Mata tajam dan warna merah itu. Ya, warna merah di bibirnya itu benar-benar menakutkanku. Es krim yang baru saja kubeli di warung Pak Ucok sudah terjatuh dan sedikit mengenai rokku. Saat itu aku sedang berlari kesetanan seperti telah melihat hantu. Tapi, yang kulihat bukanlah hantu karena dari film-film horor yang tidak sengaja kutonton. Hantu tidak bisa menapakkan kakinya di tanah.

Sedangkan yang kulihat adalah seorang nenek tua yang jelas-jelas kakinya menapak dan saat itu tersenyum ke arahku. Aku bisa melihat warna merah yang menutupi seluruh mulutnya, termasuk giginya. Bukan merah lipstick. Karena meskipun aku baru berusia lima tahun, aku sering melihat ibuku memakai lipstick dan tidak mengoleskannya juga ke gigi. Warna merah itu berasal dari ayam yang lehernya meneteskan darah sama seperti warna merah di mulut nenek tua itu. Benar, nenek tua itu menghisap darah ayam dan itu berarti dia adalah penghisap darah.

Mungkin ini kedengarannya aneh, apalagi bagi orang dewasa. Mereka akan mengatakan bahwa aku membuat cerita bohong dan menyuruhku melupakan imajinasi konyolku itu termasuk ibu. Padahal meskipun aku baru anak-anak, aku sudah bisa membedakan mana nyata dan mana halusinasi. 

Memang dasar orang dewasa!

Terkadang aku berpikir kalau aku seharusnya tidak usah menjadi orang dewasa jika punya sikap dan pemikiran seperti itu. Ya, meskipun nanti aku bakalan jadi orang dewasa juga. Ah sudahlah, kenapa jadi bahas itu sih. Pokoknya aku harus bisa buktiin dan bongkar rahasia si nenek tua itu. Enak saja dia bisa berkeliaran di desa kami. Bisa-bisa semua ayam di desa ini mati. Atau jangan-jangan—pikiran negatifku mulai bermunculan— bukan hanya darah ayam yang dia hisap. Tetapi juga kelinci, kerbau, kambing atau bahkan manusia.

Leherku ngilu memikirkan hal itu. Bukankah itu mengerikan ? Saat leher kita dipegang, perlahan gigi runcingnya menyentuh leher. Tepat saat giginya sudah menancap di leher kita, saat itu juga darah kita akan dihisap sampai habis. Atau mungkin dia menyisakannya hanya sedikit darah dari tubuh kita yang kemudian akan menetes perlahan dari leher kita. Aku terus membayangkannya sampai tidak sengaja suara teriakanku karena pikiranku yang menakutkan itu membangunkan ibuku yang kini sudah mengetuk pintu kamarku. 

“Nia, ada apa? Buka pintunya Nia,“ ucap ibu dari balik pintu.

Aku tidak mungkin mengatakan pada ibu bahwa aku belum tidur gara-gara memikirkan cerita mengenai si nenek tua itu. Ibu akan mengomeliku sepanjang malam sampai aku akan terpaksa tertidur daripada mendengar omelan ibu. Aku dengan cepat memutar otak untuk mendapatkan ide dan dengan perlahan aku membuka daun pintu. 

“Engga ada apa-apa, Bu. Nia cuma mimpi. Tapi mimpi seram makanya Nia sampai teriak,” jawabku sambil menggosok-gosok mata seolah aku baru bangun tidur supaya ibu tidak curiga. 

“Makanya jangan lupa baca doa, Nia. Ya sudah, tidur lagi. Udah larut ini. Atau kalau Nia masih takut, tidur sama ibu aja” tawar ibu dengan nada sedikit khawatir. Aku yakin ibu sampai khawatir karena kalau tidak, ibu tidak akan mengajakku tidur dengannya. 

“Hmm engga, Bu. Nia tidur sendiri aja. Ibu tidur aja lagi,” jawabku sambil menutup pintu dan kembali ke tempat tidur.

Meskipun aku masih kecil, tapi aku tidak tidur dengan orangtuaku lagi. Sejak kecil aku memang sudah tidur sendiri. Kata ibu, supaya aku lebih cepat mandiri dan jadi anak pemberani. Benar saja, diusiaku yang masih muda ini aku sudah merasa benar-benar berani. Bagaimana tidak, aku sudah berani menyusun rencana untuk membongkar rahasia si nenek tua penghisap darah itu. Berani, bukan ? 

