Angela dan Vika bertanya-tanya berapa lama daging bisa bertahan jika disimpan di dalam lemari es atau freezer sekalipun ? apakah aman konsumsi daging yang sudah berhari-hari disimpan ? berawal dari sini lah, mereka memulai penelitian alat yang dapat perpanjang masa simpan daging beku melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-PE).

Tim pun dibentuk berisi Angela Marici Lisda Elfriyanti Situmorang, Revika Wulandari dan David Ali Hermawan. Angel, begitulah kerap disapa dara kelahiran Batam ini ditunjuk sebagai ketua tim. Mereka menamakan Anti Bacterial Edible Film (A Beef) sebagai Antimicrobial Edible Film untuk Memperpanjang Umur Simpan Daging sebagai judul penelitian.

Angel dan Vika mahasiswa angkatan 2016 jurusan Teknik Kimia, teman sekelas di kampus. Sebab dalam PKM tak boleh semua anggota satu angkatan, mereka berinisiatif mencari anggota yang beda angkatan. Senior mereka kemudian rekomendasikan David untuk diajak bergabung.

Sebelum membentuk tim, ide sudah terlebih dahulu mereka kantongi.

“Kalian pernah lihat plastik wrap gak? Itu bisa dimakan gak?” tanya Vika kepada dua rekannya.

“Pernah, tapi tak bisa dimakan,” jawab Angel dan David.

Mereka berselancar di dunia maya untuk mengetahui kandungan plastik wrap—biasa dipakai membungkus buah.  Setelah mengetahui  adanya  kandungan zat kimia, mereka berpikir untuk membuat yang sejenis tetapi bisa dimakan.

“Nah itulah edible film,” kata Angel.

“Oh iya, edible film anti mikroba,” sambung mereka.

Kemudian mereka mencari tahu cara pembuatan edible film dan anti mikroba. Berbagai referensi mereka gunakan. Tak lupa diskusi dengan senior dan Irdoni Dosen Pendamping tim.

Penelitian mereka mulai di Laboratorium Teknologi Bahan Alam dan Mineral Fakultas Teknik, yang dikepalai oleh Irdoni. Menurut Angel, memang sudah ada yang membuat edible film sebelumnya. Tetapi tidak dikombinasikan dengan anti mikroba. Maksudnya mencegah perkembangan jamur yang dapat buat daging busuk.

“PKM ini kita boleh menemukan inovasi baru atau mengembangkan apa yang sudah ada,” sambung David.

Edible film dapat dibuat dengan pektin dan pati. Kemudian mereka tambahkan minyak atsiri sebagai anti mikroba. Pektin yang dipilih dari kulit pisang dan pati berasal dari biji durian. Sedangkan minyak atsiri dari daun kemangi.

Bahan pertama, pektin dari kulit pisang. Menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS Riau populasi pisang banyak terdapat di Bumi Lancang Kuning ini. Kandungan pektin kulit pisang lebih banyak dari yang biasa digunakan, yaitu apel sebesar 52 persen. Selain itu, untuk memanfaatkan limbah kulit pisang yang kebanyakan dibuang begitu saja.

Mulanya  kulit pisang dipotong, dicuci lalu keringkan di bawah sinar matahari. Perlu waktu dua hari sampai kulit pisang kering. Setelah itu diblender dan diayak. Hingga proses ini, pektin belum didapat. Serbuk tak seukuran yang mereka dapat. Untuk mendapatkan pektin, serbuk diekstraksi dengan larutan HCL atau Asam Klorida selama dua jam. Hasilnya disaring menggunakan pompa vakum. Bentuk jadi berupa filtrat. Untuk hilangkan larutan Asam Klorida dari  filtrat, ditetesi larutan AgCl hingga tak ada lagi endapan.

“Jika masih terbentuk endapan, berarti masih terdapat kandungan HCL di dalamnya,” jelas Vika.

Setelah dicuci menggunakan etanol dengan perbandingan 1:1. Diendapkan selama sehari agar Etanol dan AgCl mengikat HCL keluar. Sehingga filtrat terbebas dari kandungan HCL dan aman untuk dikonsumsi. Pektin berbentuk serbuk berwarna putih susu.

Kedua, pati dari biji durian. Kandungan pati pada biji durian lebih banyak, yaitu 43,6 persen. Selama ini biji durian hanya dibuang setelah dimakan dagingnya. Tak beberapa orang yang mengonsumsinya dengan cara merebus.

Biji durian dipotong kecil-kecil, cuci lalu direndam dalam air kapur sirih semalam. Perendaman bertujuan hilangkan lendir pada biji. Untuk melarutkan, biji durian tadi diblender bersama air dengan perbandingan 1:10 agar mudah larut.

Kemudian dimasukkan ke dalam wadah, endapkan lagi semalam. Besoknya, dicuci menggunakan aquades dan dituangkan secara perlahan agar endapan tertinggal di wadah. Selanjutnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 50 derajat celcius selama dua hari. Sebab ukuran pati yang mereka dapat tak sama, pati diblender tanpa air. Terakhir mereka ayak, didapat lah pati yang halus.

