“Bagi masyarakat, tanah itu bukan aset namun warisan yang harus dipertahankan. Namun negara tidak melihat hal itu sebagai hak masyarakat,” kata Ahlul Fadli, koordinator media dan penegak hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Riau, menanggapi film Tanah Moyangku.
Perjuangan masyarakat adat mempertahankan hak ulayatnya tak mudah. Mereka, para masyarakat, bertarung melawan kelicikan penguasa yang tak peduli dengan kepentingan masyarakat.
Para penguasa itu tak lain ialah perusahaan sawit, tambang, hingga pembangunan Proyek Strategis Nasional. Jerih payah mempertahankan tanah ini pun sampai taruhkan korban.
Hal ini terekam dalam film dokumenter berjudul Tanah Moyangku. Film garapan Watchdoc ini menayangkan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Ada dari Sabang, Air Bangis, Rempang, dan Pematang. Jangan lupa di Pematang, Bedaro, Kinjil, Batang. Lalu di Merauke dan Halmahera.
Konflik agraria bukanlah hal baru, sudah lama terjadi. Mencatat dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari tahun 2015-2022 ada 2791 konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Berinci 19934 didiskriminalisasi, 814 orang teraniaya, dan 78 tertembak. Tewas di antaranya 69 orang. Konflik ini meliputi enam juta hektare tanah dan 1,7 juta keluarga.
Tentunya persoalan ini merupakan konflik yang berdampak serius pada masyarakat. Tayangan menampilkan Peneliti Ward Berenschot. Ia bilang masyarakat yang terlibat konflik agraria miliki hak, namun kosong. Hanya ada kehampaan.
“Mereka punya hak untuk protes dan demo. Tapi hak ini sulit untuk dinyatakan,” terangnya.
Koordinator Riset dan Kebijakan Walhi Riau Umi Marufah dalam diskusinya ujarkan isu agraria ini adalah konflik yang terus diperjuangkan.
“Salah satunya isu Rempang yang juga diangkat dalam film dokumenter Tanah Moyangku. Isu ini masih diadvokasi sampai hari ini hingga seterusnya karena perjuangan masih panjang,” ujar dia.
Tambah Ahlul, Undang-Undang (UU) Pokok Agraria pun sebenarnya sudah sesuai dengan nilai hukum adat. Akan tetapi praktiknya tak sejalan di lapangan.
Hadirnya UU Perkebunan mematahkan UU Agraria. Mulanya UU Perkebunan ini bersifat melindungi, namun kini telah memberi kesempatan besar untuk perusahaan industri mengeksploitasi sumber daya yang ada di Indonesia.
Nilai Ahlul, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah eksekutif tidak melakukan dialog ketika diterbitkannya UU Perkebunan ini.
Ia pun sebut kasus Rempang. Tanggapnya, industri yang masuk ke wilayah itu sama sekali tidak mempertimbangkan adanya hak para masyarakat.
“Konflik ini seperti kue lapis, kue lapis disini dimaksudkan ketika sumber daya yang diatas telah habis, maka akan dicari sumber-sumber daya lain,” pungkasnya.
Berikutnya Bambang Putra Ermansyah, peneliti fair.sea. Ia mengaitkan anarkisme masa kini dengan konsep negara.
Memaknai negara dalam pandangan Bertrand Russel dan Thomas Hobbes, merupakan institusi yang diberikan hak pribadi untuk dimiliki mereka. Hak pribadi ini diserahkan pada negara berupa aturan dan aparatus ideologis negara.
Aparatus ideologis masuk di dalamnya penegak hukum, pembuat hukum, polisi, dan tentara.
“Ideologi yang saya maksud disini adalah logika ketika negara dijalankan dengan logika-logika kapital dan logikal-logikal korporasi, logikanya seperti itu yang digunakan,” ucap Bambang.
Ia tambahkan, negara kerap berhadapan dengan pilihan antara konsep kapital dan korporasi. Maka negara berusaha mengambil hal tersebut dibandingkan kemerdekaan atau kedaulatan masyarakat adat.
Masyarakat adat pada persoalan ini tampak dihampakan. Sedangkan tawaran konsep kapital dan korporasi negara terlihat diuntungkan.
Alumnus Hubungan Internasional Universitas Riau atau UNRI ini turut singgung Pemerintah Cina dalam pembangunan proyek di Rempang. Cina miliki gagasan untuk membuat lintasan dagang. Dengan kata lain, negara tirai bambu ini ingin memperluas lintas dagang dengan cara memberi jebakan utang pada sebuah negara.
Saat negara tunduk pada kekuasaan yang lebih besar, maka negara tersebut akan menindas yang lebih kecil. Pun Indonesia kini tak bisa penuhi dua kepentingan. Antara kepentingan Kapital Cina dan kepentingan masyarakat adat di Rempang.
“Pilihannya hanya ada dua, menolak investasi tersebut atau mengabaikan hak hidup dan hak tanah masyarakat Rempang,” katanya.
Diskusi dan nonton bersama film dokumenter ini ditaja oleh Klub Akhir Pekan di Sekretariat Walhi Riau pada Jumat (15/12). Penggelaran acara terbuka untuk umum.
Penulis: Alvin Afrinaldo
Editor: Fitri Pilami