17 Tahun Aksi Kamisan, Mengapa Keadilan Selalu Terpinggirkan?

Hidup Korban!

Jangan Diam!

Lawan!

Teriakan itu terdengar di Tugu Perjuangan depan Gubernur Riau, menyatu dengan riuh lalu lintas kendaraan. Di balik payung hitam yang bermakna rasa duka, ada belasan orang mengenakan baju bernuansa hitam. Berkumpul untuk menyuarakan hak manusia dan kehidupan para korban melalui Aksi Kamisan Pekanbaru pada Kamis (18/1).

Meski hujan sempat menyapu langit dan menunda aksi selama satu jamtak menggoyahkan semangat. Pukul 5 sore, Aksi Kamisan Pekanbaru ke-74 tetap terlaksana.

Sudah 17 tahun aksi ini berlangsung, sejak 18 Januari 2007. Hari itu mereka kembali mereka berhimpun merefleksikan kasus HAM yang terjadi.

Melansir dari Tempo, Aksi Kamisan muncul sebagai bentuk protes para keluarga korban Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan pembunuhan aktivis Munir. Maria Katarina Sumarsih, Suciwati, Bedjo Untung tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan menjadi pencetus gerakan ini.

Dipandu oleh Wilton, Kamisan Pekanbaru ini dimulai dengan aksi diam selama 15 menit, diiringi spanduk bertuliskan “17 Tahun Aksi Kamisan: Orang Silih Berganti, Aksi Kamisan Tetap Berdiri“. Setelah aksi diam, Wilton mengajak peserta untuk berorasi.

Hilarius ujarkan dalam orasinya, menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab memulihkan para korban yang tak mendapati keadilan. Dan juga menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Ia ungkapkan kesedihan para korban, kekesalan atas sulitnya menegakkan keadilan, dan sampaikan ketidakberesan pemerintah memberi jera untuk para pelaku.

Erangan ini dilontarkan supaya masyarakat menyadari kalaulah keadilan telah terpinggir. Aksi Kamisan tetap menjadi suara bagi mereka yang tak dapat bersuara.

Pukul 6 sore orasi berakhir. Wilton mempersilahkan peserta untuk duduk melingkar dan berdiskusi mengenai keadilan HAM dan kebebasan.

Ezrin lebih dulu menyampaikan keluhannya dalam diskusi. Ia bilang kalau keadilan belum terwujud. Misalnya kasus pelecehan seksual di Kampus Biru Langit yang membuat korban dan pelaku sama-sama mengundurkan diri dari bangku perkuliahan.

Isu kebebasan di dunia kampus juga menjadi sorotan. Khariq mengungkapkan bahwa kebebasan di dunia kampus seringkali bentrok dengan ancaman dari para petinggi kampus. Misalnya, ancaman Drop Out (DO) yang didapatnya akibat tulisan yang menyinggung korporasi yang bermasalah.

“Merdeka belajar katanya, tapi tidak merdeka,” ucap Khariq, mahasiswa Universitas Riau tersebut.

Pendapat serupa diungkapkan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA), Gendi. Ia membagikan pengalaman tentang ancaman DO nya akibat mengeluhkan fasilitas kampus melalui Aksi Kamisan di UIN. Meskipun demikian, Gendi dan rekan-rekannya tak putus asa. Lewat aksi ini ia gigih suarakan isu di kampusnya. Buahkan hasil perbaikan fasilitas.

Eko yang juga peserta aksi menilai kalau pembungkaman yang terjadi adalah pelanggaran HAM. Menahan hak bicara untuk menyembunyikan ketimpangan.

Noval, anggota aksi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru turut  menambahkan kondisi Rempang terbaru saat ini.

Meskipun sempat meredup selama tiga bulan akibat kontestasi politik, bulan ini situasi Rempang mulai memanas kembali. Kontestasi politik ini pula yang aakan menentukan arah Proyek Strategi Nasional (PSN) di Indonesia ke depan.

Fakta ini memunculkan kekhawatiran bahwa jika salah satu pasangan calon yang berkuasa nantinya tetap melanjutkan PSN tanpa memperhatikan kondisi HAM dan lingkungan hidup, itu akan sangat memprihatinkan.

Pelanggaran HAM di berbagai daerah juga harus dicatat. Masuk di dalamnya kasus kematian gajah, ketidakadilan di Rempang, dan pembungkaman di kampus. Lalu UU ITE yang berdampak pembungkaman, pelecehan seksual, dan Omnibus Law.

Penulis: Kristina Natalia

Editor: Ellya Syafriani