Gedung dua lantai jalan Kopan itu masih sepi. Lima menit kemudian Sapaat datang menenteng tas berisi proyektor dan memegang buku. Sesaat menyusul Zulfa Hendri, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau, dengan dua orang pengurusnya Topan Erlando dan Suyeni. Sapaat mulai menghidupkan air conditoner namun akhirnya meminta bantuan pada penjaga gedung di bawah, karena baterai remote control habis.
Topan Erlando dan Suyeni merapikan meja bundar yang digunakan untuk rapat. Zulfa Hendri menurunkan tirai bambu penutup jendela. Proyektor sudah dinyalakan Sapaat. Semua yang hadir duduk.
Ini gedung Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau atau FKPMR. Tempat ini sering jadi lokasi pertemuan aktivis mahasiswa, budayawan, akademisi. Mereka membahas Melayu, Riau, pendidikan, perekonomian, kekayaan alam. Keinginan Riau untuk merdeka juga dibahas di sini.
Minggu pukul setengah dua siang, Pekanbaru baru saja diguyur hujan. Di gedung FKPMR akan diadakan pertemuan. “Ini sudah pertemuan yang ke lima,†kata Sapaat. Sapaat jadi penanggung jawab dari tiap pertemuan yang dilaksanakan. Kediaman UU Hamidy tokoh Melayu Riau dan Fauzi Kadir juga pernah jadi tempat diskusi.
Sembari menunggu undangan lain datang, Sapaat menjelaskan hasil pertemuan yang sudah dilakukan. Banyak masukan yang disampaikan pada tiap pertemuan. “Inti dari semua itu untuk melaksanakan Kongres Rakyat Riau tiga,†terang Sapaat. Usai menerangkan hasil pertemuan yang telah lalu, Al Azhar, Ketua Lembaga Adat Melayu Riau datang, dan mengambil posisi duduk samping layar proyektor.
Pekanbaru pernah jadi tempat pelaksanaan Kongres Rakyat Riau satu dan dua. Soal ketertindasan, ketertinggalan, diskriminasi menjadi soal utama yang mengawali terjadinya Kongres Rakyat Riau. Setelah Riau bergabung dengan Republik Indonesia, bumi lancang kuning bersama dengan Jambi masuk dalam wilayah Propinsi Sumtera Tengah. Pusat pemerintahan Propinsi kala itu berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Hery Suryadi, mantan Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau menulis dalam bukunya Gerakan Riau Merdeka, semasa menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Tengah, Riau hanya memiliki 4 Sekolah Mengah Pertama Negeri dan 1 Swasta. Berbanding jauh dari Sumatera Barat yang memiliki 21 Sekolah Menengah Pertama Negeri, 30 Swasta ditambah 5 Swasta yang disubsidi.
Dari sumber kekayaan alam Riau menyumbang hasil hutan, balak, kayu, gergajian, teki, nibung, nipah, rotan, bengkawan, arang dan kayu api. Semua bersumber dari Bengkalis, Indragiri dan Tanjung Pinang. Dari hasil eksploitasi minyak dan gas, Sebanga, Duri dan Kubu memberi sumbangan ini. Hasil kekayaan ini tidak dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Riau, mulai dari pembangunan sampai pendidikan.
Masyarakat Riau protes, ingin pisah dari Propinsi Sumatera Tengah dan membentuk propinsi sendiri. Wilayahnya meliputi Kampar, Bengkalis, Indragiri dan Kepulauan Riau. Pada 31 Januari 1956 dilaksanakan Kongres Rakyat Riau 1, dan 1 Juli 1957 lewat sidang kabinet Riau dan Jambi disetujui jadi Propinsi melalui Undang-undang Darurat nomor 19 tahun 1957. Barulah ditetapkan Riau jadi Propinsi pada 1958 melalui Undang-undang nomor 61.
Tokoh penghubung kala itu ada Wan Ghalib yang berhubungan dengan Mentri Dalam Negeri, Marifat Mardjani berhubungan lewat Parlemen dan DM Yanur tokoh PNI gunakan pendekatan lewat tokoh partai lain.
