Terhitung 12 hari proses pemeriksaan—penyelidikan dan penyidikan, kasus pelecehan oleh Syafri Harto berbuah hasil. Kabar penetapan tersangka pun sudah sampai ke telinga Pimpinan Universitas Riau (UNRI).

Sayangnya, Pimpinan UNRI belum jua ambil sikap usai Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Riau menetapkan Syafri Harto sebagai tersangka kasus.

Sujianto jelaskan, sekalipun Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu kini menyandang status tersangka, namun pimpinan belum berikan sikap tegas. Pasalnya, pimpinan menanti surat resmi dari Polda.

“Nah, keputusan rapat itu kami ya ikut aturan, hukum yang ada, kan. Cuman, kami belum terima surat penetapan SK [Surat Keputusan] itu.”

Kamis jelang waktu makan siang, rapat pimpinan digelar untuk membahas persoalan ini. “Kami mendengar dari media sosial kira-kira jam 10-an, langsung merespon, kami rapatkan,” ujar Sujianto, Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan kepada Bahana, seketika ke luar dari ruang rapat.

Sementara itu, Sunarto selaku Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Riau menyebutkan, surat penetapan nanti diserahkan kepada Syafri Harto. “Kepada tersangka,” ucapnya kepada Bahana, pukul 12 siang.

Menyangkut layangan surat resmi kepada pimpinan kampus, Sunarto katakan akan tanyakan terlebih dulu ke penyidik. “Nanti saya tanya ke penyidik.”

Jika surat sudah di tangan, tutur Sujianto, keputusan akan dibahas melalui rapat pimpinan. “Kami tentukan lewat rapat pimpinan.”

Kehadiran Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sejatinya menjadi angin segar bagi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Sejak diundangkannya peraturan tersebut pada September lalu, kampus harus memegang teguh sebagai pedoman. Berpatokan dengan aturan di dalamnya, pasal 14 mengatur rinci sanksi administratif bagi pelaku. Berjenjang pula. Ada ringan, sedang, hingga berat.

Sanksi administratif ringan berupa teguran tertulis, pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang harus dipublikasikan di internal dan di media massa. Lalu sanksi sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa mendapatkan hak jabatan, atau sanksi pengurangan hak bila berstatus mahasiswa.

Adapun sanksi berat meliputi pemberhentian tetap dari jabatan sebagai civitas academica kampus, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keputusan penjatuhan sanksi ditetapkan secara proporsional dan berkeadilan, berdasarkan rekomendasi dari satuan tugas atau satgas khusus pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Namun, UNRI belum punya satgas itu.

Ihwal sanksi administratif, seluruh harapan berlabuh pada pemangku kebijakan UNRI. Kini, harapan terdekat lagi-lagi adalah ketegasan. Seluruh kelembagaan se-lingkungan FISIP akan bahas itu dalam konsolidasi hari ini. Tepatnya pukul 13.30.

“Apakah hari ini memang tidak ada tindakan tegas juga, nanti melalui konsolidasi itu mungkin besok akan ada desakan ke rektor untuk benar-benar bertindak tegas,” jelas Agil Fadlan Mabruri—Ketua Divisi Advokasi Korps Mahasiswa Hubungan Internasional.

Penulis: Annisa Febiola

Editor: Firlia Nouratama