Terakhir, minyak atsiri dari daun kemangi. Daun kemangi bisa diganti dengan ekstrak bawang merah atau putih dan kulit jeruk. Metode yang mereka gunakan adalah destilasi uap air langsung. Destilasi merupakan proses pemisahan berdasarkan titik didih. Alat yang mereka gunakan Klafenger dan Kondensor. Pertama daun kemangi mereka cuci dan keringkan untuk menghilangkan kandungan air.

“Menjemurnya tak usah di bawah sinar matahari,” kata Vika.

Minyak dan air akan terpisah. Minyak inilah yang mereka ambil dan digunakan sebagai anti mikroba. Kandungan Eugenol pada minyak ini berfungsi sebagai anti mikroba.

Vika ketika ditemui di kosnya di Jalan Balam Sakti jelaskan mereka perlu mengulang-ulang hingga akhirnya jadi. Uang banyak habis untuk membeli HCL yang cukup mahal. Sekitar Rp 100-ribuan per setengah liter. Uji dilakukan tak satu dua kali.

“Untuk jadi pektin, pati dan minyak atsiri itu aja susah.”

Untuk pembuatan edible film tidak sesulit mengekstraksi. Caranya dituang di atas cetakan kaca berukuran 20 x 20 cm. Awalnya yang sudah dicetak tak bisa ditarik. Disitulah semangat mereka mulai patah.

Mereka sering berkumpul, makan bersama untuk menciptakan solidaritas dan memecahkan masalah.

“Rasanya mau nangis, padahal sudah monev per monev dilewati,” kata Vika menirukan kalimat Angel kala itu. Mereka bertiga saling menyemangati rekannya, mengingat tahapan yang sudah dilewati tak mudah. Akhirnya setelah beberapa kali mencoba, edible film mereka jadi.

Tak sampai disitu, perlu dilakukan beberapa uji lagi. Seperti uji Spektrofotometer Fourier Transform InfraredSpectroscopy (FTIR )  untuk menguji gugus fungsional pektin, pati, minyak atsiri, edible film. Analisa ini bertujuan mengetahui perubahan gugus fungsi dari suatu bahan yang dihasilkan. Uji ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Kedua uji pertumbuhan mikroba di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA. Mereka menguji tiga sampel. Yaitu daging tanpa edible film, dengan edible film tanpa anti mikroba dan gunakan kedua bahan.

Hasilnya, daging tanpa edible film menghasilkan koloni mikroba tak bisa dihitung serta warnanya yang cokelat. Kemudian daging kedua,  koloni mikrobanya lebih sedikit, sekitar 3,4 x 104. Warnanya juga agak terang. Terakhir daging yang dilapisi edible film dan anti mikroba menghasilkan sangat sedikit koloni mikroba, sekitar 2,3 x 104. Warnanya tak berubah dari awal diuji. Segar.

Selanjutnya uji sifat mekanik. Parameternya adalah kuat tarik, elongasi dan modulus young. Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang sesumbu. Elongasi yaitu perpanjangan dari sebuah material ketika diuji tarik sampai patah. Kemudian modulus young, maksudnya adalah ukuran kekakuan suatu bahan elastis yang merupakan ciri dari suatu bahan.

Mereka mengirimkan sampel ke salah satu Laboratorium Universitas Andalas untuk uji tarik. Sebanyak empat sampel dikirimkan dengan biaya sekitar Rp 75 ribu per sampel. Pihak Laboratorium UNAND mengirimkan hasil uji via surat elektronik.

Mereka semakin optimis dengan hasil uji yang diperoleh. Argumen mereka kuat untuk menjawab pertanyaan reviewer nantinya dengan produk mereka yang berkualitas.

Daging yang dilapisi edible film harus benar-benar kedap air dan udara. Tujuannya agar tak mudah terdegradasi. Jika air dan udara masuk, daging bisa busuk.

TIGA gambar mahasiswa Teknik Kimia terpampang di spanduk depan Lobby Fakultas Teknik awal September lalu. Tulisan selamat turut menghiasi spanduk. Usaha mereka berbuah medali perak dalam kategori poster.

Mekanismenya melalui pameran poster. Di dalam stand, mereka pajang  purwarupa edible film kemudian mereka jelaskan kepada juri. Dewan juri menguji dengan beberapa pertanyaan.

Dalam helat ke-31, Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) diselenggarakan di Universitas Negeri Yogyakarta. Sebelumnya ada 101 proposal PKM yang lolos didanai Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kemudian diseleksi lagi untuk lolos ke nasional. Tim Angela salah satu dari 14 tim dari UNRI yang lolos ke PIMNAS.

Saat ini, hak paten atas produknya  sedang mereka urus di Lembaga Penelitian dan Pengadian Masyarakat.

Kedepannya mereka berencana membuat edible film untuk mengemas makanan. Seperti Lopek Bugi yang biasanya hanya dibungkus daun pisang. Melapisi edible film terlebih dahulu sebelum daun pisang. Nantinya, lopek tak akan terkontaminasi oleh mikroba dari luar. Harganya dirancang tak lebih mahal dari plastik wrap biasa.

 

Penulis: Annisa Febiola