Peringatan! Tulisan ini dapat memicu pengalaman traumatis. Apabila Anda dalam keadaan tak siap, kami sarankan untuk tak lanjut membaca.

Mata Bintang tampak merah dan sembab. Ia kerap menatap kosong ke arah tak menentu. Tak jarang pula mengernyitkan dahi sembari menunduk lesu. Perasaan lelah dan takut tak bisa Bintang sembunyikan dari roman wajahnya.

Kamis malam, jarum jam hampir menunjuk angka 12. Hari akan segera berganti ke Jumat. Bintang yang didampingi beberapa temannya sampai di kantor Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pekanbaru. Tujuan mereka hendak melaporkan kasus pelecehan seksual dan mencari pendampingan profesional. Baik secara psikologis untuk pemulihan psikis Bintang, ataupun mendapatkan keadilan lewat jalur hukum.

Semua ini bermula pada 27 Oktober lalu. Bintang seorang mahasiswi semester akhir Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (FISIP UNRI). Hari itu, ia datangi ruang kerja SH—dosen pembimbing skripsi. Pukul 12.30, Bintang menuju ke lantai dua dekanat.

Ia memasuki ruangan. Kala itu hanya ada mereka berdua—Bintang dan SH. Belum mulai bimbingan, SH melemparkan pertanyaan perihal kehidupan pribadi. Semua pertanyaan itu masih bisa ia maklumi. Hingga akhirnya, SH mulai melontarkan kalimat yang membuat Bintang tak nyaman.

“Seperti ia mengatakan kata-kata I love you, yang membuat saya merasa terkejut dan sangat-sangat tidak menerima perlakuan bapak tersebut,” ujar Bintang. Ia mencurahkan kronologi pelecehan itu melalui sebuah video berdurasi 13 menit 26 detik yang kemudian diunggah oleh akun Instagram @Komahi_ur pada Kamis (4/11).

Ia tetap menahan ketidaknyamanan itu, hingga bimbingan berakhir. Bintang masih lekat dengan perasaan risih. Meski begitu, ia tetap berusaha bersikap sopan dengan niat menyalami SH, hendak berpamitan. Seketika, SH menggenggam kedua bahu Bintang dan mendekatkan badannya. Tak sampai di situ, ia juga menggenggam kepala Bintang, mencium pipi kiri serta kening.

Terkejut dengan perlakuan sang dosen, Bintang menunduk. “Saya sangat merasa ketakutan dan saya langsung menundukkan kepala saya,” cerita Bintang dengan terbata-bata.

Belum jua berhenti, SH langsung mendongakkan kepala Bintang. “Mana bibir, mana bibir,” begitu kata Bintang mengulangi kalimat SH.

Bintang tak tahan lagi, ia mengaku lemas, ketakutan, dan mendorong SH. “Ya udah kalau nggak mau,” respon SH sebelum korban tinggalkan ruangan itu dan beranjak dari kampus.

Tak terima, Bintang yang terpuruk memutuskan mengadu pada seorang dosen. Ia minta ditemani untuk melapor kepada ketua jurusan, sekaligus membantu mengurus pergantian pembimbing skripsi. Dosen itu menyanggupi, keduanya bertemu di sebuah kedai kopi. Namun ketika bertemu, ia justru melanggar janji dan meminta Bintang untuk memendam kasus ini.

“Jangan sampai gara-gara kasus ini, SH bercerai dengan istrinya,” dalih sang dosen.

Bintang kekeh untuk menemui petinggi jurusan, ia didampingi dua kakak sepupunya untuk melapor. Arah perbincangan dengan ketua dan sekretaris jurusan itu justru memojokkan Bintang dan menyeret hal lain di luar pembahasan. Seperti menyalahkan mengapa tak membawa SK ketika bimbingan.

“Berulang kali ia coba menjatuhkan saya di depan ketua jurusan,” lanjut Bintang.

Pimpinan berdalih bahwa SH sedang khilaf. Lebih jauh, mereka bahkan mengolok-olok korban dengan candaan “Ini hanya dicium saja.” Lagi-lagi, Bintang diminta menutup rapat kasus pelecehan yang ia alami.

Mereka berikan saran agar Bintang menemui langsung SH, sebagai bentuk penyelesaian. Permintaan itu tak diamini Bintang. Ia mengaku tak siap untuk bertatap muka, sebab kondisi psikisnya sangat terguncang.

Belum berselang lama, berkali-kali Bintang mendapat panggilan telepon dari nomor berbeda. Peneleponnya tak lain tak bukan adalah SH. Panggilan berulang itu tak ia gubris lagi. Penolakan berujung pada mendaratnya sebuah pesan yang meminta Bintang menjawab telepon. Lagi-lagi, ia tak menggubris.

Jawaban tak jua didapat, upaya SH pun semakin gencar. Ia hubungi keluarga Bintang. Dalihnya, tindakan mencium Bintang layaknya bentuk hubungan ayah kepada anak. “Keluarga dan saya tak menerima perlakuan keji SH terhadap kami,” tutup Bintang dalam video itu.

