Southeast Asia Freedom of Expression Network atau disingkat SAFEnet luncurkan Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019. SAFEnet merupakan jaringan pembela hak digital di Asia Tenggara yang lahir pada 27 Juni 2013 di Bali. Kelahirannya tak lepas dari maraknya kriminalisasi terhadap pengguna internet, menyangkut ekspresi di dunia maya pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

Hal tersebutlah yang mendorong sejumlah blogger, jurnalis, pakar tata kelola Internet, dan aktivis untuk membentuk asosiasi ini. Pada 2018, SAFEnet mulai mengangkat isu advokasi pemenuhan hak digital. Sebelumnya, hanya terfokus pada advokasi kebebasan berekspresi di internet.

Ada tiga hak digital yang diperjuangkan SAFEnet. Pertama, hak akses informs yang menyangkut kebebasan untuk mengakses internet. Seperti ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan kendali penyedia layanan internet. Juga kesenjangan digital, kesetaraan akses antarjender, serta penyaringan dan pemblokiran.

Lalu ada hak untuk berespresi. Hak ini mencakup keragaman konten, kebebasan mengungkapkan pendapat dan penggunaan internet dalam mobilisasi masyarakat sipil. Terakhir, ada hak untuk merasa aman. Pengguna internet bebas dari pengawasan dan pemantauan massal tanpa dasar hukum, perlindungan privasi, serta aman dari serangan luar.

Damar juniarto, selaku Executive Director yang jadi penanggungjawab laporan tahunan ini sampaikan ringkasan laporan dengan judul Bangkitnya Otoritarian Digital. Tema yang diangkat adalah Bertahan di Tengah Pembungkaman. Laporan dapat diakses  di sini. SAFEnet menyusun laporannya berdasarkan tiga metode. Di antaranya laporan masuk langsung ke mereka, dari kepolisian dan pengadilan, serta berdasarkan pemantauan media.

Hak-hak digital dasar, kata Damar semakin terancam. Bukan karena masalah teknologi, tapi karena politik. Ia katakan, tindakan pemerintah memadamkan akses internet adalah cara mengendalikan pendapat dan tindakan warga. Beberapa kali Pemerintah Indonesia melakukan pemadaman internet secara sepihak.

“Langkah ini menjadi pola baru bagi pemerintah, yang sebelumnya sebatas memblokir situs atau aplikasi. Sama halnya seperti di Myanmar atau Spanyol.”

Ketimpangan penggunaan internet bukan saja karena geografi, tapi juga jender. SAFEnet mencatat sebanyak 72% laki-laki dewasa memiliki ponsel, sedangkan perempuan dewasa hanya 64%. Adapun pengguna ponsel yang mengakses internet juga dominan laki-laki dengan persentase sebesar 43% dan 36% perempuan.

Tantangan pemenuhan hak-hak digital, menurut SAFEnet berasal dari beberapa hal. Di antaranya diskriminasi yang timbul hanya karena mengemukakan pendapat dengan label mencermari nama baik (38%), penyebaran hoaks (20%), dan ujaran kebencian (12%). Kriminalisasi ini semakin memperjelas usaha pemerintah membungkam suara kritis. Selain itu, SAFEnet juga bekerja sama dengan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat kasus-kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KGBS). Kerja sama ini sudah dimulai sejak Juli 2019.

Begitupun dengan kekerasan digital terarah yang kata SAFEnet juga terjadi, terutama kepada pihak yang tidak setuju dengan pemerintah. Bentuk kekerasannya adalah peretasan akun Whatsapp pihak tertentu, membajaknya dengan mengirimkan pesan bahwa pemilik akun siap melakukan bom bunuh diri. Hal ini dilakukan untuk medelegitimasi pihak-pihak yang menolak revisi Undang-Undang KPK.

