Kasus kekerasan seksual bak fenomena gunung es. Laporan yang diterima hanya satu. Namun, sesungguhnya di dasar laut banyak yang tidak berani bersuara. Hal tersebut dikatakan Ketua Pusat Studi Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning (Unilak) Fajarwaty Kusumawardhani pada Sabtu (12/3).

“Kalau ditanya Unilak ada atau tidak kekerasan seksual, saya juga tidak tahu,” kata Fajar pada diskusi Realita Kekerasan Seksual di Kampus, Apa Kata Akademisi Riau? di Rumah Rakyat Wahana Lingkungan Riau. 

Ia ceritakan kalau di Unilak tidak ada satuan tugas kekerasan seksual. Walakin, kata Fajar, ada Badan Hukum dan Etika atau BHE sebagai wadah antisipasi. Lanjutnya, jika ada mahasiswa yang terkena kasus seperti kekerasan seksual silakan lapor ke BHE. Fajar bilang pasti akan di bela sepanjang dia benar. 

Ia juga ceritakan kalau perempuan bisa saja pernah mengalami kekerasan seksual. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, danTeknologi Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi. Seperti catcalling.

Fajar menyayangkan sikap banyak orang yang meremehkan hal tersebut. “Alah gitu doang marah,” tirunya pada para oknum. 

Selain itu, ketimpangan gender juga menjadi persoalan yang lumrah bagi masyarakat. Budaya patriarki yang kuat seolah-olah membelenggu korban. Masyarakat pun, kata Fajar, ikut serta membenarkan. 

“Alat seksual manusia yang paling sensitif itu bukan alat kelamin tapi otak. Ketika otak sudah mengarah kesana yaudah. Istilahnya otak reptil,” tangkas Fajar.

Yusnarida Eka Nizmi juga hadir dalam diskusi. Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau ini paparkan materi Membangun Nalar dan Empati terhadap Kekerasan Seksual atau KS. 

Ketika bicara tentang KS, ada dua hal yang terkadang diabaikan. Yaitu nalar dan empati. Ia bilang tidak semua bentuk kekerasan meninggalkan sesuatu yang terlihat. 

“Mungkin tidak ada tempelan cap jari di pipi anda, mungkin tidak ada memar biru di kulit anda, mungkin tidak ada sulutan api rokok di kaki atau tangan anda. Tetapi ia meninggalkan trauma yang sangat dalam seumur hidup anda. Dan itulah KS,”

Ia berikan makna KS. Adalah segala tindakan ketika seseorang merasa dilecehkan dan terintimidasi. Juga tersinggung dan terancam. Menurutnya, KS tidak harus diperkosa dulu. Ia juga tegaskan kalau kekerasan seksual bukan hanya milik perempuan. Laki-laki juga rentan mengalaminya. Hematnya, KS tidak memandang jenis kelamin. 

Lebih dari itu, ia ingatkan jika tidak ada laporan, belum tentu tidak terjadi. “Bila tidak viral, belum tentu kampus anda aman,” sambungnya. 

Terakhir, Nizmi tekankan bagi seluruh civitas akademika untuk peduli pada KS. Ia ajak untuk saling rangkul menindaklanjuti kasus yang terjadi di UNRI. 

Sementara itu, ada Mustiqo Wati Ummul Fithiyyah dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Suska Riau  ramaikan diskusi. Ia jelaskan perbedaan antara kekerasan seksual dengan pelecehan. 

Ia mengacu pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Ayat 1 Pasal 1 Bab 1. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik atau non fisik mengarah pada tubuh. Kemudian hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang.

Hal tersebut sebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Akibat ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Sedangkan pelecehan seksual, kata Mustiqo, merupakan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. Timbulkan rasa tidak nyaman dan merasa direndahkan martabatnya. Hingga muncul masalah kesehatan dan keselamatan. Sama halnya dengan Fajar, hal serupa juga disebutkan Mustiqo. 

“Suit suit misalkan. Assalamualaikum cantik, selamat pagi cantik atau assalamualikum ukhti itu catcalling kalau ada tendensi untuk melecehkan, tendensi mengganggu perempuan,” terangnya. 

Dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial ini bongkar data dari Komisi Nasional perempuan. Fakta itu buktikan ada 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan. 

Ia akui kekerasan seksual susah dibuktikan. Harus ada bukti dan saksi. Pasalnya, kejadian seperti itu tidak harus ada yang menyaksikan. Maka, katanya, sulit sekali mencapai indikator harus ada yang melihat. Alhasil mayoritas berakhir tanpa penyelesaian. 

Sebagai penutup Mustiqo sampaikan bahwa pelecehan seksual adalah bentuk kemafsadatan. Maksudnya, kerusakan atau akibat buruk yang menimpa seseorang (kelompok) karena perbuatan atau tindakan pelanggaran hukum. Katanya, hal itu harus dihilangkan. Sebab Mustiqo bilang tuhan ciptakan manusia untuk wujudkan kemaslahatan di muka bumi.

Selanjutnya ada Yanwar Arif selaku dosen Psikologi Universitas Islam Riau. Berbicara mengenai kekerasan seksual, akui Yanwar, berbicara hal mendasar pada manusia. Pasalnya ini adalah kejahatan pertama dalam sejarah karena dorongan seksual. 

Ia paparkan hasrat seksual yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Seperti sisi kepribadian, kesempatan, dan sistem. 

Diskusi ini buah dari kolaborasi oleh Forum Pers Mahasiswa Riau. Ada empat lembaga pers mahasiswa yang terlibat. Pertama Bahana Mahasiswa dari Universitas Riau. Kemudian ada Media Mahasiswa AKLaMASI dan Gagasan dari UIN Suska Riau. Terakhir Visi dari Universitas Lancang Kuning. 

Penulis: Sasgia Handayani, Karunia Putri

Editor: Andi Yulia Rahma