Peringatan! Tulisan ini dapat memicu pengalaman traumatis. Apabila Anda dalam keadaan tak siap, kami sarankan untuk tak lanjut membaca.

“Benar kamu Kana?” sebuah pesan mendarat di akun Instagram Kana.

“Iya, benar,” ia menjawab pesan itu.

“Ada seseorang yang menyalahgunakan fotomu di aplikasi Twitter, cek di akun ini,” lagi-lagi pesan baru sampai di gawainya.

Kana—bukan nama sebenarnya—ungkapkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh teman sesama jurusan. Air matanya mengucur ketika bercerita kejadian itu kepada kru Bahana Mahasiwa, 30 September lalu.

Kronologi bermula di penghujung Maret lalu. Sepucuk pesan masuk dari akun bernama Eka Putra Lestaluhu ke Instagram pribadi Kana. Kala itu jarum jam sudah sampai di pertengahan malam. Kana tak mengetahui siapa orang di balik akun itu.

Kana pernah minta bantuan pada salah seorang seniornya di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas untuk cari tahu pelaku. Sayang, mereka tak dapat menemukan. Kana pun minta tolong seniornya mencari akun Twitter yang dimaksud. Ia tak punya akun pribadi. Hanya ada 8 akun yang mengikutinya.

Kana terkesiap ketika melihat fotonya ada dalam unggahan akun tersebut. Foto miliknya sudah diubah dari foto asli. Pemilik akun juga menuliskan kalimat yang mengarah pada ajakan berbau sensual. Tambah pula dengan tagar cabul seperti #k*nt*lin; #pejuhin; #crotin; #cocktribute; dan #cumtribute.

Jempolnya menggulir beranda akun itu hingga ke bawah. Hanya ada 5 kicauan yang tampak. Ada satu kicauan yang berasal dari akun lain yang telah ditwit kembali oleh pelaku dan ia sukai. Kicauan itu berupa video yang menampilkan foto Kana yang disandingkan dengan dua foto kelamin laki-laki. Seluruh konten akun itu mengandung unsur pornografi.

Esok harinya, Kana baru mengetahui perihal ini. “Aku ga tahu apakah foto aku disebar pelaku atau diambil dari postingan pelaku. Bagaimanapun, ia turut menyebarkan fotoku,” ucap Kana.

Kana ingat bahwa foto yang diunggah pelaku itu dijepret saat ada helatan acara di jurusannya awal tahun 2019. Ketika itu, ia tak berpose sendiri, melainkan bersama panitia lainnya. Namun, pelaku memotong dan hanya menyisakan wajah Kana.

Setelah mengingat-ingat kembali, ia baru sadar bahwa salah satu foto yang diunggah pelaku hanya dimiliki oleh Kana sendiri dan seorang teman. Dialah RA, teman laki-laki satu jurusan. Namun, ia tak mau menduga-duga sendiri.

Kana Menyusun strategi untuk buktikan kecurigaannya terhadap RA. Ia mengajak RA makan bersama, awal April. RA yang tak tahu bahwa pertemuan itu bukan dengan Kana saja, ia langsung mengiyakan ajakan tersebut. Sebenarnya, Kana juga mengajak kakak, abang, dan seniornya untuk menyusul.

Selama pertemuan itu, Kana berpura-pura curhat soal penyalahgunaan fotonya di akun Twitter. Awalnya, RA mengaku tak tahu siapa dalang kejahatan ini. Ia bahkan mengutarakan rasa prihatin atas kejadian yang menimpa temannya itu.

Tak berselang lama, kakak Kana bergegas datangi keduanya. Tanpa basa-basi, ia tanyakan kebenaran pelaku.

“Iya, saya pelakunya, Bu,” aku RA.

Mendengar jawaban itu, sekonyong-konyong tangis Kana pecah. Bagai tak merasa bersalah, RA seakan tak menyesali perbuatan bejatnya itu. Permintaan maaf pun belum terlontar saat ia akui perbuatan itu. Hingga akhir perbincangan, barulah kalimat itu ia ucapkan.

RA mengaku, ia kerap berpikir “kotor” tengah malam. Pikiran itu selalu saja ke arah sensual.

Kana tak terima hanya dengan mendengar permintaan maaf itu. Ia minta pelaku menghapus foto-fotonya. Kana berlatar belakang pendidikan di sekolah agama. Hal itu membuatnya jarang membagikan foto pribadi di media sosial.

Sontak Kana terkejut, ia melihat puluhan foto serupa di gawai pelaku. Pelaku mengumpulkannya dalam sebuah folder berkas. “Totalnya delapan orang. Sementara RA hanya mengakui Kana saja,” lanjut Kana menjelaskan.

Muara pertemuan siang itu, RA diminta menandatangani surat perjanjian untuk tak mengulangi hal serupa. Jika kedapatan melanggar, maka ia harus terima apabila kasus itu dibawa ke ranah hukum ataupun ancaman drop out dari kampus.

“Kana trauma, sempat ke konseling. Kana juga tak ada salah dengan pelaku,” ucap Kana dengan suara bergetar ketika dihubungi via panggilan video.

Keakraban Kana dan RA bermula saat pelaku mengaku suka kepada salah seorang teman Kana. Bahkan, baju Kana sempat dipinjam oleh RA. Persis baju yang dikenakan dalam foto.

Bukan Kasus yang Pertama

Sebelum kasus Kana mencuat, Maya—teman dekat Kana sudah lebih dahulu jadi korban RA.  Kru Bahana menemui Maya, 26 September. Ia menyibak kasus pelecehan yang ia dan temannya alami. Sejak awal bercerita, Maya sudah meneteskan air mata. Tangannya gemetar, kalimat yang keluar dari mulutnya terbata-bata.

