Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mendampingi Khariq Anhar setelah ditangkap Polda Metro Jaya pada Jumat, 29 Agustus 2025. SAFEnet bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pekanbaru dalam penanganan Khariq.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyyin mengatakan timpa teks sering digunakan untuk satir dan lucu-lucuan. Akun yang dikelola Khariq, @aliansimahasiswapenggugat menggunakan timpa teks guna kritik pernyataan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.
Khariq terjerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tepatnya pasal 32 dan pasal 35.
Menurut catatan Tim SAFEnet, UU ITE pasal 32 ayat 1 dan 2 memang sering digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi. Padahal jika untuk kepentingan publik, tak dapat dikriminalisasi.
Sedangkan pasal 35 berbunyi; Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, perusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Pada akhir ayat terdapat frasa “..dianggap seolah-olah data yang otentik”. Kata Hafizh, unggahan itu terlihat jelas editan tanpa ada unsur manipulasi. Pun keterangan postingan menjelaskan demikian. Jadi tak ada alasan bagi polisi untuk menganggap unggahan sebagai upaya manipulasi seolah berita otentik.
“Itu ditimpa, bukan yang diedit pakai Photoshop atau AI [Artificial Intelligence] sampai orang ga bisa bedain,” ungkapnya. Menurut Hafizh itu bukan pelanggaran hukum.
Ia mengatakan polisi hanya mengada-ngada. Mereka sengaja menangkap Khariq. Apalagi mahasiswa Universitas Riau itu memang terkenal vokal mengkritik kelompok penguasa.
Kebebasan berekspresi dijamin dalam pelbagai instrumen hak asasi manusia internasional. Seperti Covenant International menjamin hak-hak sipil dan politik telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Sementara dalam konstitusi negara UUD 1945 pasal 28 juga menjamin kemerdekaan berbicara dan berpendapat. Begitu pula pada UU HAM Nomor 39 tahun 1999.
“Jadi secara normatif sudah ada berbagai pengakuan gitu ya dari negara untuk kemudian menghormati hak kebebasan berekspresi warganya,” tambah Hafizh.
UU ITE Jadi Alat Pembungkam
Di Indonesia, UU ITE sering kali jadi alat pembungkam kebebasan berekspresi. Banyak pasal pembatasan dalam berpendapat yang bisa dimaknai bermacam-macam atau multitafsir.
Menurutnya pemerintah harus merevisi UU ITE, terutama pada pasal yang bermasalah. Modus penggunaan pasal 32 dan 35 semakin banyak, mesti jadi perhatian bersama.
Berbicara kebebasan berekspresi di dunia siber, Hafizh menyampaikan berekspresi itu bebas selama pesannya tidak merugikan orang lain secara langsung. Misal, menipu yang mengakibatkan rugi material.
Kerangka internasional pun melarang ekspresi dalam bentuk hasutan untuk kekerasan, kebencian, diskriminasi, atau permusuhan terhadap kelompok tertentu. Perlu penekanan ‘identitas tertentu’, seperti agama dan ras. Bukan kepada negara atau institusi publik.
Juga perlu dilakukan fact checking (pemeriksaan fakta) untuk memastikan kebenaran informasi. “Silakan beropini, tapi tuduhan kepada orang lain perlu diperiksa kebenarannya sebelum disebarluaskan,” ucapnya.
Menurut standar internasional, pencemaran nama baik memang tidak bisa dipidana. Hanya saja bisa dihukum secara perdata bila menimbulkan kerugian material.
Saat ini SAFEnet bersama koalisi sedang menyusun strategi untuk pembebasan Khariq dan tersangka lainnya. “Karena penangkapan ini bukan cuma Khariqnya aja, tapi juga aktivis lain yang lantang di media sosial,” tutup Hafizh.
Pewarta: Sakina Wirda Tuljannah
Penyunting: Najha Nabilla

