Jepri semalaman tak bisa tidur. Ia keluhkan dadanya sesak hingga muntah-muntah. Seharian ia banyak habiskan kegiatan di luar ruangan. Hari itu, Jumat pekan lalu, Indeks Standar Pencemaran Udara atau ISPU di Pekanbaru berada di level 450. Masuk kategori sangat berbahaya.
Sabtu pagi, Jepri diantar temannya pergi berobat menggunakan motor. Rumah Sakit UNRI jadi tujuan mereka. Sebelumnya, ia mendengar berita, UNRI memebaskan biaya pengobatan untuk korban bencana asap.
Niatnya hendak berobat justru berubah jadi kecewa. Sampai di RS, Jepri tak langsung bisa dilayani. Ia harus mendaftar dahulu. Syaratnya membawa kartu identitas serta salinannya. Syarat itu dianggap memperlambat layanan. Sebab RS UNRI tak menyediakan layanan foto kopi. Sehingga pasien harus keluar mencari tempat fotokopi.
“Padahal udah gak tahan lagi. Mau pingsan rasanya, sesak kali napasku,†keluh Jepri. Dongkol, mereka pergi begitu saja tanpa menyiapkan persyaratan yang diminta.
Mereka memutuskan pergi ke Puskesmas Simpang Baru di jalan Kamboja. Jepri langsung diberi pertolongan. Ia dipasangkan selang oksigen, petugas memeriksa tekanan darah. Tak lama kondisinya berangsur membaik.
Setelah itu barulah petugas meminta kartu identitas untuk melengkapi administrasi. Jepri berikan Surat Izin Mengemudi, sebab Kartu Tanda Penduduk miliknya belum jadi. Setelah itu, ia diberi resep obat. Lalu diambil di bagian farmasi. Kesemuanya tak dipungut biaya sepeser pun.
Namun, Jepri kadung kecewa dengan pelayanan RS UNRI. Ia membandingkan dengan pelayanan yang diberikan Puskesmas. Menurutnya RS UNRI masih jauh ketinggalan, soal pelayanan juga persyaratan adminstrasi yang masih manual.
“Udah revolusi 4.0 masih pakai kertas,†sindirnya.
Zulharman Direktur RS UNRI mengatakan, untuk pengurusan administrasi RS ada dua macam prosedur. Pertama untuk pasien yang penyakitnya tergolong ringan, harus menyelasaikan administrasi pendaftran. Setelah itu baru diberi perawatan.
Sedang untuk pasien yang tergolong keluhan parah, pasien langsung diberi penanganan. Syarat administrasinya menyusul.  “Ada standar mengenai pasien yang bisa langsung dirawat. kalau asap ini, seperti ia kena serangan asma, sesak napas berat. Tapi kalau batuk, pilek ringan itu administrasinya dilengkapi dulu,†kata Zulharman.
Menanggapi keluhan administrasi seperti yang dialami Jepri, Zulharman katakan RS akan menyiapkan pelayanan foto copy langsung oleh petugas. “Pelayanan kita buka 24 jam. Petugas nanti saya suruh langsung sediakan foto copy,†katanya.
Permasalahan tak sampai disitu. Cerita tak mengenakkan juga datang dari Anita, mahasiwa Ilmu Pemerintahan. Selasa lalu ia mendatangi RS UNRI. Sudah beberapa hari ia batuk-batuk. Napasnya juga terasa sesak. Mulanya ia mendatangi tempat pendaftaran di sisi kiri pintu masuk rumah sakit. Namun petugas mengarahkan Anita berobat ke Klinik RS UNRI. Letaknya tidak jauh, tak sampai 50 meter dari tempat pendaftaran.
Klinik RS UNRI menerima pasien korban bencana asap dari pagi sampai setengah lima sore. Lewat dari jam operasional pelayanan dipindahkan ke RS UNRI.
Anita merasa dioper-oper. Di klinik Anita disuruh kembali ke RS lagi. Sebab Klinik sudah mau tutup. “Padahal belum ada setengah lima. Masih kurang beberapa menit lagilah,†katanya.
Tak sampai disitu, setelah mendaftar pada petugas,  Anita juga belum dilayani. Padahal beberapa kali keluhkan napasnya yang mulai sesak. Ia justru diminta kembali lagi pukul tujuh malam. “Dokternya bilang, datang aja nanti jam 7 malam ya dek,†kata Anita menirukan perkataan petugas.
Nasib Anita juga dirasakan Yoga, mahasiswa fakultas teknik. Ia bersamaan dengan Anita saat antri menunggu pendaftaran. Namun, Yoga datang beberapa menit lebih awal. Ia sudah terdaftar sebagai calon pasien. Semua syarat pendaftaran telah dilengkapi.
“Dokternya ada. Kalau untuk pasien ISPA disuruh datang lagi nanti jam tujuh malam,†cerita Yoga.
Anita dan Yoga memilih tak kembali lagi. Mereka mencari tempat berobat di luar, ketimbang harus menunggu lagi.
Reporter: Dicky Pangindra
Penulis: Dicky Pangindra
Editor: Rizky Ramadhan