***

Sinar mentari menyapa dengan hangat. Menembus lewat bingkai jendela kamarku dan perlahan menerpa seluruh wajahku. Seolah aku bermandikan mentari hingga aku terbangun dari tidur malam yang gelap. Tidak seterang pagi ini. Benar saja, cerahnya mentari ini berhasil mengusir semua bayangan mengerikanku mengenai si nenek tua itu. 

Untuk menebus semua ketakutanku itu, maka hari ini aku akan menjalankan rencana pertamaku yaitu me-matai kegiatan si nenek tua. Karena aku harus melihat terlebih dulu apa saja kegiatan mencurigakan yang dia lakukan di rumahnya. Apa dia melakukan hal lain misalnya membaca mantra, pemujaan dan hal lain seperti yang lagi-lagi tidak sengaja kutonton karena ibu selalu melarangku menontonnya. Kata ibu aku masih terlalu kecil untuk menonton hal-hal seperti itu yang ibu sebut hal ‘gaib’.

Ibu melarangku dengan berkata seperti ini “Nia, kamu tuh masih kecil. Nonton yang animasi buat anak-anak aja ya. Nanti kalo nonton yang lain-lain (yang disebut ibu mengenai hal ‘gaib’) akan ada lagi deh tu cerita kamu yang enggak-enggak,” tiruku sambil bergaya menirukan cara bicara ibu saat mengomeliku kalau aku udah ketahuan nonton hal-hal mengenai ‘gaib’. 

Terkadang aku sendiri menyadari bahwa yang dikatakan ibu mengenai imajinasi dan khayalanku yang keterlaluan itu benar. Bagaimana tidak, aku baru saja memikirkan bahwa nenek tua itu mungkin saja membacakan mantra seperti yang kukatakan sebelumnya. Padahal anak seusiaku seharusnya belum bisa memikirkan hal serumit itu. 

***

Aku berjalan mengendap-endap sambil memperhatikan sekitar, takut ada orang lain yang melihatku. Tapi sebenarnya bukan orang lain yang kutakuti, melainkan nenek tua itu sendiri. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia berhasil menangkapku dan leherku menjadi korbannya. Tapi seperti tekadku, adalah anak yang pemberani. Rumah nenek tua itu sama seperti rumah kebanyakan orang dengan halaman luas dan beberapa pot bunga yang berjejer di teras rumahnya.

Langkah kakiku hampir tidak kedengaran saat aku sudah berhasil berada di bawah jendela dan mulai mengintip dari luar. Aku tidak melihat ada tanda-tanda yang ganjil dari rumahnya bahkan si nenek tua itu sama sekali tidak kelihatan. Yang kulihat hanya tumpukan daun-daun diikat dalam plastik. Aku tidak begitu tahu itu daun apa.

Saat aku mulai mencari tahu hal lainnya, aku melihat seseorang muncul dari balik tirai dan benar saja itu adalah si nenek tua dengan warna merah di mulutnya. Ih, sangat menakutkan sekaligus menjijikkan bagiku. Aku buru-buru kabur sebelum nenek tua itu menemukanku. Sialnya saat aku mulai berlari, sendalku lepas sebelah yang mengharuskan aku kembali mengambilnya. Namun untung saja dia tidak melihatku dan aku berhasil kabur. 

“Aku punya ide,” batinku dalam hati. 

“Hai semua. Lagi pada main apa?” sapaku pada tiga orang anak seumuranku yang tidak lain adalah temanku. 

“Hy Nia,” jawab mereka serentak. 

“Kami lagi main congklak. Yok main bareng,” ajak Rini padaku. 

“O iya, kamu dari mana Nia?” tanya Pina dengan wajah penasarannya. 

“Nah justru itu, aku punya cerita buat kalian, mau dengar?” tawarku pada mereka. 

“Tapi kalian harus janji tidak menceritakan ini pada orang dewasa. Itu syaratnya. Janji?” jelasku pada mereka.

Dengan wajah penasaran sekaligus kebingungan mereka serentak menjawab “Janji.” 

“Kalian lihat rumah itu?” ucapku sambil menunjuk rumah si nenek tua. 

“Kenapa? Kan itu cuman rumah nenek-nenek,” potong Rini. 

“Nenek itu adalah seorang penghisap darah,” jawabku dengan nada berbisik menyeramkan, 

“Ha? Apa?” teriak mereka spontan. 

