Ishlahul Fikri dan Arsyad Alansyah resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau (FPK UNRI), menggantikan Muhammad Raihan dan Halim Yanuarizki. Pelantikan berlangsung di Ruangan Atlantik, Dekanat FPK pada Rabu (13/1).

Keduanya dinyatakan sebagai pemenang tunggal alias aklamasi, 30 November lalu. “Kan yang daftar cuma satu, ya aklamasi,” singkat Harun Roziqin Ketua PPRF.

Minimnya peserta yang mendaftar sudah terlihat sejak dibukanya tahap pendaftaran calon, 16 November lalu. Hingga penutupan, hanya satu pasang calon yang mengembalikan berkas persyaratan.

Panitia penyelenggara sosialisasikan tahapan Pemira pada rentang 10 hingga 15 November. Di awal tahapan ini, sosialisasi disampaikan lewat pertemuan virtual Google Meet. Selebihnya, nyaris tak ada sosialisasi kreatif yang dilakukan panitia. PPRF maupun Panitia Pengawas (Panwas) justru gencar memasang spanduk dan menyebar brosur. Sementara, keadaan kampus lengang akibat pandemi Covid-19.

Ishlahul dan Arsyad menghadirkan dua dinas baru dalam BEM FPK. Pertama, Dinas Akademik yang bertugas menunjang dan meningkatkan prestasi akademik mahasiswa. Lalu ada Dinas Kajian Strategis untuk membahas keahlian mahasiswa di bidang perikanan dan kelautan.

“Isu ini perlu dibahas, karena isu berkaitan dengan perikanan dan kelautan kurang diperhatikan, khususnya di UNRI.”

Begitu pula dengan mahasiswa FPK, terutama BEM, yang menurutnya kurang proaktif terhadap isu-isu di masyarakat. Baik di tingkat daerah, maupun nasional. Inilah yang menjadi alasan dibentuknya dinas tersebut

Bahtera Satya mereka pilih sebagai nama kabinet kerja. Sesuai dengan namanya, kabinet ini diharapkan bak kapal besar yang membawa harapan untuk mahasiswa FPK agar lebih baik.

Pelantikan turut dihadiri Sofyan Husein selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FPK. Ada pula Ayat Cahyadi Wakil Wali Kota Pekanbaru.

Dualisme Sistem Pemilihan ala BLM FPK

Proses pembahasan Peraturan Mahasiswa atau Perma Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pemira FPK membuat tegang urat kelembagaan. Pasalnya, Perma yang disahkan Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) FPK 12 Oktober lalu ini dinilai ugal-ugalan.

Nano Rizki Syahfutra—Wakil Bupati Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), menilai Perma tersebut bermasalah. Banyak pasal-pasal yang saling tumpang tindih.

Pasal 7 Perma berbunyi “Apabila dalam keadaan tertentu poin a dan b tidak tercapai, maka hak memilih dapat diwakili dari mahasiswa yang direkomendasi saat musyawarah”

“Mekanisme musyawarah keterwakilan dalam Pemira tidak bisa menjamin, apakah kelembagaan itu benar-benar merupakan representatif dari mahasiswa jurusannya,” kata Nano.

Baginya, Pemira musyawarah justru mencerminkan kepentingan oknum dan golongan tertentu saja. Lebih lanjut, Pemira yang dibahas belum memiliki kejelasan bagaimana akan dilangsungkan.

“Kami tidak memahami mekanisme musyawarahnya, tapi hanya tergambar kalau Pemira dilaksanakan secara musyawarah.”

Pembahasan musyawarah ini, kata Nano telah ada sejak periode Bupati sebelumnya. Ia jelaskan, Irpan Syahputra yang saat itu masih menjabat nyatakan ketidaksepakatannya pada Perma yang disusun BLM. Terutama pada poin Pemira secara musyawarah perwakilan. Irpan menyatakan penolakannya melalui Google Meet. Penolakan itu disampaikan setelah berdiskusi dengan mahasiswa angkatan 2015 hingga 2020.

