Raut mukanya sayu dengan suara sedikit serak. Sesekali menggoyangkan kakinya. Dia Aldi, putra sulung Herman. Menggunakan kemeja biru dongker bermotif bunga, ia menceritakan kejadian yang dialami ayahnya, Herman.
Meja kayu persegi panjang dengan tempat duduk berbahan semen di Sy.wen Coffee jadi lokasi Aldi bercerita. Kegiatan ini ditaja Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau atau Jikalahari pada Jumat lalu (15/12).
Kronologi Penangkapan Herman
Herman merupakan masyarakat petani Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Bengkalis. Desa ini jadi satu-satunya daerah Giam Siak Kecil yang tergabung daerah biosfer dan suaka margasatwa.
Sehari-hari Herman menghidupi keluarganya dari penghasilan sebagai petani. Saat itu ia diminta pemilik tanah, Pak Alang untuk membantu membuka lahan miliknya. Metode pembayaran pada awalnya bagi hasil tapi pembayaran 2,5 juta per hektar jadi mufakat.
Pembukaan lahan yang biasa dilakukan petani Desa Tasik Betung ialah penumbangan dan pembakaran. Pembakaran jadi pilihan Herman saat itu. Alasannya, penggunaan ekskavator terbilang mahal. Selain itu rumitnya proses perizinan jadi alasan lainnya.
Pun demikian pembakaran masih tetap diperbolehkan di Desa Tasik Betung, walau tak tertulis. Pembuatan sekat bakar dan laporan kepada petugas desa jadi syaratnya.
Malam Minggu di 7 Oktober, Herman melakukan pembakaran. Sebelum pembakaran dirinya membuat sekat-sekat api agar api tak meluas. Dirinya menebas dan merobohkan vegetasi yang ada lalu membakarnya secara bertahap.
Pembakaran ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebulan setelah sepakat dengan Pak Alang, Herman telah melakukan pembakaran lahan sebanyak dua kali. Penanganan pembakaran pun bisa diatasi Herman.
Berbeda pada malam itu, sesaat setelah Herman membuat sekat dan melakukan pembakaran. Ia meninggalkan lahan dan pergi ke acara desa. Dari kejauhan saat kembali menuju lahan, kobaran api terlihat meluas. Herman segera menuju lahan dan memadamkannya dengan peralatan yang telah dirinya persiapkan.
Sendirian menghadapi kobaran api, Herman berjuang selama kurang lebih dua jam. Datang terlambat, pihak Perseroan Terbatas (PT) Arara Abadi datang saat api telah padam. Walaupun demikian, PT Arara Abadi tetap membantu Herman berupa proses pendinginan.
Herman dengan PT Arara Abadi malam itu menuju distrik terdekat tuk diskusikan permasalahan ini. Selepasnya Herman diantar kembali ke lahan.
Selasa 10 Oktober, pihak kepolisian datang menjemput Herman. Mereka hadir tanpa membawa surat. Polisi berdalih pemberian informasi dan penandatanganan surat pernyataan jadi alasan.
“Tetapi tau-taunya di bawa ke Polres [Siak] dan tidak kembali lagi sampai sekarang,” ucap Aldi menceritakan pembawaan ayahnya oleh pihak kepolisian.
Pisang goreng di nampan hitam itu tampak tak tersentuh. Aldi terdiam sembari menarik napas, dirinya kembali melanjutkan ceritanya.
Keadaan Herman saat ditemui Aldi pada kondisi kurus. Sebab beban pikiran dan kelaparan. Seringnya perpindahan lokasi penahanan Herman memperparah kondisinya. Awalnya di Polisi Sektor (Polsek) Sungai Mandau, lalu berpindah ke Polisi Resor (Polres) Siak.
Perputaran roda kehidupan secara mendadak membuat Aldi merasa terpukul. Kehilangan sosok ayah secara tiba-tiba memaksa Aldi untuk menghidupi keluarganya. Sebagai anak sulung, ia berperan menggantikan sosok Herman. Pasrah dengan nasib, Aldi menjalani beban ini sembari bekerja sebagai petani.
“Terkadang ada kerja terkadang ga ada kerja,” ucap Aldi.
Upaya Tarno dalam membantu Herman
Rabu 11 Oktober, tepatnya pukul delapan malam. Selepas menempuh perjalanan dari Perawang, Tarno seorang masyarakat Tasik Betung kembali pada kediamannya. Dirinya masih belum mengetahui permasalahan Herman, hingga Aldi datang pinta bantuannya.
Setelah mendengar cerita Aldi. Tarno menghubungi Polsek Sungai Mandau tuk tanyakan kejelasan status Herman. Mereka katakan untuk hubungi Polres Siak sebab Herman telah dipindahkan ke sana.
