Syafrudin akhirnya dinyatakan bebas dari terdakwa, setelah tiga bulan dalam tahanan terkait kasus Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Hal itu disampaikan pada sidang terakhir yang dilaksanakan Selasa (4/02).
Alasan pembebasan dari hakim, yaitu karena Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki bukti pencemaran dan kerusakan lingkungan dari pembakaran yang dilakukan. Syafrudin juga dianggap telah mengikuti nilai-nilai kearifan lokal.
Sebelum mulai membakar, Ia memastikan cuaca panas kemudian membuat galian mengelilingi lahan agar api tidak menyebar. Lahan yang dikelola Syafrudin hanya seluas 40 meter persegi, itupun tidak miliknya semua. Ada beberapa meter milik orang lain yang ia pakai sejak 1993.
Saat itu, Maret 2019 ia membakar sampah sisa panen tanaman palawijaya seperti ubi, pisang, kacang dan jagung yang ditanamnya. Ketika api terlihat sudah mulai padam, Ia pulang sebentar ke rumahnya untuk solat Zuhur. Ia terkejut saat kembali ke lokasi, ada sekitar lima orang warga sudah datang memadamkan api. Tak lama polisi tiba dan membawa Syafrudin.
Satu malam petani berusia 69 tahun itu diamankan polisi hingga akhirnya di kembalikan kerumah.
Tujuh bulan berlalu usai pembakaran, tepatnya Oktober Syafrudin kembali dipanggil dan ditahan. Kasusnya dipersidangkan.
Ia dituntut pasal 98 ayat (1) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup(PPLH).
Berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Bagi Andy Wijaya selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum(LBH) Pekanbaru—lembaga yang mendampingi kasus Syafrudin sejak awal, mengacu pada Undang-Undang PPLH nomor 69 Ayat 1 berbunyi: Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, harus memperhatikan luasnya, yaitu lahan dengan luas lebih dari dua hektar. Artinya, membuka lahan di bawah dua hektar masih diperbolehkan dengan membakar.
“Ini tentu sejalan dengan Syafrudin sebab lahannya hanya dua pancang.â€
Ia tambahkan bahwa dalam undang-undang ini tidak jelas antara membuka lahan yang dimaksud, karena Syafrudin membakar untuk membersihkan bukan untuk membuka.
Menurut Andy hukum di Pekanbaru terkesan cepat menangani masyarakat, namun lambat menjerat perusahaan.
“Ketika yang tersangka masyarakat prosesnya cepat, tapi kalau korporasi yang sudah jelas justru lambat bahkan sp3.â€
Dalam pantauan LBH melalui situs SIPP, sudah terdapat 51 kasus yang naik ke persidangan menjerat petani yang membakar lahan di bawah dua hektar.
“Ini menjadi ketimpangan bagi masyarakat dan korporasi untuk kasus karhutla.â€
Andy juga sampaikan, LBH hadir untuk menegakkan dan membela masyarakat dalam kasus hukum yang membakar lahan kurang dari dua hektar ini. “Selain itu juga untuk memberikan hak-hak tersangka, termasuk memiliki pengacara sehingga pembelaan tersampaikan.â€
Dalam kasus Syafrudin ini, LBH adakan Longmarch saat sidang terakhir. Turut diikuti Zetma Erna Wilis, istri Syafrudin yang langsung memeluk suaminya ketika resmi dinyatakan bebas. Ia sampaikan terimakasih atas dukungan dan doa dari banyak pihak.
Penulis: Reva Dina Asri
Editor: Ambar Alyanada