Mengenalkan Hukum secara Sederhana ala Elza Faiz

“Anak muda punya tinta emas dalam memajukan Indonesia,” tegas Elza Faiz penulis buku berjudul ‘Yuk Mengenal Hukum’.

Senarai menggelar diskusi bedah buku yang ditulis Elza pada 26 Agustus lalu. Sebelum mengupas isi bukunya, Elza memaparkan bagaimana kepeloporan pemuda dalam kemajuan Indonesia. Dimulai saat berdirinya Budi Utomo pada 1908 dilanjutkan sumpah pemuda pada 1948. Lalu pada masa proklamasi kemerdekaan, hingga tumbangnya orde lama. Terakhir, masa reformasi pada 1998 yang dimotori juga oleh pemuda.

Elza menulis buku ini agar hukum mudah dipahami kalangan manapun. Langkahnya, ia menyajikan kalimat-kalimat ringan untuk menjelaskan bahasa hukum. Selama ini, bahasa buku-buku yang menjelaskan hukum terlalu berat.

“Tidak perlu mengerutkan dahinya saat mempelajari,” ujar Elza.

Menurut Elza, dalam penegakan hukum perlu ada komitmen, partisipasi serta keterlibatan semua pihak. Baik masyarakat maupun penegak hukum. Khususnya bagi kalangan pelajar dan aparat hukum. Pelajar dituntut menjadi hulu penegakan hukum. Karena posisinya yang strategis, menjadikannya pengontrol sosial untuk tegaknya hukum dalam masyarakat.

“Hukum menjadi janji republik yang harus dilunasi,” Pungkasnya.

Ia mulai dengan menyampaikan dasar-dasar ilmu hukum. Mulai dari bentuk-bentuk negara hukum di dunia. Ada rule of law, dengan tanpa peradilan administrasi serta putusan hakim menjadi yang utama. Akibatnya, keterlibatan hakim sangat dominan. Juga Rechtsstaat, dengan modifikasi hukum dan adanya peradilan administrasi.

Selanjutnya ia membahas arti hukum. Keberadaan hukum mengikuti kondisi masyarakat. Sehingga dikenal istilah, “Ubi Societas Ubi Ius,” artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Secara umum defenisi hukum adalah seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan ketentraman dan kedamaian.

Tak sampai disitu, ia juga memaparkan berbagai sumber hukum. Sumber hukum terbagi atas materil dan formil. Materil berarti tempat dimana materi hukum diambil. Sedangkan formil adalah wujud peraturannya, misal undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrin.

Ia juga mengulas subjek hukum, objek hukum, peristiwa hukum, perbuatan melawan hukum, perbuatan hukum, dan terakhir jenis-jenis hukum.

Pemantik selanjutnya, Syaefuddin Syukur menyeimbangi penjelasan Elza. Ia mengibaratkan hukum Indonesia seperti sepeda motor tua. Masih bisa berjalan tapi lebih baik menggunakan alat transportasi lain, seperti sepeda.

“Hukum kita lebih banyak merusak, daripada memperbaiki,” kesahnya.

Umumnya, selain norma hukum ada norma-norma lain yang mengatur kehidupan masyarakat. Seperti norma agama, kesusilaan dan kesopanan. Norma agama menjadi pengikat hubungan setiap orang dengan Tuhannya, jika dilanggar, manusia tak akan dapat sanksi dari negara atau masyarakat. Norma kesusilaan bertindak sebagai identitas kemanusiaan, kepatutan, kepantasan, kewajaran hingga kesesuaian. Lalu norma kesopanan yang mengatur tingkah laku masyarakat yang kemudian diberi sanksi berupa celaan, kritikan sampai pengucilan.

Untuk mempertegas ketiga norma diatas dibutuhkan norma hukum sebagai pengikatnya. Norma hukum dibuat oleh pemegang kekuasaan berwenang. Memiliki sifat memaksa dan melindungi.

Hukum Indonesia disebut hukum positif, kerap mengenyampingkan moral. Sangat mengedepankan sanksi, sehingga dalam tujuan utama penegakan hukum hanyalah menghindari sanksi.

“Hanya berisi perintah, minus hak.”

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau ini juga menyayangkan kondisi hukum yang sering menjadi lading uang. Istilahnya menjual pasal-pasal.

“Hukum jadi komoditi yang diperdagangkan,” keluhnya.

Diskusi buku ini dilangsungkan di Hotel Grand Suka, Pekanbaru dengan mengundang berbagai pihak. Mulai dari siswa, pers mahasiswa hingga Lembaga Swadaya Masyarakat.

Reporter: Raudatul Adawiyah Nasution

Editor: Annisa Febiola