakat umum yang berhubungan dengan mahasiswa.
“Kasus kekerasan seksual tidak bisa hanya dengan perdamaian, seperti yang terjadi di salah satu fakultas UNRI. Kementrian menyerahkan segalanya kepada UNRI untuk menyelesaikan kasus sesuai dengan Permendikbud. Satgas PPKS berhak merekomendasikan sanksi yang akan diterima oleh pelaku kepada rektor, yang nantinya akan dikeluarkan dan ditetapkan oleh rektor,” jelas Agus.
Dalam Permendikbud nomor 30, Agus jelaskan ada beberapa hal yang termasuk dalam tindak kekerasan seksual. Di antaranya cat calling atau memberikan kata-kata yang tidak senonoh. Menyebarkan foto yang mengandung unsur pornografi. Kemudian menyentuh atau mengusap bahkan menggesekkan bagian tubuh kepada korban.
Agus juga singgung pasal 14 tentang kekerasan seksual. Ia sebut ada tiga pembagian sanksi administratif. Yaitu sanksi administratif ringan, sanksi administratif sedang, dan sanksi administratif berat.
Ketua Satgas PPKS Saparen ujarkan relasi kuasa juga menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. Katanya ketika seseorang tidak bisa menolak, saat itulah relasi kuasa terjadi.
“Sebagai contoh junior disuruh senior membeli sesuatu, junior tidak bisa menolak, hal itu disebabkan oleh adanya relasi kuasa. Relasi kuasa ini bisa berdampak pada Kesehatan psikis seseorang,” jelasnya.
Selanjutnya Direktur utama Humanika Psychology Center Aida Malika. Ia sebut usia yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual adalah 12-34 tahun. Anak-anak dan remaja menjadi sasaran utama bagi pelaku tindak kekerasan seksual, katanya.
“Memang KS itu tidak terlihat, namun trauma dari KS itu seumur hidup karena dapat menyebabkan gangguan psikis,” ucap Aida.
Aida pun sebutkan dampak kekerasan seksual dari korban. Mulai dari adanya risiko kesehatan seksual dan fisik. Lalu somatic, ialah gejala fisik yang tidak disertai adanya penyakit. Selanjutnya gaya hidup yang berisiko. Dan terakhir dampak, pskikologis pada korban, misalnya gangguan makan dan sulit memercayai orang lain.
“Mungkin korban tidak mau berinteraksi dengan semua orang, mengasingkan diri karena tadi. Merasa malu kan kalau ketemu orang tu kayaknya dia merasa overthinking ya,” jelas Aida.
Tambah Aida perlu sikap Asertif atau berani bilang tidak. Ini jadi salah satu upaya dalam pencegahan terjadinya tindak kekerasan seksual.
“Kita harus berani melawan dan berani bilang tidak, termasuk terhadap pacar,” tutupnya.
Penulis: Danil Zalma Hendra Putra
Editor: Arthania Sinurat