Dugaan kasus korupsi timpa mantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertahanan Nasional (Kanwil BPN), M. Syahrir. Bertotal 21,1 miliar jadi perkiraan jumlah uang yang diterimanya dari 15 perusahaan sawit. Yang berlokasi di Riau dan Maluku Utara. Sebelum bertugas di Riau, Syahrir sempat dinas di Kanwil BPN Maluku Utara.
Koordinator Umum Senarai, Jeffri Sianturi bilang kasus ini bagian dari pengembangan kasus suap PT Adimulia Agrolestari, September 2021 silam. Oleh Menajer PT Adimulia Agrolestari, Sudarso suap Bupati Kuansing, Andi Putra berjumlah 500 juta. Penyuapan ini guna mempermudah Hak Guna Usaha atau HGU.
Pada sidang sebelumnya, hakim tuntut Syahrir penjara 7 tahun 6 bulan. Periksa 94 saksi yang di dalamnya termasuk pegawai dari Maluku Utara, Riau, dan pihak perusahaan. Keluarganya pun tak lepas dari pemeriksaan selama proses sidang.
Tuntutan tersebut tuai desakan supaya Syahrir dapati hukuman penjara 20 tahun dan perampasan seluruh asetnya. Di samping itu, ada keinginan supaya para hakim tetapkan tersangka pada perusahaan yang memberi uang pada Syahrir.
“Karena memang di persidangan mereka terbukti memberikan uang kepada Syahrir,” tegas Jeffri.
Tambah Jeffri, mestinya ada komitmen dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertahanan Nasional (ATR/ BPN) dalam berantas mafia perizinan. Sebab diduga korupsi perizinan terjadi dari Kantor Pertanahan hingga Kantor Wilayah BPN provinsi.
Selanjutnya koordinator Jaringan Kerja Lingkungan Hidup Riau (Jikalahari) Made Ali. Ungkapnya, sebagian besar kejahatan korupsi dilakukan oleh korporasi. Alasannya karena perusahaan-perusahaan tersebut dapat dengan leluasa menyuap BPN.
Pertama, pihak korporasi menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang duduki kursi di BPN tempat perusahaan mereka beroperasi. Kemudian, mereka juga mengangkat konsultan informal perusahaan dari BPN.
“Seluruh orang BPN sudah mereka pelihara,” tutur Made.
Selain itu, lebih dari setengah wilayah Riau telah dikuasai korporasi. Namun hanya 138 perusahaan sawit yang memiliki HGU, selebihnya ilegal.
Kemudahan perusahaan-perusahaan tersebut menyuap BPN juga tidak lepas dari dukungan perbankan dan pemerintahan.
Made katakan, perbankan menutup mata terhadap kejahatan perusahaan saat memberikan pinjaman dana. Di samping itu pemerintah juga mendukung kejahatan yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan tersebut.
Lalu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Boy Even Sembiring. Ia paparkan mengenai HGU di Riau yang tidak dominan sama sekali.
Meskipun dalam pelaksanaan operasionalnya perusahaan punya kewajiban untuk perizinan usaha dan hak asasi atas tanah, namun faktanya, tapa kedua hal itupun perusahaan dibiarkan melakukan aktivitas illegalnya.
Menurut Boy ini dikarenakan pemerintah juga mendukung kejahatan yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan tersebut.
“Pemerintah bukan mitra strategis untuk mengadvokasi kasus ini,” ujar Boy.
Tidak hanya kasus Syahrir. Muhammad Ridwan dari Gerakan Lawan Mafia Tanah (Gelamata) sampaikan cukup banyak temuan advokasi terkait pertanahan di Riau.
Tuturnya, kasus pertanahan di Riau telah ada sejak 2007 lalu dan hingga kini tidak kunjung berakhir. Kasus baru pun juga terus bermunculan seiring waktu.
“Kita tahu ini mengerikan, maka melawanlah,” ujar Ridwan.
Hari itu, Rabu (30/8), Senarai bersama Jikalahari, Walhi Riau, dan Gelamata langsungkan diskusi. Bertajuk Hukum Syahrir 20 Tahun Penjara Serta Rampas Semua Aset.
Penulis: Fani Oktafiona
Editor: Ellya Syafriani