Dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (FISIP UNRI) kadung menyita perhatian publik. Bak tersambar petir, analogi Sujianto.

“Kami telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF),” begitu ucap Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan Universitas Riau tersebut.

Sujianto yang juga juru bicara TPF bawa hasil rapat terbatas pimpinan universitas pada Jumat siang lalu. TPF sendiri akan bekerja menemukan kebenaran atas laporan dugaan pelecehan seksual yang dialami Bintang—bukan nama sebenarnya. Tepat hari itu pula, puluhan mahasiswa FISIP demo di halaman rektorat. Mereka tagih sikap petinggi kampus.

Dua bulan sebelum kasus muncul, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim sudah keluarkan Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Keseluruhan aturan mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Satu di antara dua tujuannya ialah sebagai pedoman bagi kampus dalam menyusun kebijakan. Pun ambil tindakan atas kekerasan seksual yang menyangkut pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi.

Sebagai pusat pencegahan dan penanganan itu, satuan tugas (satgas) lantas diatur pembentukannya. Amanat ini tertuang dalam pasal 23. Tak bisa main tunjuk orang saja, kelahiran satgas mesti lewati proses panjang. Pertama, membentuk panitia seleksi. Kerjanya menyusun petunjuk teknis seleksi, menyeleksi anggota satgas, dan merekomendasikan anggota satgas kepada pimpinan kampus untuk ditetapkan.

Setakat ini, UNRI belum punya panitia seleksi. Rektor Aras Mulyadi baru menunjuk Ahyat—Kepala Biro Umum dan Keuangan—untuk mengetuai tim persiapan. Ahyat juga bilang, ia hanya diminta membentuk Organisasi Tata Kelola (OTK) saja. “Saya disuruh hanya membuat OTK-nya saja dulu. Artinya, di dalam struktur organisasi UNRI itu ada satgas pelecehan seksual. Jadi, belum ada panitia seleksi.”

Putar arah kembali tanyai Sujianto jelang magrib, Bahana Mahasiswa (BM) dapat jawaban serupa. “Belum, itu belum. Peraturannya dibaca dulu,” kata Profesor Bidang Ilmu Kebijakan Publik ini sembari berjalan menuju mobil jemputan.

Bagaimana UNRI Eksekusi Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021?

Selaras dalam pasal 5 huruf I, bentuk kekerasan seksual yang diduga dilakukan Syafri Harto berupa tindakan menyentuh dan mencium bagian tubuh Bintang tanpa persetujuan. Tangan Syafri Harto menggenggam kedua bahu korban, lalu mencium kening dan pipi kiri.

Baca liputan Bahana: Pelecehan Seksual di UNRI: Berdalih Hubungan Ayah-Anak

Beralih ke pasal 10, kampus wajib melakukan penanganan kekerasan seksual. Mulai dari pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif bagi pelaku, serta pemulihan bagi korban.

Sembari mengusut kebenaran dugaan, kampus harus berikan pendampingan terhadap korban. Seperti konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, maupun bimbingan sosial dan rohani.

Namun hingga kini, pihak kampus belum melakukan upaya itu. Sebelum umumkan terbentuknya TPF, pimpinan bawa beberapa perwakilan seluruh kelembagaan mahasiswa FISIP untuk ikut berdiskusi di dalam ruangan. Khelvin Hardiansyah, Mayor Korps Mahasiswa Hubungan Internasional atau disingkat Komahi UNRI satu di antaranya.

Menurut Khelvin, pimpinan mengatakan akan berikan pendampingan psikologis jika kebenaran kasus sudah terbukti. “Seingat aku dampingan psikologis kalau sudah terungkap,” terang Khelvin.

Begitu pula dengan keterangan dari Awan—kakak sepupu korban. Ia ungkapkan, tak ada pendampingan oleh pihak kampus. Hanya Komahi yang memfasilitasi korban sampai akhirnya menemukan pendampingan. Baik secara psikologis, bantuan hukum, dan advokasi. “Kata Bintang dari pihak kampus ga ada,” begitu isi pesan WhatsApp dari Awan.

Usai berdiskusi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, korban melaporkan terduga ke Kepolisian Resor Kota Pekanbaru. Laporan itu ia masukkan bersama dengan pihak LBH Pekanbaru, Komahi, dan Badan Eksekutif Mahasiswa UNRI pada Jumat (5/11).

Syafri Harto tak mau kalah. Ia balik laporkan Bintang dan akun Instagram @Komahi_ur ke Kepolisian Daerah Riau pada Sabtu pukul 4 sore. Bak lagu lama, Syafri Harto jerat kedua pihak dengan alasan pencemaran nama baik dan pelanggaran atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Padahal, sehari sebelum itu Sujianto berjanji bahwa TPF akan menjamin keamanan korban dari kriminalisasi. “Ketika ada laporan pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan pencemaran nama baik, nanti akan ditindaklanjuti dengan tim yang ada.”