“Huss jangan keras-keras. Ini akan jadi rahasia kita. Dan soal tadi mengenai apa yang aku lakukan, aku baru saja memata-matai si nenek tua itu.” 

“Nia. Belikan ibu gula tolong nak!” teriak ibu yang mengharuskan aku mengakhiri ceritaku pada Rini, Opi dan Pina.

Aku meninggalkan mereka dengan dahi melipat dan pandangan ketakutan pada rumah si penghisap darah. 

***

Sejuknya angin sore dan warna jingga senja membuatku betah berdiri lama-lama di depan jendela sambil memandangi langit. Ditambah lagi mempesonanya warna pelangi yang muncul setelah turun hujan membuat mataku semakin nyaman memandanginya karena aku selalu suka pelangi. Meskipun aku belum tahu bagaimana terjadinya pelangi, tapi dari buku dongengku aku membacanya bahwa pelangi itu muncul karena ada bidadari yang lagi mandi. Tapi, kira-kira di sungai mana ya bidadari itu mandi?

Belum selesai lamunanku tentang biadari, mataku langsung terbelalak melihat tak jauh dari jendela rumahku si nenek tua sedang berjalan ke arahku. Spontan aku menutup jendela dengan tangan gemetar. Ya! Nenek tua itu. Lagi-lagi aku melihatnya, namun kali ini dia tidak melihatku karena aku buru-buru menutup jendela. Lantas aku berlari ke dapur untuk melihat kemana perginya nenek itu. 

Dengan penglihatan seadanya melalui celah pintu yang aku gunakan untuk mengintip pintu dapur—bagian belakang rumah kami—bersebelahan dengan kandang ayam Pak Togar si juragan ayam. Sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa ayam Pak Togar lah yang selalu membangunkan ibuku dipagi hari, dimana aku melihat si nenek tua membeli ayam pada Pak Togar. 

“Pasti si nenek tua akan menghisap darah ayam itu” gumamku dalam hati.

Benar saja, setelah sampai di rumahnya yang tak jauh dari rumah kami, aku mendengar suara ayam berkokok kesakitan seperti ingin mati. Aku menelan ludah. Dugaanku memanglah benar dan rencanaku selanjutnya adalah mendapatkan bukti. Tapi, bukti apa yang akan kugunakan sedangkan aku hanya seorang anak kecil. Bisa-bisa kalau aku membuat kesalahan, ibuku akan mengurungku seharian di rumah. Namun kecemasanku beringsut hilang saat aku melihat handphone ibu tergeletak di atas meja. 

“Ini akan menjadi bukti paling kuat,” ucapku sambil tersenyum. 

Bermodalkan handphone dan itupun punya ibu serta sedikit keberanian, aku berjalan mengendap-endap untuk bisa masuk ke dalam rumah si nenek tua. Kali ini aku tidak lagi mengintip dari jendela depan melainkan dari jendela belakang karena aku yakin bahwa nenek tua si penghisap darah itu pasti tidak akan mengotori rumahnya dengan darah- darah hewan itu melainkan di bagian belakang rumahnya yang mungkin saja ia tidak akan peduli meskipun akan kotor.

Benar saja, saat aku mulai masuk dari belakang dan mengintip dari jendela, aku melihat lantai belakang rumahnya adalah tanah dengan bercak-bercak merah yang terlihat menggumpal di tanah yang kuyakini adalah darah hewan. Pemandangan itu sangat mengejutkanku. Aku segera merogoh saku celanaku ingin mengambil handphone namun gerakan tanganku terhenti saat aku merasakan ada tangan yang menyentuh pundakku.

Dengan lirikan mata aku berusaha melihat tangan itu. Tangan keriput dan kuku panjang membuat kakiku semakin gemetar. Ditengah gemetarnya kakiku, aku tetap berusaha membalikkan badan untuk melihat siapa yang menyentuh pundakku. Saat aku berbalik “Aaaaa” teriakanku berhasil menghilangkan gemetar kakiku hingga aku bisa berlari sekencang mungkin menuju rumah dan “Duarrr” aku langsung membanting pintu dan menguncinya.

Ketakutanku belum hilang karena tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang membuat kakiku kembali gemetar. Masih terasa sentuhan si nenek tua itu di pundakku, serta rambut putih dan warna merah dimulutnya itu benar-benar membuat jantungku semakin berdetak kencang. Aku mulai panik namun setelah beberapa saat dengan meletakkan tangan di wajahku sambil mengintip dari jendela, aku melihat ibu menenteng belanjaan yang akhirnya membuat aku lebih tenang. Pada awalnya aku mengira bahwa nenek tua itu mengejarku sampai rumah. 

