Food Estate menjadi sorotan kritis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi. Program Strategis Nasional oleh Presiden Joko Widodo ini pun dikupas. Walhi meyakini bahwa upaya menyelamatkan masyarakat dari ancaman kritis pangan bukan dengan melibatkan pembangunan berskala besar. Baik di darat ataupun pesisir.
Menajer Kampanye dan Kebun Walhi Uli Artha soroti program ini lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Permen LHK Nomor 21 Tahun 2000. Peraturan ini pula yang memberi peluang pembangunan food estate di kawasan hutan negara. Masuk di dalamnya hutan produksi dan hutan lindung.
Proyek yang digarap di Kalimantan Tengah misalnya, menjadi wilayah yang kerap disorot. Sebab pengerjaannya terbilang tidak mencapai target yang diinginkan.
Bayu Hernita dari Walhi Kalimantan Tengah bilang konteks food estate di wilayah ini ada dua. Ialah food estate padi di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas. Lalu food estate singkong di Kabupaten Gunung Mas.
Kini situasi ekosistem gambut di Kalimantan Tengah alami dampak serius. Mulai dari penurunan kualitas gambut, hingga adanya peningkatan risiko kebakaran hutan. Belum lagi banjir yang melanda lahan para petani.
Walhi Kalteng pun menyoroti kinerja Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Saat menutupi kegagalan food estate dengan menanam kembali singkong dan jagung menggunakan media tanam polybag.
Berganti pula food estate di Sumatera Utara (Sumut). Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda, katakan pengembangan food estate di Sumut meliputi empat kabupaten. Ialah Hasundutan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan PakPak Barat.
Akan tetapi proyek di Humbang Hasundutan, Desa Siriaria yang ditanami bawang merah dengan luas 1000 hektar tidak mencapai hasil yang memuaskan. Para petani enggan bermitra sebab merasa dipaksa oleh pemerintah.
“Petani yang menjadi mitra pun enggan jadi mitra, karena pemerintah cenderung maksa,” kata Rianda.
Penolakan juga terus bergulir di Desa Parsingguran 2, di mana sebagian masyarakatnya dipaksa menerima proyek. Walhi menyoroti sembrono-nya pemerintah yang menunjuk lahan tanpa menyelesaikan konflik kepemilikan. Padahal masyarakat di sana berbasis ladang dengan tanaman khas.
Di samping itu motif pembuatan jalan tol besar di area food estate dipertanyakan. Curiga kalau-kalau jalan tol tersebut menjadi keuntungan untuk perusahaan. Seperti PT Dairi Prima Mineral, PT Toba Pulp Lestari, dan PT Gunung Raya Utama Timber Industri.
Usai bagian Tengah dan Barat, beralih pula pada bagian food estate di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kegagalan food estate pun menimpa wilayah ini, karena hasilnya jauh dari yang diharapkan.
“Kalau dilihat, Food Estate ini gagal di NTT,” ucap Deddy Direktur Eksekutif Walhi NTT.
Kegagalan food estate di NTT ini tampak pada Kabupaten Sumba Tengah yang berpopulasi penduduk 50 juta jiwa. Dengan tingkat kemiskinan 31,78 persen.
Seluas 10 ribu hektar lahan di daerah ini dialokasikan menjadi food estate. Berinci 4.400 hektar untuk jagung dan 5.600 hektar untuk sawah. Akan tetapi kurangnya perhatian terhadap ketersediaan air membuat pembangunan pada tahap pertama alami kegagalan.
Saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke proyek food esatete di NTT, terjadi pada musim hujan, sehingga tanaman kelihatan subur. Itupun, foto Presiden tidak menampakkan kondisi keadaan sesungguhnya.
“Kementerian itu bagus sekali ngambil view nya. Kemudian yang di sebelah kanan [fotonya] presiden itu banyak mati karena pestisida nya terlalu banyak karena petani tidak diajarkan pola-pola pengembangan lumbung pangan food estate,” ucap Deddy menyoroti ketidaktransparan pemerintah.
Setelah kegagalan di Food Estate, fokus pemerintah beralih ke proyek pesisir, seperti Shirp Estate di Kabupaten Sumba Timur dengan luas 1.800 hektar dan nilai investasi sekitar 7,1 triliun rupiah. Proyek ini berupa pembangunan tambak udang skala besar untuk mendukung ketahanan pangan di sektor perikanan dan kelautan.
Namun, kebijakan pembangunan ini dinilai kurang memperhatikan lingkungan dan potensi lokal di wilayah-wilayah tersebut. Sayangnya, proyek Shirp Estate ini belum disosialisasikan secara baik kepada publik terkait model pengembangan, dampak lingkungan, dan manfaatnya bagi masyarakat.
Deddy melakukan konfirmasi dengan Dinas Perikanan Sumba Timur untuk mengetahui status Shirp Estate. Namun, jawaban pemerintah menyebutkan bahwa baru dilakukan survei hingga saat ini, dan pelibatan masyarakat dalam proyek tersebut masih minim, mengikuti pola yang sama dengan pendekatan Food Estate.
“Proyek skala besar yang dimotori oleh negara tidak ada yang pernah berhasi, selagi tidak melibatkan masyarakat petani dan masyarakat adat [di dalamnya],” ungkap Deddy.
Berawal dari masalah serupa yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), kini Nusa Tenggara Barat (NTB) juga menghadapi tantangan serupa terkait proyek Shirp Estate. Amri, dari Walhi NTB, menyampaikan kondisi pembangunan di wilayah pesisir NTB.
Wilayah pesisir NTB memiliki total luas 29 ribu hektar dengan populasi nelayan mencapai sekitar 2,9 juta orang. Sejumlah pembangunan dan program, seperti Program Swasembada Nasional (PSN), pengembangan pariwisata, dan proyek-proyek besar seperti Shirp Estate, banyak dilaksanakan di wilayah pesisir.
Namun, beberapa proyek, termasuk yang masih dalam tahap perencanaan, menunjukkan ketidakjelasan terkait kelanjutannya. Penting untuk diingat bahwa perencanaan pembangunan semacam ini seharusnya melibatkan kajian yang lebih intensif terkait dampaknya terhadap sumber daya hidup nelayan.
Saat ini, hampir seluruh pesisir NTB telah berubah menjadi tambak udang, Lombok contohnya, yang sebagian besar telah menjadi tambak udang. Meskipun NTB diwacanakan sebagai penghasil udang terbesar di tingkat nasional untuk di ekspor. Maka, pertanyaannya untuk siapa ketahanan pangan ini? Sementara itu, status NTB saat ini masih menjadi wilayah termiskin ke-10 di Indonesia.
Amri menegaskan bahwa wilayah-wilayah esensial di NTB kini berubah menjadi wilayah-wilayah industri tambak udang. Ditambah peraturan yang dikeluarkan pemerintah cenderung memberikan izin tanpa memperhatikan keberlanjutan, daya dukung masyarakat, dan dampak lingkungan.
Contohnya di Lombok Utara. Izin tambak udang diperbolehkan hanya untuk 69 hektar berdasarkan data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), tetapi pada kenyataannya mencapai 250 hektar. Amri menegaskan, “Hari ini, NTB sedang tidak baik-baik saja di kawasan pesisirnya.”
Perbincangan ini terekam dalam diskusi bertajuk Gagal di Darat, Gagal di Pesisir (Fooed Estate dan Shirp Estate). Diskusi berlangsung secara virtual, disiarkan lewat YouTubbe dan Facebook Walhi pada Juma (26/1).
Penulis: Kristina Natalia
Editor: Ellya Syafriani