Merujuk pada pasal 12 ayat 2 huruf h, perlindungan bagi korban maupun pelapor dari tuntutan pidana telah diatur. Berangkat dari sini, kampus juga harus wujudkan perlindungan itu.

Kelahiran TPF menjadi satu-satunya jawaban atas tuntutan sikap pimpinan mengenai kasus yang menimpa mahasiswi Hubungan Internasional tersebut. Aras sudah mengesahkan pembentukannya pada Kamis sore, 4 November. Meski belum punya satgas yang sesuai dengan proses dalam Permendikbud-Ristek, Sujianto tekankan bahwa kerja TPF mengacu pada peraturan yang sama.

Bercakap soal fakta di lapangan, nyatanya keanggotaan TPF tak melibatkan mahasiswa. Keputusan ini berseberangan dengan komposisi satgas yang diatur dalam Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Pasal 27 yang mengikatnya, di mana satgas harus berasal dari pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. “Nanti akan subjektif, karena mahasiswa termasuk di dalam kelompok yang teraniaya, yang terzalimi,” cakap Sujianto.

Sedangkan jika berpijak pada Permendikbud-Ristek, paling tidak setengah dari anggota satgas haruslah mahasiswa. Formasi perempuan harus dua pertiga dari keseluruhan anggota.

Zulwisman, dosen Hukum Tata Negara UNRI berikan pandangannya. Ia menyebut, TPF tak diatur dalam Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Pembentukan TPF, katanya, sebagai bentuk diskresi dari rektor. “Jadi, itu cara cepat untuk penanggulangan pada satu kasus yang bersifat mendesak.”

Kemudian, satgas harus diketuai oleh unsur pendidik. Sementara sekretarisnya boleh dari tenaga kependidikan ataupun mahasiswa. Baik ketua maupun sekretaris, sama-sama merangkap sebagai anggota. Total keanggotaan satgas kudu ganjil, paling sedikit lima orang. Masa tugasnya berlaku selama dua tahun dan dapat diperpanjang satu periode ke depan.

Usai pembentukan TPF diumumkan, Sujianto bungkam mengenai struktur keanggotaan. Siapa sosok ketua dan jajarannya belum sampai ke publik. Bahkan, batasan tugas dan kewenangan tim sekalipun. “Nanti, nanti itu, ya. Setelah tim TPF bekerja,” jawabnya kepada kru BM.

Mulai Senin, 8 November, TPF akan mulai bekerja. Berpegang pada pasal 42, pimpinan kampus dapat memberhentikan sementara hak pekerjaan terlapor yang berstatus sebagai pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus.

Perihal menonaktifkan, kata Zulwisman bisa dilakukan apabila terduga pelaku sudah ditetapkan bersalah oleh kepolisian. “Supaya proses Tridharma perguruan tinggi di FISIP tetap berjalan baik. Dalam konteks hukum, asas praduga tidak bersalah harus diterapkan dan dihormati” tulisnya melalui pesan WhatsApp.

Bila nanti dugaan atas terlapor terbukti, Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengatur adanya sanksi. Sanksi itu diputuskan oleh pimpinan kampus, atas rekomendasi dari satgas. Mulai dari yang ringan, sedang, hingga berat. Pihak kampus juga mesti memfasilitasi pemulihan korban. Bila korban merupakan mahasiswa, masa pemulihan tak mengurangi masa studi atau dianggap cuti studi. Lalu bila ketertinggalan akademik selama masa pemulihan, ia berhak mendapat bimbingan akademik tambahan.

Sedangkan bila dugaan pelecehan seksual tak terbukti, satgas dapat merekomendasikan pemulihan nama baik terlapor. Hal itu diatur dalam pasal 45 ayat 2.

***

Santer terdengar ke pelbagai penjuru lewat beragam media, kasus pelecehan ini sampai juga ke telinga Subiyantoro. Ia Sekretaris Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbud Ristek.

BM coba menghubungi Subiyantoro via telepon pada Sabtu malam. Ia jelaskan, TPF harus berisikan orang-orang independen, serupa dengan ucapan Sujianto. “Agar juga objektif penyelesaiannya di sana dan independen.”

Ihwal kasus, ia mengaku baru tahu sedikit dari media sosial. Katanya lagi, pihak Itjen akan menelaahnya pada Senin, 8 November. Jika berdampak pada kegaduhan dan persoalan yang serius, mereka akan turun mencari fakta.

“Memang rencana baru hari Senin kami telaah bersama. Setelah kami telaah, kami analisis. Jadi, tidak menutup kemungkinan kami akan turun melakukan pemeriksaan di sana [UNRI],” sebutnya.

Terlebih dahulu, pihak Itjen akan pertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia dan waktu. Sebab, mereka juga tengah menangani kasus di kampus lain. “Kalau bisa, turun,” tutup Subiyantoro di ujung telepon.

Penulis: Annisa Febiola

Editor: Firlia Nouratama