Pemerintahan Soekarno digantikan oleh Pemerintahan Soeharto. Pemerintahan ini disebut peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Riau tetap dirasakan miskin oleh masyarakatnya karena tidak menikmati hasil kekayaan alam sendiri. Misal, tenaga kerja di Chevron yang dulu bernama Caltex Pasific Indonesia tidak diserap dari putra daerah sendiri. Al Azhar mengenang ini, dia menyaksikan siswa tamatan Sekolah Menengah Atas dari Yogyakarta justru yang direkrut dijadikan sopir pick up untuk memonitor pipa minyak.
Intervensi pusat terhadap daerah juga terjdi. Dalam pemilihan Gubernur Riau, orang-orang Soeharto dengan kata lain dari kalangan Militer selalu yang jadi pemenang. Dan ini tidak Putra daerah. “Saleh Djasit itu karena dia Militer bisa menang,†kata Al Azhar.
Aktivis mahasiswa, budayawan, akademisi dan tokoh masyarakat mulai bereaksi. Pertemuan-pertemuan mulai dilakukan. Putra daerah yang sedang studi di luar juga buat diskusi menyikapi kondisi Riau. Aksi protes dan demonstrasi sampai era pemerintahan Gusdur terus dilakukan. Sampai terjadinya Kongres Rakyat Riau II.
Kongres ini melahirkan pro dan kontra dikalangan penggerak. Munculnya berbagai opsi yang buat tidak seidenya pergerakan di Riau. Kongres Rakyat Riau dua menawarkan tiga opsi, Riau diberikan Otonomi Luas, opsi ini disampaikan oleh kelompok Pasir Putih, tokohnya Tenas Efendy. Syarwan Hamid dari kelompok lain menawarkan opsi federal, sementara dari kelompok pemuda menawarkan opsi Merdeka, tokohnya Al Azhar. Opsi Riau merdeka menang pada Kongres.
Namun esok paginya Al Azhar melihat kota Pekanbaru sunyi senyap. “Orang-orang seperti tiarap.†Al Azhar berkeliling dengan sepeda motor dan terheran-heran, dalam hatinya, ke mana orang-orang yang bersuara pada kongres?
Opsi Riau merdeka ternyata tidak diterima sepenuhnya, terutama dari kaum tua yang telah mempersiapkan kongres. Wan Ghalib Ketua Badan Pekerja Kongres tidak mengakui opsi Riau merdeka kala itu.
Usaha pergerakan Riau merdeka terus dilakukan. Sampai Tabrani, Presiden Riau merdeka menginisiasi sebuah pertemuan dengan tiga daerah yang juga sedang bergejolak untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Pertemuan dibuat di hotel Syahid sekarang hotel Ratu Mayang Garden. Hadir, Nazarudin dari utusan Gerakan Aceh Merdeka dan satu orang utusan dari Papua. Pertemuan ini membuat kesepakatan bersama untuk saling membantu dalam pergerakan kemerdekaan.
Namun Tabrani berkata lain di hadapan reporter SCTV yang kala itu sedang meliput. Di loby hotel Tabrani mengumumkan dirinya sebagai Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan menyerahkan jabatan Presiden Riau merdeka pada Al Azhar. Pernyataan ini disampaikan Tabrani saat di dalam ruangan sedang membahas kesepakatan bersama tiga daerah tadi.
Sejak itu pergerakan kemerdekaan di Riau tidak berarti apa-apa. Muchid Albintani dalam kumpulan tulisannya di Riau Pos menyebutkan, Riau merdeka seperti negara icak-icak dan cek kosong. Hingga sekarang, Riau merdeka hanya didengungkan sesekali pada saat aktivis mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Seperti aksi memprotes asap di Riau yang lalu, aksi protes eksploitasi minyak, aksi merebut kembali blok kampar. Bahkan saat menutup diskusi di FKPMR sore itu, Sapaat mengatakan, sudah lima kali pertemuan, kita belum dapat gambaran mau di bawa ke mana Riau ini?#Suryadi