Sepaham dengan Nano, Abdullah Furqon Wakil Bupati Himpunan Mahasiswa Akuakultur (Himakua) menilai Pemira tahun ini bak tak ada uji publik. Harusnya, BLM dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) bertanggung jawab sebagai fasilitator penyelenggaraan Pemira dan penyelenggara uji publik.

“Seharusnya mereka yang menyelenggarakan uji publik, bukan dilimpahkan kepada hima,” kata Furqon.

Idealnya, dalam pembentukan Perma harus dilakukan uji publik ke mahasiswa FPK. Kemudian baru disahkan oleh BLM melalui sidang pleno atau paripurna istimewa. Tapi faktanya, hanya disahkan oleh perwakilan kelembagaan.

“Tiba-tiba saja langsung sistem musyawarah. Jadi, apa gunanya Perma kalau hanya berdasarkan keputusan ketua kelembagaan,” tuturnya.

Tahapan sosialisasi juga kurang maksimal, menurut Furqon. Panitia hanya lakukan satu kali sosialisasi via Google Meet dalam lima hari rentang tahap sosisalisasi yang dirancang PPRF.

“Kalau namanya sosialisasi pers, komandan tingkat juga diundang oleh PPRF dan Panwas. Menurut saya, mahasiswa FPK pun masih bingung apa yang dibahas.”

Setali tiga uang, Wisnu Arya Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Pusat Kegiatan Rohani Islam (UKM PKRI) beri tahu kehadirannya dalam pembahasan pertama terkait Perma pada Oktober 2020 lalu. Hasilnya mengarah pada pelaksanaan Pemira secara musyawarah.

“Kami tidak sepakat di sistem mewakili-mewakili itu, inginnya kita ada transparansi, kejujuran, dan semua mahasiswa bisa memilih,” tegasnya

Gejolak penolakan bermula saat Panitia buat sosialisasi mekanisme Pemira pada 10 November lalu. Panitia melontarkan sistem pemilihan melalui musyawarah perwakilan kelembagaan. Sontak, beberapa mahasiswa yang mengikuti sosialisasi jadi bergidik.

Kelompok mahasiswa yang menolak itu kemudian minta diadakan pertemuan guna membahas kembali Perma ini.

Selang lima hari, 16 November PPRF justru umumkan pembukaan pendaftaran calon. Pertemuan yang diminta kelompok mahasiswa menolak Perma baru terlaksana seminggu setelah masa sosialisasi.  BLM buat pertemuan tersebut di Sekretariat BEM FPK.

Pertemuan itu hasilkan beberapa kesepakatan. Masa pendaftaran peserta Pemira ditangguhkan sampai 22 November. Panitia diminta mencari solusi untuk melaksanakan pemilihan dalam jaringan (daring).

Dua hari usai pertemuan, Jumat sore, BLM buat pertemuan lagi. Lembaga legislatif ini paparkan hasil pembahasan pada pertemuan bersama Kelompok Studi Linux (KSL) sehari sebelumnya.

Sistem keamanan server tidak bisa dijamin, sebab belum pernah dilakukan. Tingkat eror yang tinggi, serta butuh biaya yang mahal untuk membuat server sendiri juga jadi pertimbangan.

Dimas Subaktianto, salah satu anggota KSL membenarkan adanya pertemuan itu. Seingatnya, pertemuan yang berlangsung di Radja Koffie Jalan HR Soebrantas tersebut  dihadiri dua orang perwakilan BLM.

Pada pertemuan itu, BLM juga tak beri kepastian apakah akan menggunakan aplikasi voting atau tidak. Awalnya, server yang diuji coba merupakan server pribadi milik Dimas, sehingga tak digunakan untuk Pemira. Rencananya, KSL menyarankan untuk gunakan server dari Unit Pelaksana Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi atau UPT TIK.

Dimas juga katakan, keamanan server dan tingkat erornya memang tak bisa dipastikan. Berhubung server yang ingin dipakai belum ditentukan.

“KSL hanya memberi opsi apakah BLM FPK ingin menggunakan server UPT TIK atau server selain UPT TIK, atau KSL sendiri yang mengurusnya,” terang Dimas.

