Aksi Lilin dan Kelas Penerangan, Bentuk Keresahan Rakyat Pada Negara

Perwakilan sipil menaja Aksi Lilin dan Kelas Penerangan bertajuk Ketika Negara Kian Gelap, Kita Lawan dengan Cahaya dan Suara. Kegiatan berlangsung di Tugu Perjuangan Jalan Diponegoro pada Kamis, 4 September 2025.

Koordinator Lapangan, Pramudia Pangestu mengatakan aksi lilin sebagai peringatan untuk korban yang nyawanya terenggut oleh negara. Mereka juga menuntut pembebasan mahasiswa Universitas Riau (Unri) Khariq Anhar, Direktur Lokataru Delpedro Marhaen, dan Admin Gejayan Memanggil, Syahdan Husaen yang mengalami kriminalisasi.

Kegiatan ini tidak terafiliasi dengan lembaga apapun. Murni hasil buah pikir dari sebagian warga sipil untuk menghadirkan ruang suara. “Dari diskusi itulah melahirkan konsep dan pelaksanaan kegiatan ini,” jelasnya.

Pengamat Hukum, Zainul Akmal hadir sebagai pemateri Kelas Penerangan. Mereka membahas soal hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Rakyat yang mengalami penindasan termasuk ke dalam pelanggaran HAM. Entah itu dipukul, dibunuh, mau pun diculik oleh oknum aparat yang berkaitan dengan unsur negara. Seperti polisi, tentara, dan pemerintah. Mereka seharusnya hadir untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat. “Bukan malah menjajah, karena secara hukum mereka hadir untuk bertanggung jawab dalam memenuhi hak kita,” ucap Zainul.

Seorang warga sipil dengan nama panggung Biru, menampilkan drama teatrikal. Bersama boneka bernama Keru, dongeng itu menceritakan bagaimana situasi negara Indonesia saat ini. Pun alur tingkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memicu amarah tak terlupakan.

Keru memperagakan anggota DPR yang sewenang-wenang. Tampak seperti seorang yang mabuk kekuasaan. Ia dapat memanipulasi aturan-aturan yang ada. Jika Keru merasa tak puas, maka ia ingin negara menaikkan tunjangannya. Apabila anggaran tak memadai, maka pajak masyarakat dinaikkan. Kemudian berita tersebar kemana-mana. “Lalu turun ke jalanan memprotes kebijakan-kebijakan nyeleneh [aneh] dari parlemen,” lanjutnya.

Seorang pekerja kantoran, Sanju membaca tulisan yang ia buat untuk Affan Kurniawan. Ojek online yang tewas karena dilindas mobil rantis Brimob. Sanju merasa miris akan kematian pemuda itu. Terlebih ia dilindas dari kendaraan yang dibeli dari pajak masyarakat. “Aku mungkin tidak pernah bertemu dengannya. Namun, aku selalu bertemu dengan teman satu aspalnya,” ucap Sanju.

Pramudia pun turut ikut meramaikan aksi dengan membaca puisi karya Wiji Thukul. Seorang buruh yang mati karena memperjuangkan haknya. Wiji Thukul hilang dan hingga saat ini tidak diketahui status kematiannya. Imbas penanganan kasus tak dilakukan. “Hari ini 11 nyawa hilang dan terekam media. Ada yang sebelum wafat bergumam ‘jangan pukuli saya Pak’,” jelasnya.

Melalui aksi lilin ini Pramudia berharap pemerintah sadar dan mendengar segala bentuk keresahan masyarakat. Tambahnya, agar aksi lilin dapat menjadi suar semangat bersama masyarakat sipil untuk berani menyuarakan hak-hak nya. “Berpendapat adalah hak yang melekat pada setiap warga negara. Aksi lilin ini jangan sampai menjadi sampul saja, melainkan suar lanjutan untuk segala bentuk aksi di kota ini,” tutupnya.

Kegiatan berlanjut dengan para mahasiswa dan warga sipil yang menyampaikan aspirasi di mimbar bebas. Mereka berorasi, berpuisi, bernyanyi dan membacakan tulisan keresahan terhadap negara. Tak lupa gaung lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki hadir membersamai kegiatan. Sekitar 150 orang hadir dalam kegiatan. 

Pewarta: Romaida Mutiara
Penyunting: Amelia Rahmadani