Hal ini dinilai SAFEnet semakin memperjelas pola pemerintah dalam mempraktikkan otoritarianisme digital dengan cara internet shutdown, cyber surveilence, dan online cencorship. SAFEnet sebagai organisasi regional berniat melawan balik kecenderungan pemerintah ke arah otoritarianisme, terutama sektor digital. Cara yang ditempuh seperti jalur hukum, literasi digital, serta konsolidasi dukungan dan gerakan.

Lalu Arnold Belau cerita soal  pemadaman internet secara sepihak oleh pemerintah. Ia juga merupakan jurnalis dari Suara Papua.

Menurut Arnold, kebijakan tersebut diambil pemerintah sepihak karena masyarakat Papua protes terhadap persekusi dan rasisme yang mereka alami. Ia juga sampaikan, kekesalan rakyat Papua yang terjadi pada 19 agustus 2019 itu cuma puncak dari gunung es atas kekesalan terhadap diskriminasi yang telah banyak mereka alami, terutama soal rasisme.

Sejak siang hari itu, Arnold sudah rasakan kecepatan internet yang melambat. Dua hari kemudian, pemerintah mengonfirmasi pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat.

“Justru banyak hoaks yang tetap menyebar via Short Message Service (SMS). Kondisi tersebut terus berlanjut hingga September.”

Ia akui pemadaman internet mempersulit jurnalis dalam mengonfirmasi berita. Akibatnya, berita tidak dapat diterbitkan. Mereka sesama jurnalis membentuk jejaring informasi berbasiskan SMS. Ia menduga ada kesengajaan negara dalam hal pengembangan infrastruktur. Harusnya, negara mampu mengembangkan kesetaraan fasilitas internet dengan sumber daya yang dimiliki.

Selanjutnya mengenai korban UU ITE. Saiful Mahdi ceritakan dua rektor dari Perguruan Tinggi di Aceh yang dibunuh pada september 1999.

“Dua rektor dari Perguruan Tinggi terbesar di Aceh saja dengan mudah dibunuh atau dihilangkan, pesannya adalah jelas bagi rakyat aceh agar tidak banyak mengkritisi,” tuturnya.

Kemampuan berpikir kritis dan independent, kata Saiful adalah kunci untuk tumbuhnya kretivitas dan inovasi bagi bangsa. Ia menyayangkan ketika cara berpikir kritis tidak dihargai, bahkan di dunia akademik.

“Kebebasan kampus dan kebebasan akademik itu milik dosen dan mahasiswa, bukan hanya untuk dosen,” lanjutnya.

Saiful pernah divonis bersalah karena menyuarakan kritik terhadap bukti determinisme Teknik yang rawan dikorupsi.

Ia juga kutip pernyataan Henri Subiakto yang berperan dalam revisi UU ITE. Sebuah pendapat bagaimanapun buruk dan menyakitkannya, tidak bisa dihukum karena pendapat adalah hak warga negara yang dijamin konstitusi, apalagi di lingkungan akademik.

Baiq Nuril juga bagikan ceritanya sebagai korban dari UU ITE. Ia mantan Staff Tata Usaha SMA 7 Mataram. Hal ini berangkat dari Kepala Sekolah tempat ia bekerja sering kali membicarakan hal tidak senonoh melalui telepon. Suatu kali, ia merekam percakapan tersebut. Ia tak menduga, salinan rekaman yang ia berikan kepada rekannya tersebar.

Merasa malu sebab aibnya tersebar, Kepala Sekolah menuntut Baiq Nuril ke pengadilan. Singkatnya, kasus ini menyadarkan masyarakat bahwa banyak wanita yang menjadi korban dan justru dinyatakan bersalah secara hukum. Air matanya sempat menetes di tegah diskusi, mengingat begitu banyak orang yang membantunya.

Perjuangan Baiq Nuril berbuah manis. Ia dapat amnesti pertengahan tahun lalu.

