Jantung Hati Masyarakat Riau, begitulah Universitas Riau (UNRI) menyebut perannya di tengah pembangunan peradaban masyarakat Riau. Namun, apa yang terjadi baru-baru ini seolah “menampar” kita semua untuk sejenak sadar bahwa “jantung” dan “hati” itu sedang “sekarat” dalam kondisi “tidak aman”.

Mengapa demikian? Ruang-ruang kampus yang seyogyanya menjadi saluran dari ritme kerja “jantung” itu disumbat oleh perilaku kekerasan seksual serta “hati” sebagai mata petunjuk kemanusiaan tidak mampu menyingkirkan para pelaku kekerasan seksual dari kehidupan civitas academica UNRI.

Siapa yang harus bertanggung jawab atas kondisi “jantung” dan “hati” yang sekarat ini? Penting untuk dicatat bahwa kasus kekerasan seksual ini telah berada pada tahap kronis yang kerap berulang kali terjadi di lingkungan UNRI.

Kita semua serempak menyatakan “menolak lupa” sebab perilaku kekerasan seksual yang dipertontonkan selama ini telah melukai harkat dan martabat kita sebagai manusia. Terlebih, label kawula intelektual yang disematkan kepada kita semua sebagai upaya menjaga dan merawat akal dan moralitas publik, tanpa enggan harus diinjak-injak “atas nama baik kampus”.

Siapa yang bertanggung jawab? Mari kita ulas balik kasus kekerasan seksual yang terjadi baru-baru ini sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.

Dosen yang sekaligus Dekan FISIP Universitas Riau yang berinisial SH telah ditetapkan sebagai tersangka atas perbuatan cabul terhadap seorang mahasiswi bimbingannya. Penetapan status tersangka oleh pihak kepolisian dimaknai secara hukum bahwa SH patut diduga telah melakukan kekerasan seksual.

Secara administrasi kepegawaian SH, telah dilakukan pemeriksaan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh atasannya yaitu Rektor UNRI dalam rangka menegakkan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Namun, ada hal yang janggal secara etik dan hukum atas sikap Rektor UNRI yang tidak membebaskan sementara SH dari tugas dan jabatannya sebagai dosen dan dekan. Sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil atau PP 94/2021.

Berdasarkan Pasal 31 ayat PP 94/2021, rektor sebagai atasan langsung SH seharusnya dapat membebaskan sementara SH dari tugas jabatannya sejak dimulainya pemeriksaan oleh TPF. Akan tetapi, sampai hari ini rektor sebagai pimpinan tertinggi di UNRI tidak melakukan pembebasan sementara tugas jabatan SH dengan dalih bahwa SH sebagai tersangka kasus pencabulan tidak ditetapkan sebagai tahanan oleh pihak kepolisian.

Secara normatif yuridis, dalih rektor tersebut sempit dan pincang karena hanya merujuk pada satu sisi norma yang mengatur tentang pemberhentian sementara atas status PNS dari SH. Tepatnya dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PP Manajemen PNS).

Hal yang juga penting untuk diketahui bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara pembebasan sementara dari tugas dan jabatannya sebagai pegawai dengan pemberhentian sementara atas status kepegawaiannya. Dalih rektor ini amat disayangkan dan menimbulkan banyak kecurigaan.

Jika memang rektor memiliki komitmen kuat terhadap penghapusan kekerasan seksual di lingkungan UNRI, rektor secara yuridis normatif juga memiliki landasan hukum yang kuat untuk melakukan pembebasan sementara SH dari tugas dan jabatan sebagai dosen dan dekan melalui instrumen Pasal 31 PP 94/2021.

Sikap rektor ini membuat publik jengkel sekaligus geram akibat tidak dibebaskannya SH dari tugas jabatannya sebagai dosen dan dekan. Belum lagi kondisi traumatis publik yang belum pulih, serta turunnya kepercayaan publik terhadap ruang aman di kampus disikapi dingin oleh rektor.

Tidakkah Rektor mengerti bahwa kasus kekerasan seksual merupakan suatu bentuk perbuatan yang sensitif bagi publik luas. Atau, ada apa di antara rektor dan SH, sehingga tidak mau mengambil sikap untuk membebaskannya dari tugas dan jabatan. Kita menanti jawabannya!

Sikap rektor yang demikian bukanlah sikap yang arif, malah akan terus memperburuk nama UNRI dalam percakapan publik dan bahkan opini publik dapat secara liar bertumbuh mengarah pada pertanyaan: Apakah rektor melindungi terduga pelaku kekerasan seksual?

Oleh karena itu, sikap bijaksana yang seharusnya ditampilkan oleh rektor adalah membebaskan sementara SH dari tugas jabatannya. Setidaknya, sikap rektor menjadi alamat bagi semua bahwa pemulihan kembali demi terciptanya ruang-ruang kampus yang aman dari perilaku dan pelaku kekerasan seksual.

Penulis: Indra L. Siregar (Mahasiswa Fakultas Hukum 2015)


*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com.