Beberapa mahasiswa menggelar diskusi di Sekretariat Bahana Mahasiswa, Kamis (31/10). Diskusi ini mengambil isu pembatasan jam malam di Universitas Riau (Unri). Berdasarkan Surat Edaran (SE) Nomor 10 Tahun 2023 oleh Rektor Unri Sri Indarti, mengenai aktivitas malam hari dan pembatasan akses masuk.
Pembatasan ini menyulitkan mahasiswa yang memiliki kegiatan pada malam hari, seperti praktik atau pengkaderan. Salah satunya Mahasiswa Ilmu Komputer Muhammad Zaki Febrian, dia merasa jam malam kampus membatasi ruang diskusi.
Baca juga: Peraturan Jam Malam di Unri: Tekan Perudungan dan Pelecehan
“Setelah kami usut ada beberapa permasalahan, permasalahan terbesarnya tidak ada ruang-ruang diskusi akar rumput,” keluhnya.
Zaki mengatakan, tak bisa melakukan diskusi antar mahasiswa pada siang hari. Sebab biasanya mahasiswa praktikum bahkan saat pagi dan sore di akhir pekan.
“Jika dibuat pada malam hari, kami dibatasi dengan adanya jam malam,” pungkasnya.
Selain kesulitan diskusi, kata Zaki, pengkaderan juga terhambat. Beberapa fakultas punya budaya melangsungkan pengkaderan saat malam tiba, seperti Fakultas Perikanan. Budaya ini juga ada di beberapa jurusan di Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA).
Saat jarum jam menunjuk pukul enam sore, mahasiswa sekitar fakultas sudah terusir oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Hal ini sebab ketentuan jam malam tersebut. Dengan alasan tersebut, Zaki pinta untuk mengkaji ulang kebijakan jam malam.
Senada dengan Zaki, Mahasiswa Matematika Caca mendukung jika pembatasan jam malam dihapus. “Alasan adanya jam malam adalah untuk menekan kekerasan seksual, sedangkan pada dasarnya kasus kekerasan seksual yang kami tangani [banyak] terjadi pada siang hari,” ujar Caca.
Menurut Caca, jam malam hanya membatasi waktu mahasiswa di Kampus. Terlebih mahasiswa yang aktif berorganisasi dan membatasi ruang mahasiswa untuk bersuara.
Mahasiswa Agroteknologi Khariq Anhar mengacu kepada surat edaran pembatasan jam malam. Menurutnya tak seharusnya aturan ini melangkaui hukum seperti UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan berekspresi.
“Surat edaran adalah hukum semu. Hukum semu itu tergantung mau ditegakkan di mana atau sama siapa yang mau menegakkan,” jelasnya.
Selain itu Mahasiswa Kimia Rafi mengeluhkan pembatasan jam malam. “Ini membatasi kritis mahasiswa apalagi mindset mahasiswa sekarang fokus aja belajar,” ujarnya.
Menurut Rafi jam malam dapat mempengaruhi mahasiswa sebagai pengaruh di masyarakat. Sejalan dengannya, Mahasiswa Pecinta Alam Einstein Mapalindup Ceria Club (KPA EMC²) FMIPA Ali merasa pembatasan ini mematikan kreativitas mahasiswa.
“Yang harus kita lakukan sekarang ini, menggaet petinggi-petinggi kelembagaan terutama BEM [Badan Eksekutif Mahasiswa] sendiri,” katanya.
Mahasiswa Agroteknologi Afrila Yobi menyatakan kebingungannya. Sebab tak paham dengan komitmen antara dua belah pihak, antara mahasiswa dan pejabat kampus.
“Pejabat kampus mengatakan ada jam malam tapi di FISIP [Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik] beberapa boleh. Berarti itu kan karet banget,” ujarnya.
Mahasiswa Jurusan Matematika Muhammad Fajar mengatakan ia setuju dengan pembatasan jam malam. Menurutnya lebih baik dengan memberi batasan jam.
“kebanyakan kawan di Matematika itu selesai pada jam lima lewat 40 menit, artinya tak ada celah atau waktu berorganisasi saat selesai perkuliahan,” jelasnya.
Penulis: Wahyu Prayuda
Editor: Najha Nabilla