Korupsi Dan Perencanaan Anggaran Dalam Ranah Pemerintahan

Korupsi berdasarkan etimologi bersal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok.  Dalam KBBI artinya penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Indonesia mempertegas yang termasuk dalam tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu: Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

“Tidak ada yang positif ya arti dari korupsi ini,” ucap Ganda Situmorang selaku pemateri dalam sebuah Pelatihan Monitoring Persidangan Korupsi dan Kejahatan Lingkungan di Riau yang diselenggarakan oleh Senarai, Selasa (27/08).

Ganda merupakan seorang Tenaga Ahli Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Sebuah arah kebijakan nasional yang nantinya dapat menjadi acuan kementrian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku lainnya dalam melaksanakan pencegahan korupsi di Indonesia. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2018.

Dalam strateginya, Stranas PK sesuai dalam Surat keputusan Bersama Lima Kementrian/Lembaga menawararkan Rencana Aksi: 3 Fokus dan 11 Aksi.

Tiga Fokus Aksi itu berupa Perizinan dan Tata Niaga, Keuangan Negara dan Penegakan Hukum, dan Reformasi Birokrasi. Setiap fokus tersebut yang kemudian akan diuraikan menjadi sebelas.

“Strategi ini supaya terfokus, terukur dan berdampak,” ucap Ganda.

Ada beberapa latar belakang prioritas terjadinya korupsi yang membentuk Stranas PK, yaitu karena regulasi yang terlalu banyak dan tumpang tindih perijinan. Menguatnya praktik kartel dan monopoli dalam tata niaga sektor strategis pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan dan energi.

Kemudian, belum terintegrasinya kebijakan, proses perencanaan, penganggaran, dan realisasi belanja negara. Pengadaan barang dan jasa yang terindikasi belum independen. Lalu, lemahnya transparansi dalam sistem tata kelola peradilan. Terakhir lemahnya supervisi dari penerapan sistem merit seperti penempataan pekerjaan atau posisi yang tidak sesuai.

“Ini masalah utama yang riil di kita sekarang.”

Lebih lanjut, Triono Hadi selaku Koorinator Forum Indonesia untuk Transparansi Angaran Riau juga paparkan bahwa ada sepuluh area rawan terjadinya korupsi dalam bidang pengelolaan keuangan negara dan pengadaan barang dan jasa.

Salah satunya adalah di area pengelolaan pendapatan daerah. Ia contohkan dengan pembayaran parkir. “Contohnya kamu bayar parkir di swalayan, itu termasuk ga jelas,” sahutnya.

Karena parkir menjadi salah satu pendapatan negara yang sudah diatur dalam peraturan daerah. Seperti di Pekanbaru dalam peraturan daerah tentang retribusi parkir bahwa setiap juru parkir melakukan pemungutan harus menggunakan karcis.

“Karcis itu yang akan dihitung dan dilaporkan sebagai pendapatan negara, kalau ga ada karcis otomatis tidak akan masuk sebagai pendapatan daerah.”

Selain itu area rawan lainnya dalam pengelolaan keuangan negara adalah di perencanaan dan penganggaran, belanja hibah bantuan sosial, bantuan keuangan, dan pelaksanaan anggaran (non pengadaan).

Sedangkan dalam pengadaan barang dan jasa area yang rawan ada di perencanaan, pelelangan, paska pelelangan dan pengawasan.

“Dalam pengadaan barang dan jasa contohnya bisa kasus korupsi Tugu Anti Korupsi waktu itu,” ucap Hadi.

Pelaku korupsi untuk anggaran bisa dilakukan oleh siapa saja. Tergantung pada tiga hal yang mendorong perilaku kerugian negara ini terjadi, yaitu komitmen moral, peraturan perundang-undangan yang mengatur dan penyelenggara negara.

“Ini yang kita sebut sebagai kenapa sih korupsi anggaran itu ada, karena moralnya udah gak punya, kemudian aturan memberikan ruang untuk korupsi dan penyelenggara negara nya udah gak integritas lagi.”

Tiga ini kemudian memberi dampak pada banyak aspek; lingkungan hidup, pencapaian kinerja pelayanan sosial dasar, ekonomi, kemampuan keuangan daerah, kualitas infrastruktur hingga investasi.

Sehingga dibutuhkan partisipasi berbagai pihak dalam mencegah dampak buruk itu.

Setiap pihak, terutama masyarakat bisa turut andil berpartisipasi mulai dari ikut mengawasi perencanaan anggaran, pelaksanaan hingga penanganan perkara jika terjadi korupsi.

Dengan hal ini masyarakat nantinya juga akan mampu melihat kepada siapa pemerintah itu berpihak. Bagi Hadi, keberpihakan pemerintah bisa dinilai dari kebijakan politik anggarannya.

Contoh saja isu asap di Riau yang diakibatkan kebakaran hutan. Kebakaran ini dampaknya sangat luas, terutama ke masyarakat.

“Ada ga kebijakan anggaran yang dialokasikan untuk pengendalian kebakaran hutan, pengendian bencana asap dan lain sebagainya itu?”

Karena pemerintah memiliki kewajiban untuk menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) demi kepentingan masyarakat. Mengingat secara filosofi, APBN/D ini adalah uang rakyat. Bisa dilihat dari sumber perolehan dan peruntukannya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu; untuk menciptakan kesejahteraan, menjamin terpenuhnya hak-hak masyarakat dan untuk membiayai pelayanan kepada masyarakat.

“Kalau dalam konteks pemerintah, ketiga ini menjadi urusan wajib yang dilakukan baik tingkat nasional maupun daerah,” ucap Hadi.

Cara memperolehnya juga dari rakyat yaitu melalui pembayaran pajak, retribusi, hasil pengelolaan SDA, laba BUMN/D, dan hutang. “Ini semua dipungut karena ada kepentingan rakyat.”

Uang tersebut kemudian diatur dalam kebijakan anggaran setiap tahunnya. Dalam perumusan itu ada aktor-aktor politik anggaran yang berperan. Aktor utama adalah partai politik, karena partai politik ini yang nantinya akan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Bisa melalui kroni bisnis atau anggota dewan atau DPR.  Sedangkan pemerintah menjadi aktor di posisi kedua yang berperan dalam menyusun kebijakan anggaran negara/daerah.

Hadi katakan bahkan masyarakat berada pada posisi yang kecil untuk mempengaruhi kebijakan anggaran. Walaupun secara aturan perundang-undangan bahwa yang mengatur dalam penyusunan itu salah satunya dengan skema bottom-up.

Bottom-up merupakan salah satu pendekatan politik dalam kebijakan anggaran yang artinya direncanakan menurut jenjang pemerintahan dari bawah, atau dengan kata lain mendengar aspirasi masyarakat.

“Tapi dalam hal ini masyarakat disini porsinya sangat kecil,” lanjutnya.

Kecuali masyarakat yang bergabung menjadi kroni bisnis, yang menjadi anggota dewan atau yang bekerja di pemerintah.

Reporter: Ambar Alyanada Numashurrayyadewi