Usai putusan bebas dilayangkan Pengadilan Negeri Pekanbaru kepada Syafri Harto, kejanggalan proses persidangan kian terungkap. Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru dan Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau atau UNRI taja Diskusi publik dan eksaminasi public putusan bebas kasus kekerasan seksual di UNRI. 

Eksaminasi adalah pemeriksaan benar atau tidaknya suatu hal sesuai ketentuan yang berlaku.

Ellya syafriani selaku moderator memandu diskusi yang diadakan pukul 10 pagi, pada senin (6/6). Diskusi melalui platform Zoom Meeting ini hadirkan tiga orang ahli dibidangnya. Diantaranya Asfinawati, seorang perwakilan advokat sekaligus aktivis Hak Asasi Manusia. Kemudian ada Iva Kasuma, ahli dalam riset seksualitas dan perempuan. Serta Nur Hasyim seorang eksaminator berpengalaman dalam Women Crisis Center.

Asfinawati menilai, putusan hakim memuat bias gender dan diskriminasi terhadap perempuan, khususnya korban kekerasan seksual. Hakim menjadikan dirinya sebagai pembela terdakwa serta berusaha menghilangkan bukti-bukti yang mengarah kepada terdakwa. Hematnya, hakim mengabaikan hukum acara. Pun tidak percaya kesaksian yang diberikan korban, hakim juga menilai keterangan saksi ahli tak cukup kuat. 

Asfina jelaskan lewat pasal 185 ayat 2 kitab undang-undang hukum acara pidana atau KUHP. Berbunyi keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah. 

Jelas sekali keterangan ahli adalah alat bukti yang sah, tetapi diabaikan,” ujar Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 2017-2021 ini.

Iva kusuma turut menanggapi. Ia sampaikan banyak hal penting yang bisa menjadi pertimbangan diabaikan oleh hakim. Seperti aspek relasi kuasa. Ketika korban ingin bimbingan tugas akhir, terdakwa meminta korban mengirimkan foto dirinya.” Jelas saja tidak ada relevansi foto tersebut selama proses bimbingan, hakim tidak bertanya lebih dalam dan mengabaikan hal ini.” 

Tak hanya itu, hakim juga abaikan hasil psikologis korban. Yang menunjukkan adanya trauma dan berpengaruh pada fisik serta kehidupan sosial korban.

Selaras dengan Iva, eksaminator Nur Hasyim menambahkan. Hakim tak peduli keterangan yang diberikan saksi ahli psikologis terkait catatan kejiwaan korban. Hakim beralasan bukti sahih dan kebenaran tidak cukup kuat. Namun, hakim tak menjelaskan cara mengukur kuat atau tidaknya kebenaran itu.

Tambahnya, hakim memiliki makna kekerasan seksual yang sempit, hanya sebatas fisik dan materil. Sehingga perkataan seksual yang disampaikan terdakwa kepada korban seperti I love you diabaikan oleh hakim.

“Hakim tidak melihat mungkin pemaksaan secara fisik, merengkuh, menarik, dan seterusnya.” terangnya. 

Ada beberapa hal yang mudah diliha. Seperti paksaan, dominasi, kontrol jabatan antara terdakwa dan korban. Namun timpang kuasa ini juga tak menjadi pertimbangan pengadilan. 

Malangnya, hakim meragukan saksi korban sebab tak menyaksikan kejadian secara langsung. Tetapi menerima sanggahan terdakwa tak melakukan kekerasan seksual tersebut. 

“Mana ada maling ayam yang ngaku, sesederhana itu,” tutup Nur Hasyim. 

Penulis: Fitri Pilami

Editor: Febrina Wulandari