“Jadi gitu ceritanya Kek” ucapku pada kakek yang datang berkunjung ke rumah kami. 

Aku rasa tidak ada salahnya jika aku cerita mengenai si nenek tua penghisap darah itu pada kakek. Mungkin kakek bisa membantuku karena teringat rencana terakhirku juga telah gagal. Selain itu, kakek juga adalah orang yang selalu percaya dengan semua ceritaku sejak kecil meskipun kata ibu cerita itu tidak masuk akal. 

“O, jadi cerita tentang si nenek tua penghisap darah itu dimulai dari saat pertama kali kau melihatnya menghisap darah ayam sampai emm.. sampai mana tadi, Cu?” tanya kakek. 

“Yah kakek. Nia udah cerita panjang-panjang eh kakek Cuma jawab O dan Nia baru aja selesai cerita, kakek juga udah lupa” jawabku dengan wajah cemberut. 

“Hahaha kakek bercanda. Ceritanya tadi sampai pundakmu dipegang dan kau berlari kesetanan ke rumahkan?” balas kakek dengan mulut masih menganga habis menertawaiku dan wajah cemberutku beringsut menjadi cerah sambil tertawa mengikuti suara tawa kakek. Kakek memang orang yang selalu berhasil membuatku tertawa. 

“Jadi gimana, Kek?” tanyaku dan menghentikan suara tertawa kakek yang gak akan berhenti kalau aku tidak segera mengajaknya berbicara karena kakek orangnya bisa tahan lama-lama tertawa yang dulu membuat aku sempat berfikiran “Apa tidak rusak nanti kantong tertawa kakek?” seperti yang pernah aku tonton di film Spongebob.

Tapi bukannya menjawab pertanyaanku, kakek malah kembali tertawa sambil berjalan ke dapur. Namun saat kakek keluar dari dapur, aku benar-benar ketakutan sekaligus sedih karena yang kulihat sekarang adalah kakekku juga seorang penghisap darah. Kakek terus mendekat padaku tapi aku tidak bisa bergerak bahkan untuk teriak saja lidahku sudah kelu. Namun apa yang terjadi? Saat semakin dekat, kakek malah semakin tertawa. 

Dasar Kakek! Disaat seperti ini ia masih bisa bercanda. 

“Hahaha Nia, Nia. Kamu itu benar-benar cucu kakek yang paling lucu dan soal khayalanmu yang tinggi itu, ibumu mungkin benar,” ucap kakek sambil geleng-geleng kepala. 

Rasa takutku belum sepenuhnya hilang, meskipun aku sempat berfikiran bahwa setidaknya kakek tidak akan menggigitku karena saat ini kakek sudah duduk dekat sekali di sampingku. Dengan mulut sudah berwarna merah dan komat-kamit karena mengunyah sesuatu, kakek sepertinya ingin mengatakan sesuatu. 

“Nia, yang kakek makan ini namanya sirih. Dalam budaya kita Mandailing, makan sirih dinamakan “marburangir” yang biasanya dilakukan pada saat acara pesta pernikahan karena dari marburangir nanti akan timbul warna merah akibat memakannya dan warna merah itu melambangkan kebahagiaan sesuai pada suasana pesta pernikahan. Nah, warna merah itu akibat dari sirih yang kita makan dengan campuran lainnya yaitu sontangc(sejenis pohon kayu), piningc(pinang) dan soda (kapur sirih). Jadi warna merah itu bukan darah dan menakutkan seperti yang kamu bayangkan ya, Nia,” jelas kakek panjang lebar padaku. 

“Tapi kan Kek, kenapa si nenek tua itu memakan sirih hari-hari?” 

“Selain dimakan pada acara pesta pernikahan, sebagian masyarakat juga Marburangir pada hari-hari biasa karena dipercaya dapat memperkuat gigi dan biasanya itu dilakukan orang-orang tua dahulu. Makanya gigi mereka tetap kuat meskipun sudah tua. Kalau anak zaman sekarang, apa namanya? zaman now ya? Gak bakalan mau yang namanya Marburangir. Buktinya, Nia aja baru tau sekarang kan? Hahahaha,” sindir kakek padaku.

Penulis: Fida Selfiana (Mahasiswa FMIPA UNRI)