Gedung biru bertuliskan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau (UNRI) ramai dipadati mahasiswa sejak pukul 4 sore. Hari itu, BEM ajak seluruh kelembagaan dan mahasiswa UNRI untuk konsolidasi, Rabu (24/11). Lambannya keputusan kampus untuk menonaktifkan Syafri Harto–tersangka pelecehan seksual, membuat geram mahasiswa.
Sandi Purwanto, Menteri Hukum dan Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa memimpin jalannya forum diskusi.
Sikap tersangka yang kooperatif terhadap panggilan dari Kepolisian Daerah Riau atau Polda Riau jadi alasan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu belum ditahan. Hal ini dikatakan oleh Kaharuddin selaku Presiden Mahasiswa BEM UNRI.
Lanjut Kahar, alasan tersebut membuat Rektor UNRI tidak berani untuk menonaktifkannya. Sebabnya, jika Rektor Aras Mulyadi ambil langkah untuk menonaktifkan Syafri Harto, akan ada landasan lain yang membuat tersangka melaporkan balik Sang Rektor.
Kahar juga jelaskan alasan UNRI belum bisa melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Katanya, UNRI belum punya Satuan Petugas PPKS, sehingga itu jadi persoalan.
Selain itu, ia singgung Tim Pencari Fakta yang digagas pimpinan kampus 5 November lalu tidak sesuai dengan unsur yang diberikan kementerian. Seharusnya, ucap Kahar, di dalam Tim Pencari Fakta atau TPF ada perempuan dua pertiganya. Pun juga melibatkan mahasiswa. Parahnya, investigasi yang diperoleh TPF tidak boleh disebarluaskan. Ia curiga bahwa ada hal yang ditutupi.
“Atau TPF hanya sekedar obat penenang,†pungkas Kahar.
20 menit diskusi, BEM UNRI peroleh info. Ada surat dari Kemendikbud-Ristek untuk Rektor UNRI. Isinya berupa perintah agar Kampus Biru Langit ini membentuk Satgas PPKS, sesuai Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Surat ini dibuat di tanggal 22 November.
Langkah Audiensi atau AksiÂ
Adu argumen untuk langkah yang akan dilakukan selanjutnya terjadi. Ada dua opsi, audiensi atau aksi.
Thasya Nurfadillah selaku Menteri Sosial Politik menentang pilihan aksi. Alasannya karena hanya akan berujung sia-sia. “Jika dilihat dari aksi sebelumnya, tidak ada hasil. Tidak banyak peserta aksi yang paham dan mengikuti kasus ini.â€
Muhammad Rafi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ikut bersuara.
Menurutnya, mahasiswa tidak perlu tergesa-gesa untuk melakukan aksi. Baik ke Polda maupun rektorat. Solusinya dengan mengumpulkan Polda, rektorat, serta aliansi mahasiswa UNRI dalam satu ruangan. Tujuannya untuk bersama-sama membicarakan kasus ini.
“Aksi dengan tangan kosong, tidak akan ada hasilnya,†ujar Rafi.
Menanggapi pernyataan Rafi, Muhammad Abdul Yazid selaku Gubernur Mahasiswa FISIP sampaikan pendapatnya. Menurut Rafi, audiensi dan propaganda ke Polda memang diperlukan. Hal ini bertujuan untuk mendesak Polda agar menahan tersangka.
Ia ajak mundur kembali saat konferensi pers yang diadakan di Rektorat UNRI 23 November lalu. Wakil Rektor II Sujianto sebutkan seluruh administrasi yang bersangkutan dengan tersangka telah dialihkan kepada petugas yang sudah ditunjuk. Serta diberikan kewenangan terhadap petugas itu. Namun, kata Yazid, hingga kini, Wakil Dekan I FISIP Belli Nasution masih menyerahkan penandatangan skripsi kepada tersangka.
Oleh karena itu, Yazid dan mewakili mahasiswa di FISIP ajak forum melangsungkan audiensi ke Polda. Harapannya agar Rektor dapat membuat keputusan yang tegas. Yaitu membebastugaskan tersangka dari kedudukannya sebagai Dekan.
Pembebastugasan ini sejalan dengan Pasal 31 Ayat 1 PP NO 34 tahun 2021. Tak hanya itu, Yazid juga beranggapan audiensi ke Polda untuk mendesak agar tersangka ditahan ini juga sesuai dengan norma yuridis yang berlaku. Tepatnya yang tertuang dalam Pasal 21 KUHAP ayat 1.
Berkaca dari UU tersebut, Yazid bilang tidak menutup kemungkinan pelaku kekerasan seksual untuk mengulang kesalahannya. Selain itu, ia juga khawatir apabila semakin lama tersangka ditahan, maka akan banyak ditemukan manuver yang nantinya akan menyudutkan penyintas. Seperti dituding melakukan prostitusi online oleh kuasa hukum tersangka.
Dalam konsolidasi yang berjalan sampai tengah malam itu, dihasilkan dua kesepakatan. Pertama, melakukan audiansi ke Polda Riau. Kemudian audiensi ke kementerian. Jika tidak puas dengan hasilnya, maka mereka akan membuat pernyataan sikap.
Surat ke Polda akan dikirim keesokan harinya. Jawabannya akan mereka tunggu paling lama Senin, 29 November. Surat ke kementerian juga di waktu yang bersamaan.
“Kita tunggu hasil dari kedua ini, kalau tidak ada atau tidak sesuai, maka akan konsolidasi lagi untuk melaksanakan aksi massa. Entah itu ke rektorat atau ke Polda†Tutup Sandi.
Penulis: Sakinah Aidah, Defna Friska
Editor: Andi Yulia Rahma