Karena telah larut malam, Tarno memutuskan untuk menunggu esok harinya tuk menuju Polres Siak. Sampai di sana, ia tak dapat menemui Herman. Sebab Herman sedang menjalani sidang gelar perkara.
Hasilnya nyatakan Herman tidak dapat dipulangkan dan harus ditahan. Sebab bukti-bukti yang didapatkan beserta pengakuan langsung dari Herman sendiri.
13 Oktober, Tarno yang tak puas dengan hasil keputusan sidang mencoba menuju distrik. Dirinya menanyakan kenapa kasus Herman bisa berujung ke ranah hukum. Menurutnya, telah jadi kebiasaan masyarakat melakukan pembakaran berskala kecil.
Bila api membesar dan diluar kendali, biasanya pelaku akan dibawa menuju distrik terdekat untuk dimintai keterangan oleh polisi. Surat perjanjian sekaligus penanda tanganan jadi opsi terakhir. Tarno mengatakan belum pernah dirinya melihat petani dibawa menuju proses hukum.
“Akan tetapi hingga terjadinya proses hukum baru kali ini,” tutur Tarno.
Setiba di distrik, menurut Tarno petugas memberikan pernyataan yang membingungkan. Sebab mereka seolah lepas tangan mengenai permasalahan Herman. Tarno pun kembali diarahkan menuju Polsek.
“Kami tahunya Pak Herman ini hanya membuat surat pernyataan di Polsek, tetapi kok sampai di Polres?” ujar Tarno menirukan cara bicara petugas distrik itu.
Mendengar hal tersebut, Tarno kembali menuju Polsek. Setibanya di sana ia bertemu dengan pihak PT Arara Abadi dan Herman.
PT Arara Abadi berikan surat penangkapan dan surat penyidikan Herman kepada Tarno. Ia mempertanyakan keterlambatan pemberian surat ini. Perusahaan berdalih batasan untuk pemberian surat ialah satu minggu.
Tak putus harapan, dirinya meminta kepada pihak PT Arara Abadi untuk mencabut laporannya tapi perusahaan menolak. Dengan dalih pencabutan permohonan bukan tanggung jawab mereka.
Polsek yang berhak menurut PT Arara Abadi. Padahal dari pihak Polsek sendiri menyatakan kasus kebakaran hutan dan lahan merupakan tugas Polres.
Tarno kembali berpindah tempat menuju Polres Siak. Setibanya disana dirinya bertemu dengan penyidik perkara Herman.
Perasaan heran sama-sama menyelimuti pikiran mereka berduo. Penyidik menyarankan Tarno untuk menemui pihak PT Arara Abadi dan meminta mereka mencabut laporan.
“Saya jumpa lagi [PT Arara Abadi] muter-muter aja. Dari distrik disuruh ke Polsek, dari Polsek disuruh ke Polres, dari Polres disuruh lagi ke PT Arara Abadi,” keluh Tarno.
Rentetan kejadian beberapa hari itu membuat Tarno ambil kesimpulan, Herman tidak mendapatkan keadilan. Lantaran dari permulaan Herman ditangkap hingga penahanan banyak kejanggalan. Dirinya katakan bahwa pada 7 Oktober itu banyak titik api, bukan hanya Herman sendiri.
Selain itu Tarno juga memaparkan bahwa Herman hanya membakar lahan dengan areal setengah hektar. Tanah garapannya pun tanah mineral bukan gambut. Terlebih lahan tersebut tidak di posisi lahan konvensi, sehingga PT Arara Abadi tidak berhak ikut serta.
Geram, itulah perasaan Tarno saat ini. Menurutnya PT Arara Abadi yang tidak dirugikan sama sekali seharusnya mau mencabut tuntutan mereka.
“Dia [PT Arara Abadi] udah tau kejadian ini tidak di kawasan mereka. Mereka tidak dirugikan, tetapi disaat disuruh mencabut [tuntutan] mereka tidak mau, ini menjadi masalah,” kata Tarno.
Lantas mengapa Herman malah ditangkap? Tarno katakan keujujuran Herman sendiri membawa petaka. Sebab bagi Tarno kejujuran dapat sebabkan masalah di mata hukum.
“Saya bertanggung jawab, saya membakar, saya memadamkan saya bertanggung jawab,” ujar Tarno meniru perkataan Herman.
Menjadi bumerang bagi Herman, Tarno menduga alasan penangkapannya karena pernyataan tersebut. Perihalnya, jarang sekali ada masyarakat mengaku apabila terjadi kebakaran. Biasanya pemilik lahan menyatakan kebakaran terjadi secara tak sengaja.
