SETELAH beberapa bulan menghirup udara  bebas  kabut  asap,  ada kekhawatiran tamu istimewa itu datang lagi. Ia bukanlah hal baru bagi masyarakat di Riau. Karena selain musim hujan dan kemarau, musim asap juga jadi rutinitas biasa yang hampir terjadi setiap tahunnya.
Yang dihadapi masyarakat bermacam-macam. Mulai dari sekolah terancam diliburkan, aktifitas terhambat dan kesehatanpun terganggu. Kerugian yang terjadi berulang dan mulai jadi ‘hal biasa’.
Ini bukti bahwa fenomena asap jadi rutinitas tahunan. Bila membicarakan penyebab utama dari bencana ini, pastinya terkait kebakaran hutan dan lahan, atau karhutla. Asal muasal asap ini sepertinya sudah tak dianggap berbahaya lagi. Sebab walaupun banyak keluhan yang disampaikan, penyelesaiannya tetap tak jelas.
Bukankah ada undang-undang yang mengatur bahwa hal tersebut dilarang? Kenapa bila aturannya sudah ada, tetapi pelanggaran tetap terjadi dan bahkan terus berulang?
Kita harus terus mengingatkan pihak yang perlu memaksimalkan kinerjanya untuk memberikan efek jera bagi pembakar hutan dan lahan. Mereka sudah dengan tega mengorbankan kesehatan jutaan orang untuk keuntungan pribadi maupun golongannya.
Kabut asap yang terjadi beberapa waktu lalu adalah kiriman dari bagian selatan pulau Sumatera. Sebagaimana di wartakan dalam situs riau-global.com, berdasarkan pantauan Satelit Terra dan Aqua Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Bandara Sultan Syarif kasim (SSK II) Pekanbaru.
Titik api terbanyak di Pulau Sumatera untuk bagian Sumatera Selatan terdapat 218 titik api, Jambi, 46 titik api, Lampung 19 titik api,BangkaBelitung5ttikapidanBengkulu4 titik api. Sementara di Provinsi Riau bagian selatan sendiri terdapat 29 titik api ditambah di Sumatera Barat 5 titik api.
Meskipun demikian, Riau tetap juga memberi sumbangsih asap yang berasal dari titik api di kabupaten-kabupaten. diantaranya Indragiri Hilir sebanyak 21 titik api, Indragiri Hulu 5 titik api dan Pelalawan 3 titik api.
Dimanapun terjadinya, tetap saja dampak yang ditimbulkan dirasakan banyak masyarakat didaerah lain. Dan tetap saja hal ini menjadi bukti meratanya pelanggaran undang-undang kehutanan dan lingkungan hidup.
Sampai kapankah kita akan merasakan musim asap? Apakah musim ini akan jadi warisan kita pada generasi penerus?
Bukan tidak mungkin hal tersebut terjadi lagi bila tidak ada tindakan tegas yang membuat jera pelaku karhutla. Tentunya ada pihak yang berkewajiban untuk memberikan tindakan. Sebagai warga negara yang baik alangkah baiknya jika kita ikut mengawasi dan saling mengingatkan.
Saling menyalahkan, tuding menuding kewajibanpun tidak ada gunanya bila tidak ada kesadaran untuk melakukan kebaikan dari dalam diri orang itu sendiri. Tugas menjaga ketertiban memang dilimpahkan negara pada pihak tertentu, pemerintah dan jajarannya sebagaimana mereka dipilih oleh rakyat untuk memimpin. Saling memperbaiki diri, dan bila mungkin bisa menularkannya kepada orang lain maka akan lebih baik.
Terutama untuk mahasiswa FKIP, yang nantinya akan menjadi penempa generasi penerus. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan pada peserta didik kita nantinya. Semoga dengan usaha mendidik generasi penerus dengan menanamkan nilai-nilai karakter di dalamnya, mampu menekan angka kriminalitas di negeri ini.
 *Penulis Aryani Kodriyana Mapala Suluh FKIP UR