Imbasnya, ia tak bisa lagi tidur nyenyak. Perkuliahan jadi berantakan, termasuk kehilangan keberanian untuk mengaktifkan kamera saat belajar daring. “Aku gak akan sanggup untuk ketemu pelaku di kampus, gak siap” kata Maya.

Sampai kini, Maya rutin jalani konseling dengan tenaga profesional. Ia mengaku sempat ingin melukai diri. Musababnya, ia kepikiran, tak tahu pasti ke mana saja RA menyebarkan fotonya.

“Mestinya, ia dikeluarkan dari kampus,” tegas Maya.

Tak hanya Maya, ada juga nama lain. Sebut saja Prita. Mendengar namanya masuk dalam delapan penyintas, Prita lantas naik pitam. Tanpa syak wasangka, RA tega berbuat demikian. Padahal, Prita pernah jadi juru setir mobil untuk RA.

Tak tinggal diam, Prita datangi RA di kampus pada akhir September. Ia mengajak dua teman yang sama-sama jadi korban. Timbul pertanyaan dari ketua himpunan mahasiswa jurusan yang melihat RA dipanggil. Ia minta Prita untuk berbicara baik-baik.

Sudah terdesak, RA akui unggahan foto-foto korban yang disebarnya lewat beragam aplikasi. Mulai dari Twitter, Instagram, hingga Picsart. Pengakuan RA, ia punya lima akun berbeda di aplikasi Twitter.

Bahkan, ia mengaku masih mengunggah foto-foto korbannya di tahun 2021, setelah Kana. Motifnya sama, ia kerap berpikir sensual. Dengan foto teman perempuannya, RA melampiaskan hasrat itu. “Dia ngaku ada 13 korban, tiga di antaranya junior kampus,” buka Prita.

Pembicaraan masih berlangsung, hingga pukul setengah enam sore. Ketua himpunan pun minta mereka selesaikan ihwal itu di tempat lain. Pasalnya, lingkungan jurusan mereka memberlakukan batasan jam berkegiatan. Istilahnya jam malam. Prita mengajak pindah ke depan indekos RA dan mengambil gawainya sebagai jaminan.

Menghapus foto saja tak lantas membuat hati Prita lega. Melalui gawai RA, Prita mengadu ke abang RA perihal kelakuan adiknya. Tak lama, abangnya datang dan minta Prita tak melanjutkan. Pihak keluarga berjanji akan menasihati RA. Persetujuan belum terlontar dari mulut Prita, abang dan adik ini justru berpaling dan masuk.

Pelaku Menjabat Ketua Divisi Kerohanian

Persoalan belum tuntas. Empat bulan usai kasus pelecehan terhadap Kana terungkap, nama RA justru masuk dalam kepengurusan himpunan mahasiswa jurusan. Ia sebagai Ketua Divisi Kerohanian. Sementara, para senior dan ketua himpunan sudah tahu perilaku RA terhadap Kana dan korban lainnya.

Pemberian jabatan Ketua Divisi Kerohanian dinilai tak sesuai dengan kelakuan dan moral RA. Pasalnya, divisi ini identik dengan kegiatan keagamaan. Beberapa korban mengaku kecewa, sebab himpunan tak ambil sikap tegas atas kelakuan bejat RA. Sialnya, hingga kini RA masih menjabat sebagai pengurus.

Kru BM mencoba mengontak RA, berniat wawancara. Namun, ia menolak dengan dalih sedang dalam proses pengobatan. “Saya memang salah dan saya sudah minta solusi kaprodi [ketua program studi],” tuturnya melalui pesan WhatsApp.

Kaprodi berikan solusi kepada RA agar berobat dan buat surat perjanjian. Hasil pertemuan antara RA dan kaprodi tak diketahui oleh Maya dan korban lainnya. Kebanyakan korban belum siap bertemu dengan pelaku dalam satu ruangan.

Perkara ini kemudian dibawa konsultasi ke Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pekanbaru. Rian Adelima Sibarani—pengacara LBH Pekanbaru—berpendapat, RA harus dikeluarkan dari kampus. Menurutnya, tindakan RA bisa disebut sebagai predator seksual. Foto-foto itu ia dapat selama proses perkuliahan daring dan rapat himpunan. Dengan membiarkan ia tetap berkuliah seperti biasa, hanya akan membuat mental korban jadi terganggu.

“Tak mudah bagi penyintas untuk bertemu kembali dengan pelaku,” tandas Rian.

Ia berikan rekomendasi kepada pemangku kebijakan Universitas Riau untuk mencabut hak mahasiswa RA. Selain itu, kampus tak boleh mempertemukan pelaku dengan korban dalam satu mediasi, selama proses peradilan berlangsung. Tambah Rian, pun akan sangat berbahaya jika RA lulus sebagai sarjana pendidikan dan menjadi guru.

“Kondisi psikologis si korban pasti diintervensi untuk memaafkan,” tambah Rian.

Belum lagi, jika kampus menutupi kasus agar tak menguap ke luar jurusan. Kata Rian, jika kampus tak berikan sanksi akademis, otomatis terkesan melindungi predator. Kampus dinilai tak mampu menciptakan lingkungan yang aman dari pelecehan dan kekerasan seksual.

Seluruh korban juga sepakat bahwa sanksi tak cukup hanya dengan surat perjanjian. Sebab, cara itu sudah dicoba Kana lima bulan sebelumnya. Rasa trauma dan ketakutan masih menghantuinya hingga kini.

“Jika kampus tak berikan sanksi akademis bagi pelaku, kami akan membawa ini ke jalur hukum,” tegas Maya menutup.

Reporter: Reva Dina Asri

Editor: Firlia Nouratama