Mengingat hasil pertemuan tersebut, akhirnya diputuskan bahwa Pemira daring tak bisa dilaksanakan.

Alasan-alasan ini yang kemudian dibawa BLM ke forum pembahasan. Ada sembilan kelembagaan yang hadir. Enam di antaranya menyepakati pemilihan dengan sistem musyawarah. Yakni HMJ Teknologi Hasil Perikanan, Badan Otorita Mahasiswa Ilmu Kelautan, HMJ Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, HMJ Sosial Ekonomi Perikanan, UKM Kesenian Dolphin dan Mahasiswa Pecinta Alam Phylomina.

Sementara tiga kelembagaan yang menolak adalah Himakua, HMJ MSP dan UKM PKRI. Ketiganya tak menandatangani berita acara hari itu.

Panitia Sengaja Menutup Akses Informasi Publik

Berulang kali Kru Bahana coba konfirmasi terkait detail sistem Pemira FPK kepada panitia. Baik Ketua PPRF, Ketua BEM dan BLM selaku Steering Committee (SC), semuanya bungkam.

Selasa pagi, 24 November sekitar pukul 10, Kru bahana menyambangi Sekretariat BEM FPK. Di depan teras tampak meja hitam berselimut kain. Di atasnya ada tumpukan kertas dan amplop cokelat—berkas persyaratan—yang dijaga sekitar tiga orang. Hari itu terakhir pendaftaran calon Gubernur Mahasiswa FPK dan wakilnya.

Harun tengah duduk bersama Riski Hasibuan Koordinator Acara PPRF di meja pendaftaran. Mereka katakan tak akan memberitahu informasi apapun soal Pemira FPK ke khalayak luar. Alasannya, menjaga privasi kelembagaan di FPK.

“Ini kan rumah kami, kenapa orang lain harus ikut mengurusi. Dan ini keputusan dari kelembagaan. Kalau mau tanya lebih lanjut, silakan saja tanya ke SC,” ucap Harun.

“Kami bukan pelit informasi, tapi karena ini masalah dapur kami. Sudah lakukan sosialisasi, dan informasi ini tidak akan dipublikasikan di media manapun,” timpal Riski.

Namun, baik Raihan maupun Alpin tak tampak kehadirannya. Kru berbalik pulang sembari menunggu kabar dari Harun. Ia janji akan beri tahu jika Raihan datang.

Menjelang pukul tiga sore, Harun mengonfirmasi kedatangan Raihan. Setiba di lokasi, kru diarahkan ke suatu ruangan lalu duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas. Ruangan berisi lima orang, termasuk dua kru Bahana, Harun dan Raihan.

Raihan katakan hal yang sama dengan Harun. Sudah ada kesepakatan dari kelembagaan agar persoalan Pemira FPK tak diketahui orang banyak. Khawatir timbul asumsi yang tidak-tidak. Alasan Pemira dilakukan secara musyawarah, kata Raihan berlandaskan Pedoman Umum Organisasi Kelembagaan dan hasil Perma yang telah disepakati. Meskipun tiga kelembagaan menyatakan tidak setuju dengan Perma, tapi tetap mendukung jalannya Pemira.

“Ini rumah kami, jadi kami yang akan mengonsumsi ini. Media yang berhak adalah study club, kelembagaan, dan UKM-UKM di FPK saja yang akan menyampaikan kepada mahasiswanya,” tutur Raihan.

Tak berhenti di sana, kru juga mengirimi Alpian pesan WhatsApp pada 29 November. Dengan niat mendapat konfirmasi terkait rapat pembahasan Perma. Saat dimintai keterangan, ia menjawab belum bersedia diwawancarai dan tak ingin berkomentar lebih.

“Untuk saat ini belum ada waktu kak, tidak ada yang simpang siur, kami bisa kok memberi informasi ke mahasiswa FPK kak, karena tidak ada urusan fakultas lain terkait PEMIRA fpk,” tulisnya.

Reporter: Firlia Nouratama

Editor: Dicky Pangindra