Walhi Riau Gelar PDLH VII, Bahas Transisi Energi dan Rangkaian Dosa Perusahaan HTI

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Riau menggelar Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) VII. Kegiatan terbagi menjadi dua sesi, Seminar Publik Riau dalam Transisi Energi untuk Keadilan Iklim dan Pelestarian Ekosistem dan Peluncuran Laporan Penelitian Ada Noda di Bajumu: Rangkaian Dosa Ekologis Perusahaan HTI di Tanah Riau. Acara berlangsung di Fox Harris Hotel, Jalan Riau pada Kamis, 24 Oktober 2025.

Penjabat Sementara Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Ahlul Fadli memberikan kata sambutan. Mereka menaja kegiatan ini sebagai bentuk pertanggungjawaban dan laporan kinerja Walhi selama empat tahun ke belakang. Juga menjadi langkah awal untuk pergantian kepemimpinan yang baru.

Ahlul mengatakan Walhi hadir sebagai lembaga yang memantau pemerintahan dan berkontribusi pada pengembangan masyarakat. “Mereka [masyarakat] harus dilindungi dari tindakan kriminalisasi,” ujarnya.

Ia menjelaskan PDLH kali ini membahas transisi energi dan tindak kriminalitas perusahaan Hutan Tanaman Industri atau HTI di Riau. Spesifiknya bahas kehadiran Perseroan Terbatas Bara Prima Pratama (PT BPP) di Desa Batu Ampar dan PT Sumatera Riang Lestari (SRL) di Pulau Rupat. “Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan lahan gambut, isu agraria, dan deforestasi,” ucap Ahlul.

Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Boy Jerry Even Sembiring berharap seminar ini dapat menjadi wadah diskusi yang melibatkan masyarakat adat. Terkhusus dalam mengambil keputusan dalam transisi energi. “Transisi energi bukan hanya mengalihkan komoditi, tapi juga bicara transisi yang adil. Transisi yang melibatkan persetujuan masyarakat adat,” ujarnya.

Banyak Perusahaan Nakal yang Kantongi AMDAL Tanpa Ada Mufakat dengan Masyarakat

Suryadi dari Lembaga Advokasi dan Lingkungan Hidup hadir sebagai narasumber. Ia menjelaskan dampak buruk aktivitas tambang batubara. Dapat mencemari lingkungan sebab mengandung bahan toksik seperti arsenik dan merkuri. Pun jika limbah tidak dikelola dengan baik dapat berdampak pada kesehatan pekerja dan masyarakat.

Suryadi menceritakan temuan yang timnya dapatkan ketika turun ke Desa Batu Ampar, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir. PT BPP jadi salah satu perusahaan yang mencemari Sungai Reteh.

Sejak awal Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang dikantongi PT BPP sudah cacat aturan. Mereka membuang limbah ke sungai. “Izin yang dikeluarkan oleh Bupati Indragiri Hilir sudah tidak sesuai dengan perundangan,” jelas Suryadi.

Guna aktivitas tambang, PT BPP juga melakukan kegiatan blasting atau peledakan yang kerap menuai kecaman dari masyarakat lokal. Getarannya menyebabkan dinding-dinding rumah, sekolah, dan mushola jadi retak.

Selepas penambangan juga tidak ada reklamasi lahan. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025.

Lembaga Swadaya Masyarakat dan warga sekitar sudah menggugat PT BPP. Namun kasus ini tidak pernah ditanggapi serius karena minimnya hakim-hakim yang paham soal lingkungan. “Kita masih miskin dalam analisis lingkungan utamanya di peradilan. Bahkan bisa dikatakan di Riau hakim-hakim yang bersertifikat lingkungan mungkin tidak ada,” keluh Suryadi.

Selanjutnya bahas Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) atau Free Prior and Informed Consent (FPIC) di setiap pembangunan perusahaan di wilayah pemukiman masyarakat. “Jadi ada informasi yang disampaikan, bahwa akan ada pembangunan perusahaan dan masyarakat yang terdampak harus dikumpulkan,” ucapnya.

Banyak perusahaan nakal yang tiba-tiba mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) padahal belum ada komunikasi dengan masyarakat lokal. Suryadi menegaskan masyarakat harus tahu seluk beluk dan rencana operasional perusahaan yang akan berdiri di wilayah mereka.

Di Balik Industri Fashion: Ada Hak Masyarakat yang Disisihkan

Kegiatan berlanjut pada peluncuran laporan penelitian Ada Noda di Bajumu dengan topik bahasan Rangkaian Dosa Ekologis Perusahaan HTI di Tanah Riau. Manajer Pengembangan Program dan Kajian Walhi Riau sekaligus moderator, Umi Ma’rufah menjelaskan filosofi Ada Noda di Bajumu sebagai sebuah peringatan.

Proses pembuatan baju sering kali mencemari lingkungan, menyebabkan kerusakan ekologis, dan melanggar Hak Asasi Manusia dalam pengerjaannya. Makna “noda” ditujukan kepada praktik licik yang dilakukan perusahaan. “Kita berharap brand-brand [merek] besar tidak lagi menyuplai bahan bakunya dari sumber-sumber yang tidak mematuhi ketentuan untuk melindungi lingkungan hidup dan hutan,” ujar Umi.

Banyak merek ternama yang melabeli viskose sebagai bahan ramah lingkungan sebab berasal dari pohon. Namun ternyata ada eksploitasi buruh dan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak langsung terhadap masyarakat lokal.

Salah satu perusahaan yang terlibat adalah PT SRL. Walhi Riau sempat melaporkan yang bersangkutan ke Kementerian Kehutanan pada Agustus lalu. Namun mereka merespons dengan keluhan adanya efisiensi anggaran. Hingga saat ini belum ada laporan terbaru.

Tantangan utama dalam pengerjaan laporan penelitian adalah data. Ia turut jelaskan hasil dari laporan ini akan digunakan untuk menyurati merek-merek ternama seperti Uniqlo, H&M, Adidas, dan lain sebagainya. “Kami berupaya untuk mengkonfirmasi, mempertanyakan apakah brand tersebut terlibat langsung atau mendapatkan bahan bakunya dari perusahaan ini,” jelasnya.

Pewarta: Mutiara Ananda Rizqi
Penyunting: Fitriana Anggraini