“Berkas penyelidikan yang dilimpahkan penyidik ke Kejaksaan Tinggi masih p-18,” terang Rian Sibarani lewat pesan WhatsApp (11/12). Ia adalah kuasa hukum Bintang—bukan nama sebenarnya—korban kekerasan seksual oleh Syafri Harto Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (UNRI).

Istilah P-18 mengisyaratkan kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana. Artinya, hasil penyelidikan belum lengkap. Oleh sebab itu, kejaksaan minta penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Riau untuk segera melengkapi. Pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi disebut P-19.

“Iya dikembalikan untuk dilengkapi [P-19],” jawab Marvelius pada hari yang sama melalui pesan WhatsApp. Ia Kepala Seksi Penerangan Hukum atau Kasi Penkum dan Humas Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.

Serupa dengan Rian dan Marvelius, Kombes Sunarto selaku Kepala Bidang Humas Polda Riau pun membenarkan. “Ya, saat ini penyidik sedang melengkapi berkas,” jawabnya.

Sehari sebelumnya, tepat 10 Desember, tiga papan bunga mengisi ruang kosong di depan pagar Gedung Satya Adhi Wicaksana Kejati Riau. Bertuliskan pesan kepada kejaksaan untuk menuntaskan kasus yang menimpa Bintang.

Bunga demi bunga dirangkai jadi sepucuk kalimat harapan. Pengirimnya Tim Say No To Sexual Harassment, Komunitas Peduli Perempuan, dan Penggiat Anti Kekerasan Seksual

“Bapak/Ibu Jaksa bantu kami untuk menuntut keadilan.”

“Bapak/Ibu Jaksa, kami berharap padamu.”

“Bapak/Ibu Jaksa, selamatkan anak kami dari ancaman kekerasan seksual di kampus.”

Menarik waktu ke belakang, penyidik mengirim berkas perkara kasus ke Kejati untuk diproses oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) per tanggal 25 November.

Kabar pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan sampai ke Rian empat hari kemudian. Pihaknya menerima surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan atau disingkat SP2HP. Tertanda Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau, Teddy Ristiawan.

Surat itu beritahukan bahwa penyidik sudah memeriksa 14 saksi, 4 orang ahli, dan 1 orang tersangka. Selain itu, juga sudah kirimkan berkas perkara ke JPU.

Menurut Rian, proses hukum kasus ini cukup cepat. Pun bila dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman pendampingan hukum yang dilakukan lembaga tempatnya bekerja. “Ini terbilang cepat, sih, ya. Mungkin karena viral, juga atensi nasional,” ujarnya di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru (7/12).

Melalui laporan bernomor LP/B/906/XI/2021/SPKT/POLRESTA PEKANBARU/POLDA RIAU tertanggal 5 November, Syafri Harto disangkakan melakukan pelanggaran Pasal 289 dan 294 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 289 KUHP–buku kedua tentang kejahatan–Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Sementara Pasal 294 KUHP khusus mengatur soal pencabulan terhadap anak dan pencabulan di lingkungan kerja. Ayat 1 menyebutkan bahwa: Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara paling lama tujuh tahun.

Lanjut ke ayat 2 yang berbunyi Diancam dengan pidana yang sama:

  1. Pegawai negari yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan kepadanya untuk dijaga;
  2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, mandor (opzichter) pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara (landswerkinrichting), tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Hemat Rian, jaksa akan menentukan pasal mana yang dipakai untuk menuntut Syafri Harto. Bisa saja keduanya, jadi pasal berlapis atau justru alternatif. Dengan kata lain, memilih salah satu saja. Secara spesifik, Syafri Harto memang bisa dijerat Pasal 294.

“Karena dia berada di tempat pendidikan dan juga seorang tenaga pendidik dengan mahasiswanya,” jelas Rian.

Namun, tak menutup kemungkinan bahwa ia juga bisa dihukum dengan Pasal 289. “Dan sebenarnya 289 juga terpenuhi unsurnya, karena kan dia dilakukan dengan kekerasan. Kan ada penolakan dari korban,” lanjut Rian.

Penulis: Raudatul Adawiyah Nasution

Editor: Annisa Febiola