Andy Yentriyani dari Komnas Perempuan katakan bahwa apa yang dilaporkan SAFEnet merupakan konfirmasi atas berbagai kerentanan yang dihadapi perempuan, terutama di dunia maya. Namun, KGBS tidak hanya terjadi kepada perempuan, tetapi juga lelaki. Hal ini disebabkan oleh konstruksi sosial akan jender yang menempatkan perempuan dan laki-laki berbeda dari segi karakter, posisi dan peran berdasarkan keinginan dan cita-cita masyarakat. Hal ini mengakibatkan peran perempuan menjadi tidak proporsional.

“KGBS adalah perpanjangan dari dari kenyataan sehari-hari, bukan dua dunai yang berbeda jauh.”

Ia jelaskan, yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis jender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenang. Baik di ranah publik, maupun di dalam kehidupan pribadi.

Andy jelaskan kenapa perempuan rentan menjadi korban KGBS. Pertama adalah faktor kultural, yaitu konstruksi gender yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Selain itu, perempuan juga diobjektifikasi berdasarkan mata lelaki.

“Jika kultur ini tidak dikoreksi maka, tidak ada harapan kasus KGBS akan berkurang,” tegasnya.

Selain faktor kultural, ada faktor struktural. Di mana ada kerentanan yang terstruktur dalam platform, regulasi atau hukum, sehingga mempermudah tindak KGBS. Menurut Andy, negara harus mengambil peran dalam regulasi di platform online guna mengurangi KGBS. Bukan malah platform swasta yang menentukan sendiri.

Selain itu, banyak hukum yang mengatur dan cenderung multitafsir. Contohnya UU ITE yang memungkinkan terjadinya tindak KGBS. Ada juga faktor kapasitas teknis perempuan yang cenderung kurang dari lelaki.

“Adapun ruang perbaikan yang ingin dituju adalah dari segi aspek legislasi, implementasi, mekanisme yudisial, mekanisme non-yudisial dan langkah-langkah lainnya.”

Asep Setiawan, salah satu anggota Dewan Pers ikut berdiskusi virtual via Zoom Meeting dari London sore itu (13/11). Ia sampaikan, indeks kemerdekaan pers 2020 di indoesia adalah 75,27. Artinya, cukup bebas. Papua adalah provinsi dengan nilai paling rendah dalam Indeks Kemerdekaan Pers. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Arnold, menyangkut pemadaman internet yang telah terjadi.

Ia juga singgung adanya kreativitas ulak-ulik oleh aparat yang kemudian melihat ada celah persekusi terhadap jurnalis. Ada sekitar 400 kasus menyoal kebebasan pers yang ditangani Dewan Pers.

Doxing dan peretasan, menurut Asep adalah tantangan nyata bagi wartawan. Serangan tidak hanya bisa berasal dari pemerintah, tapi juga kelompok atau pribadi. Doxing adalah pembukaan jati diri wartawan dengan tujuan membungkam suara kritis, serta mengintimidasi. Selain itu, dominasi perusahaan digital Amerika Serikat juga mengkhawatirkan secara ekonomi.

Mohammad Choirul Anam menilai regulasi soal digital tidak ada yang sifatnya melindungi, hanya memberi batasan. Celakanya, pemaknaan batasannya tidak mempunyai standar yang jelas.

“Jika suatu organisasi mempromosikan gagasan ide, ya boleh-boleh saja. Namun, jika sampai melakukan penyerangan seperti doxing, itulah yang merupakan tren tidak baik,” jelasnya.

Beberapa tahun lalu, kata Anam stigma sesatlah yang mempersulit orang dalam mendapat keadilan, ketika ia menghadapi persoaalan hukum. Namun, makin ke sini, sentuhan kekuasaan jauh lebih berbahaya. Di mana hal ini seharusnya tidak boleh ada dalam konteks penegakan keadilan.

“Banyak masalah yang seharusnya diselesaikan secara perdata, bukan dengan pidana,” pungkasnya.

Reporter: M. Rizkillah

Editor: Annisa Febiola