Kasus Herman Menurut Pandangan Hukum
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru yakni Andi Wijaya, akui heran terhadap kejadian perkara menimpa Herman. Dirinya memaparkan kejadian perkara terjadi pada tanggal 7 Oktober dan laporan baru keluar pada tanggal 11 Oktober.
Andi menduga keterlambatan ini karena adanya pertemuan anatara pihak berkepentingan untuk memanfaatkan situasi yang ada. Lebih lanjut, dirinya katakan Herman bisa saja menaikkan citra polisi dalam menangkap pelaku pembakaran hutan.
“Padahal lahan yang terbakar lebih besar seperti sepuluh hektar, puluhan hektar [hingga] ratusan hektar itu bebas,” ujar Andi geram.
Kejanggalan demi kejanggalan bermunculan dalam kasus Herman. Seperti penetapan tersangka. Sebab tak mungkin dalam satu hari polisi dapat menetapkan status tersangka. Polisi harus punya dua bukti pengurai dalam prosesnya.
“Bayangkan [hanya] dalam satu hari,” tutur Andi.
Lalu pemberian surat pemberitahuan pada tanggal 13 Oktober patut dipertanyakan. Menurut Andi alur pemberian surat pemberitahuan bersamaan dengan pembawaan tersangka.
Ia berharap kejadian ini dapat diselesaikan secara restorasi justice. Lantaran pembakaran yang Herman lakukan kurang dari dua hektar. Terlebih Herman sendiri merupakan masyarakat miskin. Seharusnya polisi dapat menegakkan hukum dengan menimbang kondisi masyarakat menurut Andi.
Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo berikan pandangannya. Dirinya katakan kasus ini hadir sebab tak hadirnya penegakan hukum dalam mengatur tata tertib.
Bukan tanpa alasan, saat Riau dilanda polusi asap yang penyebab utamanya ialah kebakaran hutan. PT Arara Abadi seharusnya disalahkan karena terjadinya kebakaran di arealnya tapi tak adanya proses hukum. Mirisnya, pihak PT Arara Abadi malah membawa petani yang hanya membakar lahan tak begitu luas.
Jikalahari menerima laporan kasus Herman pada September. Merespon hal tersebut, organisasi peduli lingkungan itu melakukan survei lapangan pada pertengahan November. Mereka mendapati bahwa lahan perkara merupakan lahan mineral, merupakan Areal Penggunaan Lain dan bersertifikat. Serta luas lahan perkara tidak mencapai satu hektar.
“Jadi kalau kita berbcara situasi kondisi asap, jauh berkontribusilah PT Arara Abadi dibandingkan areal terbakar [milik Herman],” jelas Okto.
Okto nilai tindakan pelaporan yang dilakukan PT Arara Abadi tak etis. Sebab perusahaan seharusnya miliki kewajiban untuk melakukan pembinaan dan membantu petani. Bukan melaporkannya.
Dirinya menganggap PT Arara Abadi sebagai anak emas di ranah hukum. Bukan tanpa sebab, dari banyaknya rentetan kasus pembakaran lahan tapi tak pernah diusut. Lebih kacau lagi saat mereka melakukan pelaporan pihak berwajib berikan respon tanggap.
Okto paparkan penemuan Jikalahari. Tahun 2019 saat polusi asap berseliweran di Riau PT Arara Abadi turut andil dalam sumbangkan karbon monoksida. Penegak hukum merespon dengan menyegel PT Arara Abadi Distrik Pusako tapi tak ada tindak lanjut.
Tahun berikutnya, seluas 83 hektar areal PT Arara Abadi Desa Merbau mengalami kebakaran. Hingga di tahun 2023 PT Arara Abadi kembali mengalami kebakaran. Walaupun selalu dilaporkan tak ada tindakan serius hingga ke meja hijau.
Kesal Okto dengan penegak hukum yang tutup mata, padahal mereka juga turut hadir pada proses pemadaman api. Sehingga Otto menyimpulkan PT Arara Abadi miliki keistimewaan di mata hukum.
“Atau polisinya yang patut dicurigai, kenapa mereka mengistimewakan PT Arara Abadi ini,” imbuh Okto.
Okto sampaikan tiga rekomendasi Jikalahari dalam sikapi kebakaran disebabkan PT Arara Abadi beserta kasus yang dialami oleh Herman.
Pertama, kepolisian segera menetapkan PT Arara Abadi sebagai tersangka. Lalu Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mencabut areal kerap terbakar untuk dipulihkan menjadi kawasan fungsi lindung gambut.
Terakhir, Jikalahari sampaikan agar Herman dibebaskan dari segala tuduhan. Okto sampaikan beberapa alasannya. Areal pembakaran kurang dari dua hektar. Selain itu, tersangka telah terapkan sistem sekat bakar sesuai Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penulis: Afrila Yobi
Editor: Najha Nabilla