Terhitung sejak pelecehan seksual itu terjadi, Bintang belum mendapatkan pendampingan dari tenaga profesional. Berangkat dari rekomendasi pihak LBH Pekanbaru, Bintang akan mendapat akses pendampingan psikologis. Hasil asesmen oleh psikolog nantinya dapat digunakan kalau-kalau korban menginginkan kasus ini berlanjut ke jalur hukum.

Pukul satu malam, korban mulai menunduk dengan rentang waktu yang cukup lama. Ia makin tak fokus dan memutuskan beranjak pulang dari kantor LBH Pekanbaru. Sementara itu, diskusi masih berlanjut.

Agil Fadlan Mabruri, Ketua Divisi Advokasi Komahi sebut bahwa pendamping sudah serahkan surat pernyataan kepada Rektor UNRI Aras Mulyadi. Surat itu memuat lima poin tuntutan korban.

Momen pelantikan DPM dan BEM UNRI yang dihadiri oleh rektor dan wakilnya jadi celah menuntut sikap tegas rektor untuk buat kebijakan yang berpihak pada korban. Pihak Korps Mahasiswa Hubungan Internasional atau Komahi bersama Kaharudin Presiden BEM UNRI juga tunjukkan video pengakuan korban kepada Aras. Namun, ia menanggapi bahwa kasus tersebut diselesaikan di fakultas saja.

Poin tuntutan pertama, agar terduga pelaku mengakui perbuatannya terhadap korban. Kedua, sampaikan permintaan maaf kepada korban. Ketiga, jaminan perlindungan akademik dan perlindungan diri korban dari terduga pelaku. Keempat, kesediaan untuk menyediakan pendampingan psikolog bagi korban. Terakhir, kampus harus memberikan sanksi administratif.

Bicara soal penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, sejatinya ada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang mengatur. Aturan yang diundangkan pada 3 September lalu itu menyebutkan, kampus harus membentuk satgas khusus untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di kampus. Paling lama, satgas sudah harus terbentuk satu tahun setelah peraturan diundangkan. Persoalan sanksi administratif juga dibahas oleh satgas ini.

Namun, kehadiran satgas hingga kini belum tercipta. Syaiful Bahri—Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Sistem Informasi mengatakan bahwa ihwal ini sudah dibahas dalam rapat pimpinan. Aras mengundang empat wakilnya dan kepala biro untuk hadir pada Selasa (2/11) sebagai jawaban atas peraturan menteri tersebut. Pembahasan mencakup pembentukan tim persiapan, rencana pembentukan satgas, struktur beserta kelengkapan, hingga personalia dan standar operasional prosedur.

Lanjut Syaiful, Menteri Nadiem Makarim meminta agar satgas segera dibentuk. Berkaca pada peraturan, pembentukan satgas melalui proses panjang. Bermula dengan membentuk panitia seleksi. Aras sudah menunjuk Ahyat—Kepala Biro Umum dan Akademik—sebagai ketua tim persiapan. “Tim ini bersama anggota diamanahi melakukan tindak lanjut pembentukan satgas,” kata Syaiful kepada kru Bahana Mahasiswa (BM), Jumat pagi.

Ahyat membenarkan penunjukan dirinya. Namun, ia menyebut hanya diminta membentuk Organisasi Tata Kelola atau OTK saja. “Saya disuruh hanya membuat OTK-nya saja dulu. Artinya, di dalam struktur organisasi UNRI itu ada satgas pelecehan seksual. Jadi, belum ada panitia seleksi.”

Kini, ia juga tengah mempelajari peraturan itu. Katanya, jika sudah disetujui rektor, barulah dibentuk panitia seleksi. Namun hingga Kamis malam, SK Rektor terkait penunjukan Ahyat belum sampai kepadanya. “Gimana saya bekerja kalau ndak ada perintah SK,” terang Ahyat di ujung telepon.

Jumat siang pukul dua, pimpinan universitas akan gelar rapat membahas kasus ini. BM coba minta konfirmasi kepada Aras via telepon, namun tak mendapat jawaban.

Sementara itu, Andi Wijaya Direktur LBH Pekanbaru menegaskan bahwa kampus harus lekas melahirkan kebijakan menyangkut ini. “UNRI mesti keluarkan kebijakan segera dan mendampingi proses pemulihan korban, atau bisa jadi pendamping hukumnya,” kata Andi menutup diskusi pukul dua dini hari di Jalan Kuda Laut, Sukajadi.

Mundur dua hari lalu, SH sempat gelar diskusi bersama mahasiswa dengan mengundang kelembagaan se-lingkungan FISIP. Di tengah diskusi bertajuk 1 Hari Bersama Dekan itu, seorang peserta sempat bertanya soal penanganan pelecehan seksual di kampus. Belum tuntas menjawab, ia pamit pergi dengan alasan akan terbang ke luar kota. Ia pesankan untuk berdiskusi lebih lanjut dengan wakil dekan.

Kru BM coba menghubungi SH berulang kali, sejak sore hingga malam. Namun, ia tak kunjung menjawab sampai tulisan ini terbit.

Penulis: Reva Dina Asri

Editor: Annisa Febiola